Sekali Lagi, Partai Berkarya Minta MK Perbolehkan Presiden Dua Periode Jadi Cawapres
Partai Berkarya kembali menguji materi pasal di Undang-Undang Pemilu yang mengatur persyaratan cawapres dan capres belum pernah menjabat sebagai presiden dan wapres selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
Meskipun sudah pernah ditolak Mahkamah Konstitusi, Partai Berkarya kembali meminta lembaga penjaga konstitusi tersebut membuka kesempatan bagi presiden dua periode untuk maju dalam pemilu mendatang sebagai calon wakil presiden. Ini merupakan upaya kedua dari Partai Berkarya untuk mempersoalkan larangan pembatasan masa jabatan presiden/wapres, dan upaya ketiga yang diajukan ke MK.
Selain Partai Berkarya, MK sebelumnya juga pernah menerima permintaan serupa yang diajukan oleh tiga perempuan warga negara (advokat, karyawan swasta, dan pengurus rumah tangga) yang membawa permasalahan serupa. Namun, permohonan ini tidak diterima.
Dalam perkara terakhir, Muchdi Purwopranjono selaku Ketua Umum DPP Partai Berkarya dan Fauzan Rachmansyah selaku Sekretaris Jenderal DPP Partai Berkarya kembali mendaftarkan pengujian Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf I Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke MK pada 18 Mei 2023. Hingga Rabu (24/3) pagi atau hampir sepekan kemudian, permohonan tersebut belum juga diregister ke Buku Registrasi Perkara Konstitusi oleh Kepaniteraan MK.
Adapun Pasal 169 huruf n berbunyi: Persyaratan menjadi calon presiden dan wakil presiden adalah: n. belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama. Sementara Pasal 227 huruf i berbunyi: Pendaftaran bakal pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 dilengkapi persyaratan sebagai berikut: i. surat pernyataan belum pernah menjabat presiden atau wakil presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.
Dalam berkas permohonan yang didaftarkan, Partai Berkarya merasa hak konstitusionalnya potensial dirugikan dengan keberadaan dua pasal tersebut. Sebab, partai tersebut tidak dapat mencalonkan presiden yang telah menjabat dua kali untuk menjadi calon wakil presiden dalam pemilu selanjutnya. Hal itu dianggap mereka melanggar hak partai atas jaminan kepastian hukum yang adil dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi.
Lebih jauh, norma Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf I UU Pemilu tersebut dinilai tak sesuai dengan Pasal 7 UUD 1945. Pasal tersebut secara gramatikal mengatur presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, untuk satu kali masa jabatan. Artinya, pembatasan dalam konstitusi tersebut hanya sepanjang menjabat dalam jabatan yang sama.
”Oleh sebab itu, secara a contrario presiden yang telah memegang jabatan selama dua kali masa jabatan atau periode demi hukum dapat dipilih kembali sepanjang dalam jabatan yang berbeda, yaitu dapat dipilih kembali dalam jabatan sebagai wakil presiden, mengingat jabatan presiden dengan wakil presiden adalah jabatan yang berbeda (tidak sama),” demikian salah satu argumen yang dikemukakan Partai Berkarya di dalam berkas permohonan.
Dalam petitum permohonannya, Partai Berkarya meminta MK untuk menyatakan kedua pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ”calon Presiden belum pernah menjabat sebagai Presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama atau calon Wakil Presiden belum pernah menjabat sebagai Wakil Presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.”
Partai Berkarya merasa perlu mempersoalkan dua ketentuan tersebut ke MK mengingat sebagai partai non-parlemen, Berkarya tidak ikut membahas UU 7/2017. Sebagai partai non-parlemen, kesempatan partai tersebut untuk turut terlibat dalam arah penyelenggaraan negara dilakukan melalui jalur nonparlemen di antaranya menguji dua pasal tersebut ke MK.
Ditolak
Sebelumnya, MK juga pernah menangani perkara serupa, yaitu perkara nomor 101/PUU-XX/2022 dan 117/PUU-XX/2022. Perkara 101/2022 diajukan oleh tiga warga, yakni Ghea Giasty Italiane, Desy Febriani Damanik, dan Anyelir Puspa Kemala, kandas di MK karena ketiganya dinilai tak memiliki kedudukan hukum mempersoalkan norma tersebut. Hak konstitusional pemohon untuk menggunakan hak pilihnya tidak dibatasi ataupun tidak hilang karena masih terdapat pasangan calon presiden/wakil presiden yang dapat dipilih oleh para pemohon.
Sementara itu, dalam perkara 117/2022, MK menolak permohonan Partai Berkarya dengan menilik kembali lahirnya Pasal 7 UUD 1945 hasil amendemen. Sebelumnya, Pasal 7 UUD 1945 hanya mengatur ”Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.” Frasa ”sesudahnya dapat dipilih kembali” membuka atau memberi kesempatan bagi seseorang untuk menjadi presiden atau wakil presiden tanpa batasan yang jelas.
”Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, rumusan fleksibel Pasal 7 UUD 1945 inilah yang digunakan sebagai basis atau dasar argumentasi untuk mengangkat presiden tanpa batasan periode pada zaman Orde Lama dan Orde Baru,” demikian pertimbangan putusan MK.
Ketentuan tersebut juga dinilai membuka celah (loop hole) bagi rezim Orde Baru merekayasa begitu rupa sehingga Soeharto menjadi presiden lebih dari 32 tahun. MPR kemudian sepakat mengubah substansi Pasal 7 UUD 1945 tersebut yang kemudian diadopsi di dalam konstitusi hasil amendemen. Secara substansi, norma perubahan yang dihasilkan dimaksudkan untuk membatasi kesempatan seseorang menjadi presiden atau wakil presiden, tidak melebihi dari dua periode masa jabatan baik berturut-turut ataupun tidak berturut-turut.
Terkait dengan substansi norma Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017, MK tidak melihat adanya persoalan konstitusional di dalamnya. Oleh karena itu, MK tetap meminta kedua norma tersebut menjadi panduan bagi penyelenggara pemilu untuk melaksanakan kontestasi demokrasi lima tahunan yang akan berlangsung selanjutnya.