Media sosial dapat dimanfaatkan untuk membangun citra politisi. Apabila hal tersebut dikombinasikan dengan survei, hal tersebut dapat menjadi kekuatan besar keterpilihan dalam kontestasi politik lokal ataupun nasional.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Mural kampanye antihoaks di bawah jembatan layang Rawa Buntu, Serpong, Tangerang Selatan, Senin (11/3/2019). Hoaks atau berita bohong makin marak terutama semakin dekatnya pemilihan umum serentak 17 April mendatang. Hoaks yang semakin masif dinilai merugikan dan merusak proses demokrasi serta memicu rusaknya kohesi sosial di masyarakat.
JAKARTA, KOMPAS — Data raksasa yang terhimpun melalui media sosial dapat membantu menaikkan citra seseorang saat pemilihan umum. Namun, media sosial juga dapat membawa dampak negatif, yakni pendengung yang dapat merusak demokrasi.
Hal itu terungkap di dalam diskusi ”Dinamika Baru Elektoral, Bagaimana Riset Big Data” yang diselenggarakan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), yang dilakukan secara daring, Selasa (16/6/2020). Panelis dalam diskusi tersebut adalah Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto, analis media sosial dari Drone Emprit dan Kernels Indonesia Ismail Fahmi, Direktur Eksekutif LP3ES Fajar Nursahid, dan Ketua Dewan Pengurus LP3ES Didik J Rachbini.
Wijayanto mengatakan, perang opini publik melalui media sosial terkadang malah lebih menentukan daripada substansi permasalahan yang dibahas. Demikian pula dalam memandang calon pemimpin berkualitas, sosok yang muncul di media sosial belum tentu memiliki kapabilitas.
Perang opini publik melalui media sosial terkadang malah lebih menentukan daripada substansi permasalahan yang dibahas.
Terlebih dalam masa pandemi Covid-19, tampak bahwa kapasitas pemimpin di masa depan yang diperlukan adalah yang juga seorang ilmuwan. Artinya, pemimpin yang senantiasa mendasarkan keputusan pada data yang valid dan bersikap saintifik.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Warga menunjukkan sejumlah calon anggota legislatif yang berkampanye melalui media sosial, Selasa (29/1/2019).
Menurut Didik, pandemi Covid-19 akan memberikan dinamika yang berbeda dalam pemilihan pemimpin atau presiden mendatang. Yang tampak jelas adalah pandemi Covid-19 telah memukul ekonomi Indonesia sebagaimana juga negara-negara lain.
Dalam konteks demikian, kata Didik, tokoh-tokoh yang saat ini menjabat sebagai kepala daerah, seperti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, dan Khofifah Indar Parawansa adalah orang yang sedang berjibaku dalam dunia politik Indonesia. Dalam melihat dinamika tersebut, data raksasa dinilainya akan mulai menggantikan peran survei.
”Siapa yang paling bagus akan dicatat oleh rakyat, media, dan media sosial. Dan sekarang dinamika itu sudah terjadi dan masyarakat Indonesia sudah mulai rasional pemilihnya,” kata Didik.
Siapa yang paling bagus akan dicatat oleh rakyat, media, dan media sosial. Dan sekarang dinamika itu sudah terjadi dan masyarakat Indonesia sudah mulai rasional pemilihnya.
Sementara, menurut Ismail, dengan mengambil contoh tiga tokoh, yakni Anies Baswedan, Ridwan Kamil, dan Ganjar Pranowo, tampak popularitas dan favorabilitas ketiganya bergerak dinamis. Berdasarkan analisis dari media daring, media sosial, dan Youtube, popularitas Anies paling tinggi dibandingkan dengan dua tokoh lainnya.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, Sabtu (13/6/2020), sampai pandemi Covid-19 di luar Jakarta bisa dikendalikan, Taman Impian Jaya Ancol hanya dibuka untuk warga Ibu Kota.
Namun, dari sosok Anies pula, sentimen positif dan sentimen negatifnya tinggi. Sementara sentimen negatif kedua tokoh lainnya rendah.
Menurut Ismail, perlu dilihat antara serangan negatif yang masif di medsos dan tingkat keterpilihan seseorang. Popularitas adalah soal membangun citra sementara elektabilitas adalah yang diukur melalui survei.
”Kalau benar pembangunan citra di medsos bisa menaikkan elektabilitas, ini akan membuat bisnis buzzer (pendengung) akan semakin tinggi di masa depan. Sebab, orang yang sudah tinggi popularitasnya bisa turun karena dari buzzer,” ujar Ismail.
Menurut Fajar, medsos adalah kanal yang sangat baik untuk membangun citra politik seseorang. Citra atau persepsi itu akan membangun pendapat publik. Jika analisis terhadap data raksasa dapat dikombinasikan dengan survei, hal itu akan menjadi sumber kekuatan yang besar.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Moment Ramadhan dan Lebaran dimanfaatkan para politikus partai untuk menyapa para konstituennya melalui spanduk ungkapan seperti yang terlihat di Jalan Basuki Rahmat, Jakarta, Minggu (17/6). Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) meminta agar spanduk ucapan Idul Fitri yang bernuansa citra diri kelembagaan partai yang menampilkan logo partai dan nomor urut dicopot.
Namun, citra memiliki batasan karena tidak dapat melakukan pendetailan. Demikian pula citra memiliki masa kedaluwarsa terkait konteks yang aktual. Jika seorang politisi dapat memanfaatkan konteks itu untuk membangun citranya, dia tidak akan ketinggalan zaman.
”Politik memang citra, tetapi apakah kita akan menyerahkan proses ke depan hanya sebatas itu. Kita tentu ingin proses politik yang mengedepankan etis, yang bertarung tetapi secara santun dan tidak menjegal lawan politik,” ujar Fajar.
Politik memang citra, tetapi apakah kita akan menyerahkan proses ke depan hanya sebatas itu. Kita tentu ingin proses politik yang mengedepankan etis yang bertarung tetapi secara santun dan tidak menjegal lawan politik.
Terkait dengan media sosial, Didik mengkritik pendengung (buzzer). Menurut Didik, pendengung disebutnya sebagai entitas ekstra legal yang merusak demokrasi.
”Mereka menjadi rayap yang ada di bawah yang sebenarnya menggerogoti demokrasi,” kata Didik.