Masyarakat Sipil Ancam Laporkan KPU soal Aturan Laporan Sumbangan Dana Kampanye
Koalisi masyarakat sipil mempertimbangkan melaporkan KPU ke kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu terkait rencana penghapusan laporan penerimaan sumbangan dana kampanye.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi masyarakat sipil mengancam akan membawa permasalahan Rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum terkait Dana Kampanye yang menghilangkan kewajiban penyerahan laporan penerimaan sumbangan dana kampanye atau LPSDK ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. KPU dinilai melanggar asas penyelenggara pemilu, yakni profesionalitas dan akuntabilitas.
Anggota Masyarakat Indonesia Antikorupsi untuk Pemilu Berintegritas, Valentina Sagala, di Jakarta, Jumat (9/6/2023), menjelaskan, rancangan PKPU dana kampanye yang menghapus LPSDK itu semakin menunjukkan kemunduran prinsip pemilu yang berintegritas dan adil.
Menurut Valentina, KPU diwajibkan melaksanakan asas profesionalitas, efisiensi, dan efektivitas sebagai penyelenggara pemilu. Salah satunya menjamin kualitas pelayanan, yakni dalam hal dana kampanye seharusnya KPU mewajibkan peserta pemilu menyusun dan melaporkan LPSDK. Sebab, hal itu menjadi salah satu instrumen bagi pemilih dalam menimbang pilihannya.
Selain itu, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu juga telah mengamanatkan agar prinsip pemilu, yakni akuntabel, dapat tercapai. Demikian juga di dalam Pasal 4 UU No 7/2017 tentang Pemilu, penyelenggara pemilu mesti menerbitkan aturan yang mendorong terwujudnya pemilu yang berintegritas.
Artinya, lanjut Valentina, LPSDK merupakan mandat dari prinsip pemilu, yakni jujur, terbuka, dan akuntabel. ”Untuk menciptakan pemilu yang transparan dan akuntabel itu seharusnya aturannya diperkuat, bukan sebaliknya, apalagi dihapus,” kata Valentina.
LPSDK sudah diterapkan sejak Pemilu 2014 dan Pemilu 2019. Kewajiban itu juga diimplementasikan untuk Pilkada 2015, 2017, 2018, dan 2020. Karena itu, rencana penghapusan LPSDK dari PKPU Dana Kampanye berpotensi memperparah masuknya dana-dana ilegal ke kantong partai untuk pendanaan pemilu.
Menurut Valentina, rencana penghapusan LPSDK juga akan berdampak pada kinerja dan kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Bawaslu harus bekerja lebih keras lagi untuk dapat menelusuri aliran dana kampanye pada Pemilu 2024. Bawaslu harus punya strategi yang tepat untuk pencegahan pelanggaran dan akuntabilitas laporan dana kampanye peserta pemilu, apalagi waktu kampanye yang diperpendek menjadi 75 hari saja.
Jika regulasi LPSDK ini dihapus, kata Valentina, koalisi masyarakat sipil akan mendatangi Bawaslu agar segera mengeluarkan rekomendasi kepada KPU untuk memperbaiki PKPU tersebut. Bahkan, jika tidak berhasil, pihaknya mempertimbangkan untuk membuat pelaporan atau pengaduan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.
Anggota KPU, Idham Holik, mengatakan, rancangan PKPU dana kampanye pemilihan umum sudah melewati berbagai tahapan, mulai dari tahapan focus group discussion, uji publik, hingga dikonsultasikan kepada Komisi II DPR. Saat ini, rancangan PKPU tersebut sedang diharmonisasi.
”Tidak ada undang-undang yang kami langgar. LPSDK tak diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Sementara, masa kampanye yang singkat selama 75 hari mengakibatkan sulitnya menempatkan jadwal penyampaian LPSDK,” kata Idham.
Secara teknis, laporan awal dana kampanye (LADK) berisi laporan penerimaan dan pengeluaran dana peserta pemilu sebelum masa kampanye, LPSDK saat kampanye hingga sebelum pemilihan, serta laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK) setelah pemilihan. Karena itu, muatan informasi LPSDK sudah diatur dalam LADK dan LPPDK.
”Justru dengan aturan baru , kami mendorong jauh lebih transparan dibandingkan yang terdahulu. Peserta pemilu yang tidak melaporkan awal dana kampanye pemilu terdapat sanksi berupa pembatalan sebagai peserta pemilu,” ujar Idham.
Dalam rancangan PKPU Dana Kampanye, KPU telah menyiapkan aturan pembuatan rekening khusus dana kampanye. Karena itu, sejak hari pertama sampai dengan hari ke-75, partai politik diminta melakukan pembaruan informasi harian mengenai sumbangan dana kampanye yang diterima.
Pembaruan ini akan dimasukkan dalam Sistem Informasi Dana Kampanye (Sidakam). Informasi dari Sidakam yang berupa nama penyumbang dan jumlah nominal sumbangan dana kampanye juga akan dipublikasikan di situs resmi KPU, yakni www.infopemilu.kpu.go.id. Hanya informasi yang dikecualikan, seperti kuitansi pembayaran dan nomor induk kependudukan (NIK) penyumbang, yang tidak akan ditampilkan.
Menurut Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, KPU memiliki kewajiban untuk mendorong transparansi dana kampanye. KPU jangan membuat partai politik abai terhadap pelaporan dana kampanye akibat tidak adanya aturan yang mewajibkan partai politik menyampaikan laporan penerimaan sumbangan dana kampanye.
Selain itu, sejumlah polemik dalam PKPU yang diterbitkan telah menunjukkan kemunduran demokrasi. Salah satunya, Pasal 8 Ayat (2) PKPU No 10/2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Bahkan, koalisi masyarakat sipil melakukan gugatan ke Mahkamah Agung, terkait keterwakilan 30 persen perempuan di dalam PKPU No 10/2023 pada Senin (5/6/2023).
Menurut Fadli, saat ini KPU mempunyai masalah serius dalam perspektif mereka soal integritas pemilu. ”KPU sekarang punya masalah dalam cara pandang menjalankan fungsinya. Perspektif mereka adalah mengikuti semua mau partai politik di parlemen. Tak ada lagi kemandirian,” katanya
Kompas berupaya menghubungi Ketua Bawaslu Rahmat Bagja dan anggota Bawaslu, Lolly Suhenty untuk menanyakan perihal keputusan KPU yang menghapus kewajiban LPSDK. Namun, hingga Jumat malam, baik Rahmat maupun Lolly tidak menjawab sambungan telepon dan pesan singkat.