Moeldoko: Usulan Revisi UU TNI Tak Akan Kembalikan Dwifungsi ABRI
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menegaskan, revisi UU TNI dipastikan tak akan mencederai reformasi. Revisi UU TNI juga tidak akan memunculkan kembali Dwifungsi ABRI yang telah dihapuskan sejak masa reformasi.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN, CYPRIANUS ANTO SAPTOWALONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Masyarakat diimbau agar tidak khawatir terkait usulan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Hal ini terutama karena profesionalitas TNI sudah terbukti. Tindakan kekerasan eksesif seperti yang pernah terjadi di masa lampau, sudah tidak mungkin terjadi lagi karena kontrol publik terhadap institusi TNI kini sangat kuat.
”Enggak usah berlebihanlah atas ketakutan itu karena tentara sekarang berbeda. Tentara sekarang itu betul-betul profesional, yang menginginkan profesional itu justru prajurit. Kalau dulu mungkin definisi profesional itu bias. Sekarang enggak bias, clear ada dalam Undang-undang,” ujar Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko kepada wartawan ketika meluncurkan program Sekolah Staf Presiden Angkatan II di Museum Kebangkitan Nasional Jakarta, Senin (22/5/2023).
Usulan Revisi UU TNI juga dipastikan tidak akan mencederai reformasi. ”Jadi, menurut saya teman-teman enggak perlu banyak khawatir karena lingkup profesionalitas terdefinisikan dengan bagus, dengan pas, dengan baik. Yang kedua, tindakan-tindakan eksesif seperti yang lalu tidak mungkin terjadi karena kontrol publik terhadap institusi itu sangat kuat,” tambah Moeldoko.
Menurut Moeldoko, revisi UU TNI tersebut juga tidak akan memunculkan kembali Dwifungsi ABRI yang telah dihapuskan sejak masa reformasi. ”Oh enggak, enggak, enggak mungkinlah kita kembali kepada dwifungsi lagi seperti yang lalu, enggak, enggak mungkin,” kata Moeldoko.
”Jadi, menurut saya teman-teman nggak perlu banyak khawatir karena lingkup profesionalitas terdefinisikan dengan bagus, dengan pas, dengan baik. Yang kedua, tindakan-tindakan eksesif seperti yang lalu tidak mungkin terjadi karena kontrol publik terhadap institusi itu sangat kuat. ”
Sebelumnya, dalam pembahasan internal, TNI mendorong supaya prajurit aktif bisa memegang lebih banyak jabatan sipil. Pasal 47 Ayat 2 UU TNI menyebutkan, prajurit TNI bisa menduduki jabatan sipil di sepuluh kementerian dan lembaga. Namun, dalam usulan revisi UU TNI, prajurit aktif TNI bisa duduk di 18 kementerian dan lembaga, ditambah dengan kementerian lain jika memang dibutuhkan.
”Karena apa, dwifungsi yang lalu itu ya, maka dilakukan reformasi, satu yang direformasi adalah doktrin, doktrin-doktrin yang berkaitan sosial politik hilang. Untuk itu, konsekuensinya adalah strukturnya harus diubah. Dulu ada Kasie Sospol, Asisten Sosial Politik, hilang semuanya Doktrinnya sudah enggak ada, strukturnya enggak ada.”
”Karena apa, dwifungsi yang lalu itu, ya, maka dilakukan reformasi, satu yang direformasi adalah doktrin, doktrin-doktrin yang berkaitan sosial politik hilang. Untuk itu, konsekuensinya adalah strukturnya harus diubah. Dulu ada Kasie Sospol, Asisten Sosial Politik, hilang semuanya Doktrinnya sudah enggak ada, strukturnya enggak ada,” tambah Moeldoko.
Budaya korporasi di TNI juga telah dibenahi. ”Dan ini enggak bisa selesai begitu saja, terus berjalan, yang penting adalah sebuah komitmen yang kuat dari para pimpinan di TNI. Jadi, budaya-budaya dulu masih suka mikirin partai politik sudah enggak ada lagi, clear,” ujar Moeldoko.
Sebaiknya ada pembedaan
Secara terpisah, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI dan Polri (Pepabri) Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar saat ditanya awak media terkait bergulirnya revisi UU TNI menuturkan dirinya belum mempelajari persoalan tersebut. Namun, dia meminta harus ada pembedaan ketika ditanya setuju atau tidak dengan pelibatan TNI pada jabatan-jabatan sipil.
”Gini, ya, kalian harus bisa membedakan. Kalo dulu ada anggota TNI yang ditugaskan di jabatan sipil, itu sifatnya penugasan. Ya, ada kekaryaan di TNI. Penugasan ini dasarnya adalah permintaan. ”
”Gini, ya, kalian harus bisa membedakan. Kalo dulu ada anggota TNI yang ditugaskan di jabatan sipil, itu sifatnya penugasan. Ya, ada kekaryaan di TNI. Penugasan ini dasarnya adalah permintaan,” kata Agum Gumelar di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (22/5/2023).
”Maka diproses ini, diajukan kepada korem, diajukan kepada kodam, diajukan kepada mabes. Ada permintaan. Tanpa permintaan, kita tidak bisa naruh anggota kita di mana-mana. Tidak bisa. Harus ada permintaan. Tetapi, memang suatu ketika permintaan ini direkayasa, itu yang salah. Itu yang salah. ”
Dia memisalkan ketika aspirasi masyarakat di suatu kabupaten adalah menginginkan bupatinya seorang militer. ”Maka diproses ini, diajukan kepada korem, diajukan kepada kodam, diajukan kepada mabes. Ada permintaan. Tanpa permintaan, kita tidak bisa naruh anggota kita di mana-mana. Tidak bisa. Harus ada permintaan. Tetapi memang suatu ketika permintaan ini direkayasa, itu yang salah. Itu yang salah,” ujar Agum.
Menurut Agum, hal seperti itu tidak perlu diundang-undangkan. ”Oh jangan, enggak perlu lagi. Sudah jelas. Kalau memang ada permintaan, ya, itu pun berpulang dari TNI-nya. Bisa enggak memenuhi permintaan itu? Kalau tidak ada permintaan, jangan coba-coba beri atau TNI mengirim orang ke sana ke mari. Itu salah itu. Itu yang dicaci maki oleh rakyat waktu itu, seolah-olah itulah dwifungsi. Itu bukan dwifungsi,” katanya.
Agum menuturkan, dwifungsi adalah suatu peran dari TNI dan Polri, ABRI waktu itu, bersama-sama dengan kekuatan sosial politik lainnya untuk bisa membawa bangsa ini menuju ke tujuan nasional. ”Itu dwifungsi, bukan penugaskaryaan. Penugaskaryaan itu permintaan. Tanpa permintaan tidak ada tugas karya. Gitu, ya. Jelas, ya. Jangan dipelintir ini,” ujarnya. (CAS/WKM)