Pesawat Tempur Rusia Ditinggalkan, Rafale dan F-15EX Produk Perancis dan AS Dilirik
Setelah rencana penambahan pesawat tempur Rusia, Sukhoi-35 belum juga terealisasi, kini pembelian alutsista tempur mengerucut ke jet tempur Rafale produk Perancis dan F-15EX asal AS. Pengamat perkirakan sulit dipenuhi.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pilihan untuk membeli alat utama sistem persenjataan atau alutsista berupa pesawat tempur semakin mengerucut ke jet tempur Rafale buatan Dassault, Perancis, dan F-15EX buatan Boeing, Amerika Serikat. Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Fadjar Prasetyo memastikan bahwa pengadaan alutsista strategis tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan, ancaman, serta ketersediaan anggaran.
KSAU Marsekal TNI Fadjar Prasetyo, dalam pertemuan dengan media, Rabu (22/12/2021) menyatakan, meski belum ditandatangani kontraknya tetapi sudah mengerucut terhadap dua pilihan jet tempur buatan dua negara tersebut. "Ini sudah mengerucut tetapi memang belum ditandatangani, belum diputuskan. Tetapi pilihan dua yang mengerucut, pertama kita ke Rafale dan kedua ke F-15EX. Ini tentunya juga kebijakan dari Kementerian Pertahanan dan masukan dari kita semua. Mengenai Sukhoi-35, ya, dengan berat hati mungkin kita sudah harus meninggalkan perencanaan itu. Bahwa pembangunan kekuatan udara sangat tergantung dari anggaran," kata Fadjar.
Fadjar mengatakan, dalam rencana strategis, TNI AU telah berencana untuk membeli pesawat tempur multi peran. Dengan menyesuaikan terhadap perkembangan zaman serta mempertimbangkan ancaman di masa depan, pesawat tempur baru tersebut harus merupakan pesawat tempur generasi 4,5 dan pesawat tempur medium ke atas.
Saat ini, TNI AU telah dilengkapi dengan beberapa jenis pesawat tempur, antara lain F-16 serta Sukhoi, baik Su-27 maupun Su-30. Beberapa waktu lalu, Indonesia telah menjalin kontrak dengan Rusia untuk pengadaan jet tempur Su-35, namun kontrak tersebut hingga kini tidak kunjung terealisasi.
Adapun dengan pesawat tempur F-35 buatan Lockheed Martin, Amerika Serikat, biaya operasionalnya sangat tinggi. Di sisi lain, pembelian alutsista strategis berupa pesawat tempur harus mempertimbangkan kemungkinan ancaman ke depan.
"Kita mesti realistis. Di LCS (Laut China Selatan) sebenarnya ancamannya ke siapa? Toh, kita sahabat juga dengan China. Itu yang terus kita hitung-hitung. Dengan resources yang ada kita upayakan untuk yang terbaik untuk bangsa dan negara," tutur Fadjar.
Fadjar mengatakan, pengadaan pesawat tempur memerlukan waktu yang panjang, bukan setahun dua tahun. Dengan demikian, maka proses pengadaan pesawat tempur bisa jadi lebih panjang dari rencana strategis 5 tahunan. Ia menggambarkan, jika F-15 EX ditandatangani kontrak pembeliannya sekarang, maka unit pertama yang akan diterima Indonesia kira-kira pada 2027. Adapun kebutuhan TNI AU adalah 2 sampai 3 skadron di mana 1 skadron biasanya diisi 16 pesawat tempur.
Oleh karena itu, yang kini terus dilakukan TNI AU maupun Kementerian Pertahanan adalah memberikan pemahaman yang komprehensif kepada Kementerian Keuangan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mengenai kebutuhan pendanaan yang sangat besar untuk jangka waktu yang panjang, yakni 30-40 tahun, sesuai perkiraan masa pakai pesawat.
Namun demikian, Fadjar memastikan bahwa TNI AU sebagai pengguna dilibatkan dalam proses pengadaan alutsista. Pihaknya terus melakukan komunikasi agar alutsista yang akan dibeli tersebut sesuai dengan kebutuhan TNI AU.
SU-35 yang tak terealisasi
Secara terpisah, pengamat pertahanan dari Universitas Indonesia Kusnanto Anggoro berpandangan, alternatif pilihan terhadap jet tempur Rafale bukan hal mudah. Sebab, sebelumnya pemerintah telah berencana membeli Su-35 yang pada kenyataannya tidak bisa direalisasikan.
Di sisi lain, alternatif jet tempur lainnya, yakni F-15EX juga bukan pilihan mudah. Sebab, jika Indonesia membeli jet tempur tersebut, maka ketergantungan terhadap AS semakin besar.
"Pilihan pada Rafale menjadi masuk akal karena desakan diversifikasi sumber atau asal senjata. Jadi pertimbanganya adalah politik diplomasi dan sustainabilitas modernisasi untuk jangka panjang," kata Kusnanto.
Secara teknis, terdapat tantangan bahwa TNI AU belum pernah mengoperasikan Rafale. Kemudian, bisa jadi terdapat masalah dalam interoperabilitas dan kompatibilitas jet tempur buatan Perancis tersebut dengan jet tempur yang telah dioperasikan TNI AU. Meski demikian, Kusnanto berharap persoalan teknis tersebut dapat diatasi seiring dengan berjalannya waktu.
Menurut Kusnanto, karena pengadaan jet tempur baru tersebut akan sangat mahal atau diperkirakan menyerap 60 sampai 77 persen alokasi anggaran untuk pengadaan alutsista bagi TNI, maka perlu ada penyesuaian terhadap pengadaan alutsista di matra lain. Jika hal tersebut bisa dilakukan, Kusnanto menilai penggunaan anggaran tersebut sudah sejalan dengan kebutuhan alutsista yang riil dari TNI.
Tiga pengembangan program
Sementara, pengamat Lab 45 Andi Widjajanto berpandangan, Indonesia memiliki tiga program pengembangan pesawat tempur. Pertama adalah mengganti pesawat tempur F-5E yang dulu diputuskan akan diganti Su-35 namun hingga kini tidak terealisasi. Kedua adalah pengembangan dan produksi pesawat tempur yang nantinya disebut IFX bersama dengan Korea Selatan, serta pilihan jet tempur lainnya, termasuk Rafale yang merupakan pesawat tempur dari Eropa.
"Kalau Indonesia ingin diversifikasi, maka menarik juga untuk memiliki teknologi lain yang salah satunya adalah Rafale. Dan itulah inti dari strategi kita bahwa kita tidak menginginkan adanya ketergantungan pada produsen tertentu," kata Andi.
Meski demikian, lanjut Andi, dengan datangnya pesawat tempur selain dari yang sudah dioperasikan TNI AU, maka terdapat tantangan interoperabilitas. Untuk itu akan diperlukan perangkat tambahan agar pesawat baru tersebut dapat terhubung dengan pesawat tempur dari keluarga yang lain.
Terkait dengan harga pesawat yang mahal, menurut Andi, hal itu dinilai bersifat relatif. Sebab, dengan Undang-Undang tentang Industri Pertahanan dan Undang-Undang Cipta Kerja, maka mekanisme beli putus tidak bisa lagi diterapkan. Sebab UU tersebut mensyaratkan adanya imbal dagang atau transfer teknologi, serta dimungkinkan agar pihak produsen alutsista tersebut membuka fasilitas di Indonesia sebagai perusahaan patungan dengan badan usaha nasional.