Ketika Wamenkumham Ditanya soal Pembuktian Pasal Kekuatan Gaib
Di acara Kumenkumham Goes to Campus 2023 di Universitas Mulawarman, seorang mahasiswi bertanya kepada Wamenkumham Edward Hiariej soal pembuktian pasal di KUHP terkait pernyataan punya kekuatan gaib. Bagaimana responsnya?
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
Banyak yang sudah mengetahui bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur segala aspek kehidupan manusia. Namun, tahukah Anda bahwa undang-undang tersebut juga mengatur tentang kekuatan gaib, seperti santet?
Hal itulah yang menjadi pertanyaan Suci Fitriyani, mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur. Ia mempertanyakan Pasal 252 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Pernyataan Diri Mempunyai Kekuatan Gaib kepada Orang Lain.
Detailnya, pasal itu berbunyi: "Setiap Orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV."
”Pertanyaannya, bagaimana cara melakukan pembuktian terhadap pasal tersebut?” tanya Suci kepada Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej.
Pertanyaan tersebut mengemuka dalam acara ”Kumham Goes to Campus 2023”, Kamis (8/6/2023), dalam rangka menyosialisasikan KUHP di Universitas Mulawarman, Kaltim. Universitas Mulawarman merupakan lokasi sosialisasi ke-11 dari total 16 perguruan tinggi.
Pertanyaan Suci bukanlah satu-satunya. Lima mahasiswa lain memberikan beragam pertanyaan kepada Wamenkumham yang biasa dipanggil Eddy tersebut. Pertanyaan itu, antara lain, tentang isu kriminalisasi bagi pengkritik pemerintah, isu pemberian sanksi yang semakin ringan di KUHP yang baru, hingga pasal penyerangan kehormatan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden.
Sembari menjawab satu per satu pertanyaan-pertanyaan tersebut, Eddy sekaligus memaparkan visi dan misi yang diemban KUHP yang disahkan awal tahun 2023. Eddy menggarisbawahi bahwa KUHP telah digodok sejak tahun 1958. Proses penyusunan KUHP juga tidak mudah untuk negara dengan beragam etnis, budaya, dan agama, seperti Indonesia.
”Tidak mungkin apa yang telah kita tuliskan itu akan memuaskan seluruh lapisan masyarakat dari Merauke sampai Sabang. Setiap isu yang kita sampaikan di KUHP pasti menimbulkan kontroversi. Oleh karena itu, dengan meminjam istilah Profesor Muladi, kami mencoba mencari Indonesian way, jalan tengah,” kata Eddy.
Demikian pula visi KUHP yang baru tidak lagi berorientasi pada penggunaan hukum pidana sebagai sarana balas dendam, melainkan sebagai keadilan korektif dengan memberikan sanksi bagi yang bersalah. Sanksi tidak hanya berupa pidana penjara, tetapi juga bisa berupa tindakan. Korban yang selama ini terlupakan kini coba dipulihkan melalui paradigma keadilan restoratif.
Terkait hal itu, peristiwa penghuni lembaga pemasyarakatan melebihi kapasitas dapat terjadi karena aparat penegak hukum selama ini menggunakan hukum pidana sebagai sarana balas dendam. Melalui KUHP yang baru, terdapat alternatif sanksi antara pidana dengan denda. ”Ini yang harus diubah, harus diperbaiki. Tidak akan selesai dengan memenjarakan semua orang yang berbuat salah,” ujar Eddy.
Terkait misi yang diemban, Eddy menegaskan bahwa KUHP bukan dimaksudkan untuk membatasi kebebasan berdemokrasi, melainkan mengatur kebebasan berdemokrasi. Terkait dengan pemidanaan bagi penyebar paham atau ideologi anti-Pancasila, yang dipidana adalah perbuatan mengajak orang lain untuk menentang ideologi negara, bukan cara berpikirnya.
Demikian pula tentang pidana bagi penyerang harkat dan martabat presiden dan wapres, menurut Eddy, hal itu tidak ada kaitannya dengan asas kesamaan warga negara sama di dalam hukum. Sebab, presiden dan wapres adalah primus inter pares atau yang utama di antara yang sederajat dan tidak bertentangan dengan asas kesamaan warga negara di dalam hukum. Pasal tersebut juga menampilkan fungsi hukum pidana sebagai pengendali sosial dan fungsi melindungi martabat.
Eddy menuturkan, dalam proses penyusunan, pasal yang paling berat untuk diputuskan adalah tentang pidana mati karena baik pihak yang mendukung ataupun menolak memiliki argumentasi yang sama kuat. Ketika kemudian pasal itu dipertahankan, hal itu tidak hanya terkait persoalan hukum, sosial, dan politik, tetapi juga agama. Oleh karena itu, KUHP memberikan kesempatan kedua bagi pelaku, tetapi dengan melibatkan jaksa eksekutor, hakim pengawas dan pengamat untuk turut memberi penilaian.
Kembali ke pertanyaan Suci tentang Pasal 252, Eddy mengatakan, yang diatur bukan ilmu gaib, seperti santet yang memang tidak mungkin bisa dibuktikan secara rasional. Sebaliknya, yang dibuktikan melalui pasal itu adalah pengakuan seseorang mempunyai kekuatan gaib. ”Bukan persoalan kandungan santetnya yang dibuktikan, tidak. Tetapi, ketika dia mengaku, dia bisa kena pasal itu,” kata Eddy.
Eddy pun memuji pertanyaan Suci tersebut yang dinilai telah membantunya menjelaskan tentang KUHP. Lantas, bagaimana Anda menilai KUHP?