Bakal Capres Saling Tunggu untuk Tentukan Pasangan
Posisi bakal cawapres menjadi kunci untuk menopang elektabilitas bakal capres. Salah mencari bakal cawapres justru akan menjadi bencana politik bagi bakal capres.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah bakal calon presiden menunjukkan intensi saling menunggu untuk menetapkan bakal calon wakil presiden yang akan mendampinginya di Pemilihan Presiden 2024. Penentuan sosok nomor dua dalam kontestasi itu menjadi krusial dan sangat menentukan karena belum ada satu pun kandidat calon presiden yang memiliki elektabilitas dominan.
Lima bulan sebelum pendaftaran peserta Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, sejumlah bakal calon presiden (capres) yang didukung partai politik (parpol) dan koalisi parpol belum menentukan bakal calon wakil presiden (cawapres) yang akan mendampinginya. Anies Baswedan, bakal capres dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan atau KPP (Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera atau PKS), salah satunya. Meski telah dideklarasikan sebagai bakal capres oleh Partai Nasdem pada awal Oktober 2022 lalu disusul oleh Partai Demokrat dan PKS awal 2023 lalu, hingga saat ini nama calon pendamping Anies masih dalam proses pembahasan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Ditemui seusai menyampaikan pidato politik dalam acara ”Temu Relawan Kebangsaan Anies Baswedan” di kawasan Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (21/5/2023), Anies mengakui bahwa proses penentuan pendampingnya masih berjalan. Ia belum mau memberitahukan sejumlah sosok yang termasuk dalam pembahasan. Hal itu dinilai penting, agar saat diumumkan nanti tetap ada efek kejut yang ditimbulkan.
”Kalau dikasih kriteria sekarang, nanti tidak ada kejutan dong,” ujar Anies sambil tertawa.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal PKS Habib Aboe Bakar Alhabsyi memperkirakan, bakal cawapres untuk Anies akan ada setelah pembentukan sekretariat bersama KPP. Kendati demikian, pihaknya disebut akan lebih senang jika bakal capres dari parpol atau koalisi parpol lain sudah lebih dulu mengumumkan pendampingnya. Sebab, dari situ konstelasi pilpres akan lebih jelas.
”Jadi, misalnya saudara kita Ganjar Pranowo sudah dapat siapa, Prabowo Subianto, misalnya, dapat siapa, nah kita senang. Artinya sudah kelihatan begini-begini,” kata Habib.
Bakal capres dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang juga didukung oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Ganjar Pranowo tidak memungkiri, ada 10 nama yang berpeluang untuk mendampinginya. Sepuluh nama dimaksud sebelumnya pernah disebut oleh Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI-P, akhir April lalu.
”Semuanya berpotensi,” kata Ganjar seusai mengikuti Bank Jateng Friendship Run di Lapangan Banteng, Jakarta, Minggu pagi.
Sebelumnya, Gubernur Jawa Tengah itu juga mengatakan bahwa hingga kini dirinya belum mendapatkan sinyal soal sosok bakal cawapres yang akan mendampinginya. Sejumlah nama yang muncul belakangan berasal dari cerita publik dan media. Menurutnya, memilih bakal cawapres tak bisa sekadar melihat kekuatan elektabilitasnya di Jawa atau luar Jawa. Tidak bisa pula sekadar melihat latar belakang organisasi tokoh tersebut, sebab Indonesia terdiri dari beragam etnis, ras, agama, dan golongan (Kompas, 20/5/2023).
Selain Anies dan Ganjar, bakal capres dari Partai Gerindra yang juga Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, juga belum menentukan pasangannya untuk maju di Pilpres 2024. Meski sudah berkoalisi dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), kedua partai ini juga belum mengumumkan secara resmi pencalonan Prabowo dari gabungan parpol yang diberi nama Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR). Pada Minggu malam, Prabowo bertemu Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dalam Istighotsah Nasional dan Doa Bersama untuk Kemaslahatan Bangsa dan Negara di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, Jawa Timur.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno melihat, penentuan bakal cawapres bagi setiap bakal capres menjadi alot karena baik kandidat maupun parpol dan koalisi masih mencari sosok yang pas. Jelang Pilpres 2024, bakal cawapres menempati posisi krusial untuk menambah tingkat elektabilitas bakal capresnya. Sebab, hingga saat ini belum ada bakal capres yang mencapai angka psikologis politik sebesar 60 persen.
”Karena itu, posisi bakal cawapres menjadi kunci untuk menopang elektabilitas bakal capres. Salah mencari bakal cawapres akan menjadi bencana politik bagi mereka,” kata Adi.
Berdasarkan pertimbangan itu, Adi melihat, para bakal capres tentu akan mencari sosok yang bisa melengkapi kekurangan elektabilitasnya di sejumlah wilayah. Misalnya, keterpilihan Ganjar rendah di Jawa Barat, Banten, dan Sumatera. Adapun Anies dan Prabowo juga lemah di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan warga Nahdlatul Ulama (NU), organisasi kemasyarakatan dengan populasi anggota terbesar di Indonesia.
”Karena masa pendaftaran masih lima bulan lagi, semua parpol, semua bakal capres, pasti hati-hati sebelum memilih (pasangan) secara definitif dan mendaftarkannya ke Komisi Pemilihan Umum (KPU),” ujar Adi.
Oleh karena itu, menurut dia, sulitnya para bakal capres menentukan pasangannya terkait dengan kebutuhan politik untuk berhati-hati. Jika sosok yang mampu memperkuat elektabilitas mereka sudah ditemukan, ia menengarai, keputusan tim lawan tidak akan menjadi pemengaruh yang signifikan. ”Dalam logika sepak bola, tanpa perlu melihat kekuatan tim lawan, lihat kekuatan tim sendiri, persiapannya matangkan, solidkan, kuatkan, nggak peduli lawannya seperti apa,” tutur Adi.
Gagasan bakal capres
Sementara itu, dalam pidatonya saat bertemu kelompok sukarelawan pendukungnya, Anies kembali menegaskan pentingnya keadilan dan kesetaraan dalam pembangunan bangsa.
Ia bercerita, sempat melakukan perjalanan ke sejumlah daerah untuk mendengar dan menyerap aspirasi publik tanpa didampingi tim pemenangan ataupun media pada Ramadhan atau April lalu. Dalam perjalanan yang ia sebut sebagai tirakat itu, Anies menyimpulkan bahwa ada sejumlah persoalan yang menunjukkan bahwa ketidakadilan dan ketidaksetaraan masih terjadi sehingga merugikan rakyat kecil dan menguntungkan segelintir pihak yang memiliki akses pada kekuasaan.
Anies menambahkan, kondisi itu salah satunya terjadi karena keberadaan mafia di berbagai lini, di antaranya penyediaan pupuk, penyelenggaraan pekerja migran, pendidikan tinggi, bahkan proyek-proyek pemerintah. Dari sejumlah kasus hukum yang terkuak, terdapat pula keterlibatan aparat negara. Hal ini ironis karena bertentangan dengan semangat reformasi 25 tahun lalu yang menginginkan penyelenggaraan negara bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
”Ini panggilan untuk kita semua, 25 tahun yang lalu kita berkomitmen memberantas KKN sekarang kita berkomitmen memberantas mafia-mafia yang ada di republik ini,” kata Anies.
Ia menambahkan, penyimpangan dari semangat reformasi itu terjadi secara perlahan. Ibarat katak yang dimasukkan ke dalam panci berisi air dingin, katak tersebut tidak menyadari ketika panci diletakkan di atas kompor hingga air di dalamnya mendidih dan berimbas pada matinya katak. ”Bila pemimpin-pemimpin republik ini tidak sensitif kepada persoalan ini, maka ini akan secara bertahap merusak Indonesia,” ujar Anies.