Dramaturgi Panggung Depan Politisi
Politik ibarat dramaturgi yang menampilkan kepiawaian aktor dalam merebut hati orang banyak. Demi panggung depan yang menarik, para politisi memoles diri sedemikian rupa di luar manuver di panggung belakang. Seperti apa?

Video tebak-tebakan Airlangga Hartarto dan istrinya yang diunggah di akun milik Airlangga di Instagram.
- Untuk memenangi pertarungan di medsos, pemetaan dan pembuatan konten yang bakal dipublikasikan menjadi penting.
- Para politisi juga membutuhkan polesan untuk penampilan fisiknya.
- Orisinalitas calon pemimpin juga penting untuk dikedepankan di tengah pembangunan persepsi yang dilakukan sedemikian rupa.
“Bu. Buah apa yang lucu?” ujar seorang kader Golkar.
“Hah?,” ucap Yanti Airlangga terheran.
“Ayo Pak Menko kasih tahu ibu jawabannya,” kata kader itu.
“Buahahahahaha,” ujar Airlanggar Hartarto menjawab permintaan kader tersebut.
Tebak-tebakan itu berlangsung saat Airlangga Hartarto dan istrinya, Yanti Airlangga Hartarto, keluar dari Kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar, Jakarta, awal Mei 2022 lalu. Momen itu diabadikan dalam video singkat yang diunggah di akun media sosial Airlangga.
Guyonan tersebut menjadi salah satu yang pertama ada di akun media sosial (medsos) Airlangga yang juga Ketua Umum Partai Golkar. Setelah unggahan tersebut, muncul banyak tebak-tebakan yang dilontarkan Airlangga pada berbagai kesempatan. Dalam pertemuan antarsesama politisi, beberapa tebak-tebakan Airlangga pun viral.
Misalnya, ketika ia menanyakan kepanjangan AHY saat bertemu dengan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, Mei 2022. Agus yang populer dengan panggilan AHY terdiam ketika Airlangga berguyon bahwa AHY merupakan singkatan dari Airlangga Hartarto, Yes.
Begitu juga saat bertemu dengan Wali Kota Solo, Jawa Tengah, Gibran Rakabuming Raka, akhir September 2022. Putra sulung Presiden Joko Widodo itu tak bisa menjawab tebakan Airlangga tentang penyakit apa yang paling ditakuti di China. “Kung-flu,” kata Airlangga sambil terbahak-bahak.
Sebagai politisi yang menjabat sebagai Menko Perekonomian, Airlangga dikenal publik sebagai sosok yang serius dan kaku. Namun, sekitar 1,5 tahun terakhir ia konsisten menjadikan tebak-tebakan sebagai ciri khasnya. Selain itu, Airlangga juga kerap berpantun pada hampir semua agenda yang ia hadiri.
Baca juga: Medsos Membantu Naik dan Turunkan Citra Politisi

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto ketika melayani warga berswafoto dengan dirinya seusai acara Silaturahmi dan Tausiah Kebangsaan di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (18/5/2023). Acara yang digelar Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) ini Prabowo menyatakan jika bangsa ini membutuhkan peran serta pemuda dan remaja dalam kegiatan positif Selain itu Prabowo juga berpesan agar setiap kegiatan positif yang dilakukan sebaiknua tanpa banyak bicara tetapi ditunjukkan dengan aksi serta hasil yang nyata. Dalam acara ini Prabowo yang juga Ketua Umum Partai Gerindra ini didoakan sukses mencalonkan Presiden dalam Pemilu 2024 mendatang.
Jauh lebih awal dari Airlangga, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto juga terlihat menampilkan hal yang berbeda dibandingkan stigma publik terhadap dirinya. Pada akhir 2018, jelang Pemilihan Presiden (PIlpres) 2019, muncul akun Instagram @bobbytheK4T yang memperlihatkan kedekatan Prabowo dengan kucing. Melalui akun tersebut, publik dapat mengetahui sosok mantan Komandan Jenderal Kopassus sekaligus salah satu calon presiden (capres) yang berkontestasi di Pilpres 2019 itu adalah seorang pencinta kucing.
Meski Prabowo yang saat itu berpasangan dengan Sandiaga Uno kalah dari pasangan Joko Widodo—Ma’ruf Amin, akun @bobbytheK4T masih terus aktif menyuarakan hal yang sama. Di akun Instagram resmi @prabowo pun, sebagian besar unggahan menampilkan Menteri Pertahanan itu saat sedang tersenyum, bahkan tertawa terbahak-bahak, baik dengan sesama politisi, anggota Kabinet Indonesia Maju, anak, maupun masyarakat yang ia temui.
Ketua Badan Komunikasi Partai Gerindra Angga Raka Prabowo mengungkapkan, apa yang ditampilkan Prabowo melalui akun medsos menunjukkan dirinya secara apa adanya. Jika ditelusuri lebih jauh, sejak jelang 2010 pun kegiatan Prabowo yang diunggah melalui medsosnya kerap menampilkan hal serupa, seperti mencium anak-anak, menyayangi binatang, dan memperjuangkan rakyat kecil. Hanya saja belakangan hal itu lebih terekspos berkat medsos yang semakin populer.
“Mungkin dulu media jarang yang melihat ini, padahal di medsos Pak Prabowo dari 2008 itu sudah ada. Mungkin sekarang lebih banyak dilihat (juga) karena saluran medianya banyak,” kata dia di Jakarta, Selasa (16/5/2023).
Angga menambahkan, berbagai kegiatan Prabowo secara otomatis juga diamplifikasi para kader melalui berbagai kanal. Sebagai partai kader, anggota Gerindra bertanggung jawab untuk menyampaikan hal-hal yang menjadi bagian dari perjuangan partai, tidak terkecuali di medsos. “Seluruh kader wajib melek medsos dan aktif juga dengan media, untuk menyampaikan kebenaran, menyampaikan apa yang menjadi perjuangan kita,” ujarnya.
Jika dibandingkan sejak 2004 hingga sekarang, pola pembangunan persepsi itu telah berubah drastis.
Membangun persepsi
Apa yang dilakukan Airlangga dan Prabowo hanya sebagian dari upaya para politisi dalam membangun persepsi publik mengenai dirinya. Konsultan komunikasi politik Irfan “Ipang” Wahid dalam talkshow Strategi Pemilu 2024 di Kantor Redaksi Harian Kompas, Jakarta, Selasa (16/5), menceritakan, pernah bekerja sama dengan hampir semua partai politik (parpol) dan beberapa pasangan capres dan cawapres sejak 2004. Hanya saja jika dibandingkan sejak 2004 hingga sekarang, pola pembangunan persepsi itu telah berubah drastis.
Jika dulu parpol dan para kandidat hanya perlu menciptakan strategi satu arah seperti iklan, maka hal itu tak bisa lagi dilakukan di tengah perkembangan teknologi informasi yang terus melesat. Saat ini pembangunan persepsi lebih banyak dilakukan di medsos yang memungkinkan interaksi antarpengguna. “Dalam interaksi sekarang, butuh engagement (keterlibatan). Sekarang orang itu ingin sesuatu yang organik, jadi semakin banyak yang organik akan semakin dahsyat,” kata Ipang yang juga menjabat sebagai Staf Ahli Menko Perekonomian sejak tahun lalu.
Untuk memenangi pertarungan di medsos, pemetaan dan pembuatan konten yang bakal dipublikasikan jelas menjadi penting. Ipang menjelaskan, konsultan mulai bekerja dengan menentukan posisi parpol atau kandidat yang ditangani berdasarkan riset kualitatif tentang kekuatan dan kelemahan mereka. Ia mencontohkan, saat menjadi konsultan pasangan Joko Widodo—Ma’ruf Amin pada 2019, ada enam kluster kelemahan mereka, salah satunya di kalangan emak-emak. “Jadi kita identifikasi target pemilih kita begini, perilakunya begini, (lalu) sikat dengan konten. Tetapi konten yang dibuat untuk kluster satu tidak boleh masuk ke kluster lain, karena kontennya akan berbeda,” kata dia.
Sebelum menyebar konten, konsultan juga akan mengujinya ke publik. Hasil pengujian ini akan jadi bahan evaluasi dan perbaikan agar pesan yang disampaikan bisa ditangkap warganet dalam waktu sesingkat-singkatnya. Selain itu, konsultan juga tak lupa membentuk tim pasukan siber yang bertugas untuk memblokir komentar negatif pada konten yang telah dipublikasikan. “Bahasa jokes kami, ada yang lebih pedas dari cabai, yaitu komentar netizen. Maka dalam pembangunan persepsi itu penting untuk punya cyber troops, tugasnya untuk memblok komentar jelek dan memberikan komentar bagus,” kata Ipang yang juga menciptakan slogan “Indonesia Hebat” untuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pada 2014.
Tak hanya itu, para politisi juga membutuhkan polesan untuk penampilan fisiknya. Ketika bekerja sama dengan Adang Daradjatun, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), jelang Pilkada DKI Jakarta 2007, misalnya, Ipang membekali Adang dengan kacamata dan buku catatan setiap tampil dan bertemu banyak pihak. Sebab, saat itu citra intelektualitas mantan Wakil Kepala Polri itu masih perlu ditingkatkan. Begitu pula saat memilih sarung untuk Ma’ruf Amin saat menjadi cawapres 2019, ia sengaja memilih sarung dengan aksen tertentu agar tokoh senior Nahdlatul Ulama itu terlihat lebih trendi.
Pembangunan persepsi itu bukan pekerjaan yang murah. Mengacu pada pengalaman Pemilu 2009, Ipang menuturkan, setiap kandidat atau parpol besar bisa menghabiskan biaya Rp 10—30 miliar per bulan hanya untuk keperluan media. Pembiayaan itu diprediksi akan semakin tinggi jelang 2024, karena mereka harus bertarung di berbagai kanal medsos, membayar jasa pemengaruh, dan juga memobilisasi sukarelawan.
Menurut Ipang, seluruh upaya membangun persepsi terhadap politisi bisa dilakukan oleh konsultan, asalkan tidak berbohong. Meski kerap kali dibutuhkan serangan terhadap politisi lain, itu harus berdasarkan data dan fakta yang valid, bukan fitnah. “Banyak sekali yang menawarkan operasi hitam ke saya, nah saya enggak mau itu karena saya master komunikasi bukan master fitnah,” ujar dia.
Baca juga: Awasi Kampanye di Media Sosial

Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 01 Ma'ruf Amin saat tampil dalam Debat Cawapres pada Pilpres 2019 yang digelar oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/3/2019) malam.
Namun, sebelum persepsi publik terhadap seorang politisi dibangun, kata Rani Badri, pendiri The Soul of Speaking, mereka harus lebih dulu memiliki kelayakan untuk meraih tujuannya. Di lembaga komunikasi dan mindfulness yang telah berjalan lebih dari satu dekade itu, ada sejumlah gubernur, wali kota, bupati, menteri, dan calon anggota legislatif yang mengikuti pelatihan untuk membangun kembali kelayakan mereka sebagai manusia yang sudah menjadi bawaan sejak lahir. Namun, umumnya kelayakan-kelayakan itu terkubur imbas dari pola komunikasi kontraproduktif yang berlangsung dalam waktu lama.
Dengan pelatihan yang mengasah logika dan spiritualitas, para politisi diajari untuk mengoptimalkan komunikasi verbal dan nonverbal untuk menggerakkan massa. Setiap calon pemimpin juga diajarkan untuk memainkan peran di setiap jabatan publik yang akan diemban. “Setelah seorang calon tahu peran sebagai presiden itu bagaimana, apa yang mesti dilakukan, solusi apa yang mesti diciptakan, maka dia akan jadi mudah untuk dipoles (oleh konsultan komunikasi politik),” ujar Rani.
Rani mengaku, jelang Pilpres 2024, sudah ada tiga tokoh potensial capres yang meminta bimbingan komunikasi darinya. Ia yang pada pilpres-pilpres sebelumnya tak pernah menerima klien kontestan Pilpres berencana untuk menerima salah satu dari mereka. Selain menilai Indonesia krisis orator, Rani juga melihat ada kecenderungan kontestasi politik hanya dijadikan perebutan jabatan semata. “Sekarang ini sudah sangat krusial, karena (politisi) menganggap kedudukan sebagai sebuah impian, bukan langkah untuk menata negara ini,” kata dia.
Orisinalitas calon pemimpin juga penting untuk dikedepankan di tengah pembangunan persepsi yang dilakukan sedemikian rupa.
Baca juga: Iklan Kampanye di Medsos Tak Diatur
Pertimbangan pemilih
Upaya para politisi membangun persepsi publik memang hal yang tak bisa ditawar, apalagi menjelang Pemilu. Survei Litbang Kompas selama beberapa pemilu terakhir menunjukkan, pilihan terhadap capres, cawapres, atau caleg dipengaruhi kuat oleh faktor kesukaan. Setelah itu, baru dipengaruhi soal rekam jejak dan kinerja, serta faktor sosiologis seperti sikap merakyat dan tegas. “Ketiga faktor ini saling berkelindan dan mempengaruhi pemilih. Namun, faktor apa yang paling mempengaruhi, itu baru akan terjadi mendekati pemilihan,” kata Peneliti Litbang Kompas Yohan Wahyu.
Dalam rentang waktu jelang pemilihan, tambahnya, sosok yang bisa mempengaruhi publik berpeluang besar untuk dipilih di bilik suara. Untuk itu, citra mereka, terutama yang terkait dengan unsur visual, menjadi faktor yang mempengaruhi. Apalagi, populasi pemilih yang didominasi warga berpendidikan menengah ke bawah lebih mudah mencerna informasi visual, baik dari tampilan fisik maupun iklan yang disebarkan, ketimbang informasi dalam bentuk lain.
Kendati demikian, Yohan menekankan, orisinalitas calon pemimpin juga penting untuk dikedepankan di tengah pembangunan persepsi yang dilakukan sedemikian rupa. Seluruh pihak yang terkait juga hendaknya berkomitmen untuk memperbanyak kampanye positif, agar masyarakat punya kesempatan lebih untuk menelusuri prestasi para calon. “(Pembangunan persepsi) bukan berarti melupakan sisi orisinalitas, karena pemimpin autentik itu kan yang paling dibutuhkan publik,” ujarnya.