106 Calon Anggota KPU Provinsi Ditetapkan, Keterwakilan Perempuan Dipertanyakan
Sebanyak 106 calon anggota KPU provinsi terpilih pada 20 provinsi, menurut rencana, bakal dilantik pada 24 Mei 2023.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan 106 calon anggota KPU provinsi terpilih pada 20 provinsi yang akan menjabat untuk periode 2023-2028.
Hal itu tertera dalam Keputusan KPU Nomor 421 Tahun 2023. ”Rencana pelantikan dilaksanakan pada 24 Mei 2023 di Kantor KPU,” ujar Ketua KPU Hasyim Asy’ari secara tertulis, Minggu (21/5/2023).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Setelah dilantik, para anggota KPU provinsi akan menjalani orientasi tugas pada 25-30 Mei. Seluruh kegiatan tersebut berlangsung di Jakarta.
Sebanyak 106 calon anggota terpilih dari 212 nama. Mereka telah mengikuti tahap uji kelayakan dan kepatutan pada April lalu.
Rekrutmen anggota KPU provinsi diawali dengan pembentukan tim seleksi (timsel) pada 16 Januari. Setelah itu, timsel menyampaikan usulan calon anggota KPU provinsi pada KPU, 21-23 Maret. Tahapan uji kelayakan dan kepatutan dilaksanakan pada 24 Maret-5 Mei.
Nama-nama calon anggota KPU provinsi terpilih tersebut menuai sorotan dari kelompok masyarakat sipil. Pasalnya, calon terpilih didominasi laki-laki, bahkan sejumlah provinsi tak memiliki keterwakilan perempuan. Dua provinsi di antaranya adalah Jambi dan Sumatera Barat.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, mengatakan, nama-nama yang dikirim ke KPU untuk diseleksi hampir dari semua provinsi memiliki keterwakilan perempuan. Itu artinya, mereka yang dicalonkan telah memenuhi syarat dan siap dipilih. ”Situasi ini, menurut saya, mengonfirmasi bahwa memang ada masalah di dalam perspektif kebijakan perempuan di KPU,” ujarnya.
Sebelumnya, KPU menolak merevisi aturan soal penghitungan 30 persen calon anggota legislatif perempuan di setiap daerah pemilihan. Padahal, aturan itu diamanatkan oleh Undang-Undang Pemilu. Selain itu, aturan baru yang dibuat KPU berpotensi menurunkan jumlah anggota DPR dari perempuan hasil Pemilu 2024.
Situasi makin sulit karena Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang secara fungsi dapat mengawasi dan mengontrol justru seolah tak bisa berbuat apa-apa. Lembaga itu seperti terjebak situasi, seolah-olah KPU dan Bawaslu dilarang berbeda pendapat.
”Kalaupun masih ingin terus berharap, tentu kontrol dari civil society organization (CSO), media, dan organisasi masyarakat sipil lainnya tak boleh berhenti mendorong kebijakan pada KPU,” kata Fadli.
Pengajar di Departemen Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Mudiyati Rahmatunnisa, mengatakan, keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu sangat penting.
”Ada perbedaan mendasar perspektif perempuan dan laki-laki. Ketika kemudian perspektif ini jadi tidak lengkap, saya punya feeling ini akan berdampak pula nanti memahami bagaimana proses itu lebih inklusif mewakili semua perspektif,” tutur Mudiyati.