Penambahan kodam berpotensi menambah pelik persoalan disparitas yang semakin terbuka lebar dalam upaya reformasi TNI. Di saat pusat berupaya menguatkan alutsista, teritorial justru masuk masif di area-area sipil.
Oleh
IKHSAN YOSARIE
·4 menit baca
Estafet Komando TNI dari Jenderal Andika Perkasa ke Laksamana Yudo Margono berimplikasi terhadap kontinuitas penguatan pertahanan, terutama alat utama sistem senjata (alutsista) untuk Angkatan Laut (AL). Misalnya, pada pertengahan Januari 2023, TNI AL menambah empat pesawat berupa satu pesawat udara CN 235-220 MPA dan tiga pesawat latih Piper Archer PA-28-181. Selain itu, juga satu helikopter Bell 505 Jet Ranger.
Kontinuitas tersebut juga dapat terlihat melalui peremajaan 41 Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) yang akan dilakukan bertahap, rencana penambahan kapal perang penyapu ranjau buatan Jerman, serta penguatan armada melalui penambahan Kapal Rumah Sakit dr Radjiman Wedyodiningrat-992 pada 19 Januari yang merupakan produksi PT PAL.
Upaya-upaya penguatan alutsista AL secara bertahap juga terus dilanjutkan Laksamana Yudo ketika masih menjabat Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL), seperti penambahan KRI tipe Patroli Cepat (PC) Dorang-874 dan KRI Bawal-875. Selain itu, juga peningkatan teknologi pada KRI Nagapasa-403 melalui pemasangan peralatan Sewaco, yaitu pemasangan Torpedo Countermeasure System (TCMS) pada Agustus 2022.
Penguatan alutsista matra laut menjadi sesuatu yang tidak boleh dikesampingkan dalam penguatan pertahanan, terlebih dengan menimbang eskalasi di Laut Natuna Utara yang dapat meningkat sewaktu-waktu. Terlebih, dengan kondisi kapal coast guard China yang masih lalu lalang di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna, sebagaimana dijelaskan KSAL (Kompas.com, 16/1).
Dengan eskalasi konflik yang dapat meningkat sewaktu-waktu tersebut, serta realitas luas wilayah laut Indonesia, penguatan alutsista ini menjadi penting. Bukan hanya manifestasi dari Indonesia sebagai negara maritim, tetapi memang inilah mandat Konstitusional TNI sesuai Konstitusi dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI), yakni sebagai alat negara di bidang pertahanan.
Urgensi penguatan alutsista matra laut tersebut juga terpotret dalam laporan Setara Institute. Pada 2021, Setara Institute melakukan survei opini ahli mengenai kualitas kandidat panglima TNI dan roadmap pasca-keterpilihan. Dalam konteks roadmap pasca-keterpilihan, Setara Institute membaginya menjadi prioritas persoalan internal dan persoalan eksternal.
Mengenai prioritas persoalan eksternal TNI, para ahli menilai bahwa pelanggaran wilayah perbatasan menjadi prioritas utama (74 persen). Setelah itu disusul konflik Laut China Selatan/Laut Natuna Utara (60 persen), perampokan pencurian sumber daya alam dan kelompok bersenjata (54 persen), pelibatan proporsional TNI dalam mengatasi tindak pidana terorisme (52 persen), dan serangan siber (48 persen).
Penambahan kodam
Di tengah positifnya upaya penguatan alutsista, persoalan muncul ketika kita membahas dan memperbandingkan situasi di atas dengan teritorial TNI. Sebab, jalan panjang estafet reformasi TNI Laksamana Yudo Margono sebagai Panglima TNI bukan hanya kontinuitas, tetapi yang tidak kalah penting adalah disparitas antara pusat dan teritorial. Pada titik ini, wacana penambahan komando daerah militer (kodam) sehingga akan ada pada setiap provinsi menambah pelik disparitas tersebut.
Penambahan kodam tersebut tentu juga harus dipahami bahwa bersamaan dengan itu juga ada penambahan pada struktur teritorial di bawahnya, seperti komando resor militer (korem), komando distrik militer (kodim), komando rayon militer (koramil), hingga bintara pembina desa (babinsa). Dengan melihat positifnya penguatan alutsista pada tingkat pusat, salah satu isu penting yang perlu dibahas adalah bagaimana dengan yang di teritorial?
Perlu diingat bahwa salah satu kritikan dalam konteks reformasi TNI terhadap teritorial ini adalah keterlibatannya pada wilayah-wilayah sipil yang massif, terutama pada level koramil dan babinsa. Misalnya, pada isu pangan, keterlibatannya bahkan bisa dikatakan dari hulu hingga hilir, mulai dari pemanfaatan lahan kosong, distribusi pupuk, pengolahan lahan, penanaman (padi dan jagung), penyemprotan, pembasmian hama, hingga panen.
Salah satu kritikan dalam konteks reformasi TNI terhadap teritorial ini adalah keterlibatannya pada wilayah-wilayah sipil yang massif, terutama pada level koramil dan babinsa.
Massifnya keterlibatan TNI pada aspek demikian pun sebenarnya telah lama mendapat kritikan publik. Di antaranya mengenai menurunkan profesionalitas militer. Sebab, ketimbang memperkuat kemampuan tempur, militer di teritorial malah mengasah keahlian pertaniannya secara holistik. Padahal, giat-giat demikian pada isu pangan justru merupakan suatu keseharian bagi petani, serta dapat dikelola oleh instansi sipil terkait.
Artinya, kapasitas dan kapabilitas dari sipil masih mampu untuk mengelolanya sehingga peran-peran dari unsur TNI dapat difokuskan saja kepada aspek pertahanan, terutama penguatan fungsi tempurnya, seperti penguatan taktik tempur gerilya dan latihan penggunaan alutsista terkait. Namun, tentu latihan-latihan tersebut juga tidak memicu persoalan lahan dengan masyarakat sekitar. Langkah demikian jelas lebih kondusif, bukan hanya terhadap reformasi TNI, tetapi juga terhadap fungsi utamanya sebagai alat pertahanan negara.
Selain itu, dalam siaran persnya (14/2/2023), Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan juga menyebutkan bahwa wacana penambahan kodam ini juga mengkhianati semangat Reformasi 1998, khususnya penghapusan doktrin Dwifungsi ABRI yang salah satu agendanya adalah restrukturisasi komando teritorial.
Oleh karena itu, ketika doktrin dwifungsi ABRI yang menjadi pijakan dasar militer berpolitik sudah dihapus pada masa Reformasi, seharusnya struktur komando teritorial justru direstrukturisasi, bahkan dihapus. Bukan malah ditambah, bahkan menyesuaikan dengan struktur administrasi pemerintahan daerah yang ada.
Melanjutkan reformasi TNI
Ketimbang melakukan penambahan kodam dengan segenap potensi implikasinya, akan lebih baik jika TNI fokus pada kelanjutan upaya reformasi internalnya. Setara Institute dalam survei opini ahlinya pada 2021 juga telah merekam sejumlah daftar persoalan yang berkaitan dengan internal TNI. Dalam survei tersebut, para ahli memilih lima persoalan prioritas internal TNI.
Penghapusan kekerasan prajurit terhadap warga sipil berada di urutan pertama dengan dengan angka 74 persen. Lalu pemastian netralitas TNI dalam pemilu/pilkada di urutan kedua dengan angka 62 persen. Berturut-turut pada urutan ketiga pemenuhan alutsista dan penghentian penempatan TNI aktif pada jabatan sipil di luar UU TNI (60 persen), peningkatan kesejahteraan prajurit (58 persen), dan kelima pengutamaan dialog dalam penanganan konflik di Papua dan penghentian keterlibatan TNI dalam konflik lahan (52 persen).
Selain itu, dalam rangka HUT Ke-77 TNI pada Oktober 2022, Setara Institute juga memberikan catatan kinerja Reformasi TNI. Penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) masih menjadi salah satu isu yang berkontribusi dalam macetnya reformasi TNI, seperti kasus-kasus kekerasan, penganiayaan, dan dehumanisasi di Papua. Persoalan kekerasan ini semakin sulit diselesaikan lantaran TNI masih menikmati ”privilese” selama UU No 31/1997 tentang Peradilan Militer belum direvisi.
Lemahnya penghormatan terhadap HAM dan supremasi sipil di tubuh TNI juga bisa dilihat dari respons lingkungan TNI atas pernyataan Effendi Simbolon, anggota Komisi I DPR. Padahal, komentar salah seorang anggota DPR yang disampaikan di forum resmi tersebut merupakan mandat konstitusional dan bagian dari fungsi pengawasan legislatif.
Evaluasi berikutnya yang tidak kalah penting berkaitan dengan larangan menduduki jabatan sipil di luar ketentuan UU TNI. Kekhawatiran terhadap pengaruh habisnya masa jabatan kepala daerah (gubernur, bupati/wali kota) pada 2022 dan 2023 terhadap reformasi TNI akhirnya menjadi kenyataan. Hal tersebut terlihat dari penunjukan Kepala BIN Daerah Sulteng sebagai Penjabat Bupati Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku.
Ikhsan Yosarie, Peneliti HAM dan Sektor Keamanan Setara Institute