Gugatan Soal Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah Segera Diputus Pengadilan
Penggugat dan masyarakat sipil menilai prosedur yang ditempuh pemerintah dalam mengangkat penjabat kepala daerah tidak sesuai aturan perundang-undangan dan putusan MK.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat sipil mengingatkan bahwa prosedur yang ditempuh pemerintah dalam menunjuk para penjabat gubernur, bupati, ataupun wali kota tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Meski masyarakat sipil memahami bahwa penunjukan pejabat tersebut harus dilakukan agar pemilihan kepala daerah dapat dilaksanakan secara serentak pada 2024, prosedurnya tetap harus dijalankan secara transparan.
Hal itu terungkap dalam diskusi bertajuk ”Penunjukan Penjabat Kepala Daerah dan Dampaknya terhadap Demokrasi” yang diselenggarakan di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Minggu (21/5/2023). Diskusi tersebut terkait dengan gugatan sejumlah masyarakat sipil kepada Presiden Joko Widodo dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian terkait tindakan pemerintah yang tidak menerbitkan peraturan pemerintah sebagai aturan pelaksana pengangkatan penjabat kepala daerah serta terkait penerbitan surat keputusan untuk melantik 88 penjabat kepala daerah pada 12 Mei-25 November 2022.
Menurut penggugat, penerbitan peraturan pelaksana tersebut merupakan tindak lanjut atas Pasal 201 dan 205 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021 dan Nomor 15/PUU-XX/2022.
Sidang gugatan perkara tersebut telah berlangsung di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta sejak akhir tahun lalu dan menurut rencana akan diputus pada Rabu (24/5/2023).
”Melalui kasus ini kita bilang bernegara itu tidak boleh ugal-ugalan. Pokoknya asal beres secara prosedural, maka kita (masyarakat) harus menerima (penunjukan penjabat kepala daerah). Ukuran ugal-ugalan atau tidak adalah konstitusi,” kata pengajar dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera yang juga merupakan saksi ahli yang diajukan pihak penggugat, Bivitri Susanti.
Bivitri mengatakan, pada dasarnya konstitusi mengamanatkan bahwa kepala daerah harus dipilih secara demokratis dan masyarakat berhak memberikan partisipasi politik. Terkait penunjukan penjabat kepala daerah, dalam bagian pertimbangan putusan dari Putusan MK Nomor 15/PUU-XX/2022 sudah dijelaskan secara detail 9 pedoman yang harus dilaksanakan pemerintah, termasuk untuk menerbitkan peraturan pelaksana.
Dengan demikian, ujar Bivitri, apa yang kemudian dilakukan pemerintah dapat dinilai sebagai inkonstitusional karena pada saat itu pemerintah tidak menerbitkan peraturan pelaksana. Di sisi lain, masyarakat tidak memiliki akses untuk melihat proses pemilihan dan penunjukan penjabat kepala daerah, termasuk tidak adanya dokumen yang menunjukkan proses tersebut.
”Kita harus clear-kan bahwa yag dipermasalahkan adalah mekanisme penunjukannya, tata kelola pemerintahannya. Meski kami tidak setuju sepenuhnya, tapi kami menerima harus ada penunjukan. Yang kita gugat kenapa nunjuknya sembarangan,” kata Bivitri.
Pengacara penggugat dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Jihan Fauzlah Hamdi mengatakan, ketika persidangan berlangsung, awal April lalu, Mendagri menerbitkan Peraturan Mendagri No 4/2023 tentang Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, dan Penjabat Wali Kota. Namun, peraturan tersebut baru diterbitkan setelah ratusan kepala daerah diangkat.
Terkait dengan penerbitan permendagri tersebut, peneliti dari Indonesia Corruption Watch yang juga menjadi saksi dalam perkara tersebut, Kurnia Ramadhana, berpandangan, informasi mengenai terbitnya peraturan tersebut baru diketahui dari persidangan. Meski demikian, lanjut Kurnia, yang seharusnya menerbitkan aturan pelaksana bukanlah Kemendagri, melainkan pemerintah. Sebab, aturan pelaksana harus berupa peraturan pemerintah (PP), bukan peraturan menteri.
”Bukan tidak mungkin ada upaya mengendalikan penjabat-penjabat ini untuk kepentingan pemerintah mendatang. Sebab, kalau melihat sosok yang ditunjuk sebagai penjabat kepala daerah itu banyak sekali yang rangkap jabatan,” tutur Kurnia.
Dengan telah diterbitkannya Permendagri No 4/2023, Kurnia mengajak masyarakat untuk mencermati prasyarat yang dituangkan pemerintah dalam memilih sosok penjabat kepala daerah, semisal terkait integritasnya. Untuk itu, publik bisa melakukan pengecekan silang penjabat tertentu dengan data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Dengan alat tersebut, integritas penjabat kepala daerah dapat diuji oleh publik.
Di sisi lain, Kurnia menilai terbitnya Permendagri No 4/2023 merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap konstitusi yang mengamanatkan dibuatnya peraturan pelaksana berupa peraturan pemerintah (PP). Atas tindakan tersebut, Kurnia menilai, Presiden seharusnya mengevaluasi Mendagri.
Proses gugatan
Salah satu penggugat yang adalah warga Jakarta Timur, Adhito Hari Nugroho, mengatakan, alasannya mengajukan gugatan adalah ia tidak ingin kebijakan yang positif dari gubernur sebelumnya kemudian dirombak atau dihapus oleh penjabat gubernur yang ditunjuk. Hal itu ia rasakan di DKI Jakarta terkait dengan dihilangkannya jalur sepeda di salah satu kawasan di Jakarta Selatan.
Di sisi lain, pascareformasi, ia memiliki hak untuk bisa memilih kepala daerahnya sendiri. Namun, dengan adanya penunjukan penjabat gubernur, maka kesempatan warga untuk bisa memilih pemimpinnya sendiri menjadi hilang untuk jangka waktu tertentu.
”Dan, penjabat gubernur itu diangkat dengan surat keputusan menteri dalam negeri yang berarti dia tidak tunduk kepada masyarakat di wilayahnya,” kata Adhito.
Menurut Jihan, jika nantinya gugatan masyarakat sipil tersebut ditolak, pihaknya akan terus melakukan proses hukum, seperti banding, sampai putusan tersebut berkekuatan hukum tetap. Selain itu, pihaknya akan terus berupaya agar isu tersebut tidak dilupakan oleh masyarakat.
”Kita tidak menjanjikan menang atau kalah, tapi mengawal agar hakim terus dipantau,” ujar Jihan.