Penyelesaian Masalah Pekerja Migran Perlu Mengacu Konsensus ASEAN
Migrant Care menilai, landasan pembicaraan khusus bilateral terkait masalah pekerja migran Indonesia di Malaysia mesti mengacu modalitas kedua negara sebagai anggota ASEAN, seperti konsensus dan deklarasi ASEAN.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Migrant Care menilai, sudah seharusnya ada pembicaraan khusus bilateral mengenai masalah pekerja migran Indonesia di Malaysia. Landasan pembicaraan mesti mengacu modalitas yang sudah dimiliki Indonesia dan Malaysia sebagai anggota ASEAN. Modal dimaksud semisal Konsensus ASEAN tentang Pelindungan Pekerja Migran dan deklarasi-deklarasi ASEAN yang baru saja disepakati di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
”Terkhusus, misalnya, soal portabilitas jaminan sosial ketenagakerjaan untuk pekerja migran. Kita tahu, di ASEAN Summit di Phnom Penh (Kamboja) bulan November 2022 disepakati adanya deklarasi ASEAN tentang Portabilitas Perlindungan Sosial Ketenagakerjaan untuk Pekerja Migran di kawasan ASEAN,” kata Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo ketika dihubungi dari Jakarta, Sabtu (10/6/2023).
Sebelumnya, pelindungan pekerja migran menjadi salah satu hal yang dibahas Presiden Joko Widodo dengan Perdana Menteri (PM) Malaysia Dato’ Seri Anwar Ibrahim di kediaman resmi PM Malaysia, di Seri Perdana, Putrajaya, Malaysia, Kamis (8/6/2023) lalu. Substansi pembahasan disampaikan Presiden Jokowi saat memberikan keterangan pers bersama seusai pertemuan tersebut.
Presiden Jokowi mengapresiasi komitmen PM Anwar untuk memperkuat perlindungan PMI dan juga penegakan hukum yang adil bagi para pekerja Indonesia. ”Saya dan Pak Anwar sepakat untuk membentuk mekanisme khusus bilateral untuk menyelesaikan masalah-masalah pekerja migran Indonesia,” ujar Presiden.
Terkait dengan jaminan sosial ketenagakerjaan untuk pekerja migran, menurut Wahyu, harus dibangun suatu skema yang portabel atau berkesesuaian mengenai asuransi pelindungan pekerja migran. Hal ini dibutuhkan untuk menutupi kelemahan skema asuransi yang ada di Indonesia, di mana skema melalui BPJS Ketenagakerjaan sangat terbatas cakupannya.
”(Skema melalui BPJS Ketenagakerjaan) Hanya banyak mencakup soal pelindungan pada masa sebelum keberangkatan. Sementara pada masa keberangkatan atau pada masa kerja, di mana masalah-masalah pekerja migran itu banyak muncul, itu malah sedikit coverage-nya di dalam skema BPJS Ketenagakerjaan,” ujarnya.
Terkait dengan pertemuan dengan PM Malaysia, menurut Wahyu, semestinya Presiden Jokowi memberikan perhatian pada persoalan pekerja migran di sektor perkebunan. ”Dengan segala keterbatasan dan kelemahan, Indonesia sudah punya MOU (nota kesepahaman) mengenai pelindungan pekerja migran di sektor pekerja rumah tangga, tetapi kita sampai sekarang malah belum punya MOU tentang pelindungan pekerja migran di sektor perkebunan, khususnya kelapa sawit,” katanya.
Terkait dengan jaminan sosial ketenagakerjaan untuk pekerja migran, menurut Wahyu, harus dibangun suatu skema yang portabel atau berkesesuaian mengenai asuransi pelindungan pekerja migran.
Padahal, Wahyu melanjutkan, jumlah pekerja migran di perkebunan kelapa sawit terbesar di antara pekerja migran Indonesia yang ada di Malaysia, terutama di wilayah Sabah dan Semenanjung. Menurut data Migrant Care jumlah terbesar pekerja migran yang meninggal adalah mereka yang di perkebunan kelapa sawit, dan sebagian besar dari Nusa Tenggara Timur (NTT).
”Inilah yang menjadi urgensi bahwa Presiden Jokowi seharusnya tidak hanya berbicara tentang bagaimana Malaysia dan Indonesia bersatu menghadapi kampanye hitam kelapa sawit terhadap Uni Eropa, tapi seharusnya juga memastikan kedua negara ini (mengenai) pelindungan terhadap pekerja migran Indonesia di sektor kelapa sawit,” katanya.
Saat di Malaysia, Kepala Negara pun menyampaikan sejumlah hal yang mesti segera dikerjakan dalam kaitannya dengan pekerja migran. ”Saya juga mendorong Community Learning Center di Semenanjung segera diwujudkan, dan juga WNI yang ada di Depo Imigrasi juga bisa segera dipulangkan, serta one channel system harus dioptimalkan,” kata Presiden Jokowi.
Berkaitan dengan hal ini, Wahyu sepakat harus banyak kemajuan dalam pengembangan Community Learning Center, terutama untuk anak-anak pekerja migran. ”Kita tahu bahwa ada ratusan ribu anak-anak pekerja migran Indonesia dibawa orangtuanya, ini yang sebagian besar bekerja di kebun kelapa sawit,” katanya.
Wahyu menuturkan, mereka harus dipastikan tetap dapat menikmati hak atas pendidikan dengan kurikulum Indonesia melalui penyediaan Community Learning Center. Selain itu, anak-anak pekerja migran juga harus mendapat hak atas kesehatan dan hak atas kewarganegaraan. ”Mereka rentan menjadi stateless ketika dokumen kelahiran mereka, dokumen kewarganegaraan mereka, terbengkalai,” ujarnya.
Penyelesaian masalah pekerja migran yang ada di depo-depo imigrasi pun harus tuntas sehingga mereka tidak makin berada dalam situasi terpuruk. ”Seharusnya ada proses untuk memastikan mereka bisa dideportasi secara bermartabat dan dipulihkan juga harkat kemanusiaannya. Dan, kalau ada ruang untuk mereka bisa kemudian mendapatkan amnesti dan bisa bekerja kembali, itu juga merupakan opsi yang bisa dipilih,” kata Wahyu.
Optimalisasi one channel system, Wahyu menuturkan, menjadi mutlak sebagai ukuran implementasi nota kesepahaman (MOU) mengenai pelindungan pekerja migran Indonesia di sektor pekerja rumah tangga di Malaysia. Hal ini karena basis dari implementasi MOU Indonesia-Malaysia tentang penempatan PRT migran adalah pelaksanaan dari one channel system.
”Dan, syarat mutlak lainnya adalah Pemerintah Malaysia harus juga menghentikan perekrutan (melalui) Maid Online System yang tidak terkontrol karena Maid Online System ini tidak memungkinkan Pemerintah Indonesia bisa memiliki data pekerja migran kita yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga sebab tidak bisa mengaksesnya melalui skema itu,” kata Wahyu.
Sementara itu, terkait dengan perlindungan pekerja migran, Wakil Presiden Ma’ruf Amin menuturkan, upaya Pemerintah Indonesia mencegah pengiriman pekerja migran Indonesia ilegal ke luar negeri untuk diperdagangkan. ”Sekarang ini, kan, yang kita cegah adanya PMI (pekerja migran Indonesia) yang ilegal melalui perdagangan orang,” kata Wapres Amin saat menjawab pertanyaan awak media pada keterangan pers di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, Kamis (8/6/2023).
Selain pengawasan di semua provinsi, pengetatan pengawasan pengiriman pekerja migran ilegal juga ditempuh melalui kerja sama dengan sejumlah negara.
Selain pengawasan di semua provinsi, pengetatan pengawasan pengiriman pekerja migran ilegal juga ditempuh melalui kerja sama dengan sejumlah negara. ”Pastilah kita adakan perjanjian-perjanjian untuk tidak menerima (pekerja migran) yang ilegal-ilegal ini. Kalau yang legal ini, kan, bisa diawasi. Biasanya korban-korban itu yang ilegal. Di samping kita cegah dari luar (negeri), tetapi kita dari dalam (negeri), kita ketatkan (pengawasan) di seluruh provinsi,” katanya.
Wapres menuturkan, salah satu penyebab tingginya pekerja migran Indonesia ilegal adalah tingkat kesejahteraan masyarakat yang rendah. Oleh karena itu, pemerintah berupaya menekan perdagangan orang dengan mempercepat penanganan kemiskinan di beberapa wilayah dengan tingkat kemiskinan yang cukup tinggi. ”(Oleh) karena itu, ini (pengentasan rakyat dari kemiskinan) jadi perhatian. Salah satunya selain di Jawa, juga di NTT. Ini akan kita prioritaskan untuk penurunan kemiskinannya,” kata Wapres Amin.