Jaga Pemilu Tetap Konstitusional, KPU Didesak Segera Revisi Aturan Caleg Perempuan
Revisi aturan penghitungan 30 persen bakal caleg perempuan mendesak dilakukan untuk menjamin terpenuhinya hak politik perempuan. Revisi juga penting untuk menjamin pemilu berjalan sesuai dengan konstitusi.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum didesak untuk segera merevisi aturan mengenai cara penghitungan 30 persen jumlah bakal calon anggota DPR dan DPRD perempuan di setiap daerah pemilihan. Selain mencegah timbulnya instabilitas politik, revisi aturan itu juga penting agar pemilu tetap konstitusional dengan terpenuhinya keterwakilan perempuan minimal 30 persen di parlemen.
Berdasarkan tahapan dan jadwal yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), masa pendaftaran bakal calon anggota legislatif akan berakhir pada Minggu (14/5/2023) besok. Karena itu jika aturan mengenai penghitungan 30 persen bakal calon anggota legislatif (caleg) perempuan terlambat direvisi, dikhawatirkan akan terjadi instabilitas politik. Partai politik dan bakal caleg dikhawatirkan akan beramai-ramai menggugat KPU untuk mempertahankan daftar calon anggota legislatif yang sudah diserahkan sebelumnya. Lebih jauh, situasi ini justru akan dijadikan ruang oleh aktor-aktor tertentu untuk menggaungkan kembali upaya penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Hurriyah dalam jumpa pers di Kantor KPU, Jakarta, Sabtu (13/5/2023), mengatakan, dengan melihat tenggat tahapan pencalonan anggota legislatif yang sangat ketat, KPU diharapkan segera merevisi Pasal 8 Ayat 2 huruf a Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023.
Kami juga punya kekhawatiran yang sangat besar kalau kemudian daftar calon sudah diserahkan yang menggunakan aturan lama di mana 30 persen itu belum tentu terpenuhi karena ada penghitungan desimal, pembulatan ke bawah, maka akan muncul gugatan-gugatan baru yang disampikan oleh caleg atau parpol.
Hal ini guna mengimplementasikan kebijakan afirmasi, serta mewujudkan kepastian hukum pemenuhan hak politik perempuan menjadi calon anggota DPR/DPRD paling sedikit 30 persen di setiap daerah pemilihan (dapil) sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 dan ketentuan Pasal 245 UU No 7/2017 tentang Pemilu.
”Jangan sampai kemudian KPU membeli waktu, berusaha buying time, sementara proses pencalonan sudah berjalan. Dan kami juga punya kekhawatiran yang sangat besar kalau kemudian daftar calon sudah diserahkan yang menggunakan aturan lama di mana 30 persen itu belum tentu terpenuhi karena ada penghitungan desimal, pembulatan ke bawah, maka akan muncul gugatan-gugatan baru yang disampikan oleh caleg atau parpol,” ujar Hurriyah.
Cara penghitungan 30 persen jumlah bakal caleg perempuan di setiap dapil yang diatur dalam Pasal 8 Ayat 2 PKPU No 10/2023 diputuskan direvisi oleh KPU setelah rapat dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Selasa (9/5/2023) malam.
Dalam Pasal 8 Ayat 2 itu disebutkan, hasil penghitungan dibulatkan ke bawah jika dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50. Adapun jika hasilnya 50 atau lebih, hasil penghitungan dibulatkan ke atas. Implikasi dari aturan ini mengurangi jumlah bakal caleg perempuan di sejumlah dapil. Pasal tersebut akan direvisi menjadi, dalam hal penghitungan 30 persen menghasilkan angka pecahan dibulatkan ke atas. Aturan ini pula yang berlaku di pemilu sebelumnya.
Hurriyah menegaskan, tuntutan ini bukan semata-mata terkait dengan isu pemulihan hak politik perempuan. Namun, tuntutan juga diajukan sebaga upaya masyarakat sipil untuk menyelamatkan demokrasi Indonesia serta memulihkan kepercayaan publik terhadap demokrasi elektoral. Masyarakat sipil juga ingin mengingatkan KPU terhadap pentingnya menjaga integritas dan independensi sebagai penyelenggara pemilu sebagaimana amanat UUD 1945 dan UU Pemilu.
Menurut Hurriyah, ketidakpastian penetapan revisi PKPU No 10/2023 akan berdampak luas bagi pelaksanaan dan perlindungan hak politik perempuan untuk berpartisitasi sebagai bakal caleg DPR dan DPRD. Selain itu, kelambanan penetapan revisi PKPU juga dapat menimbulkan kerumitan teknis bagi KPU dan parpol peserta pemilu untuk mengakselerasi regulasi.
”Kami juga sangat khawatir ketika kemudian PKPU terlambat direvisi, maka kemudian akan terjadi kericuhan, ketidakstabilan kondisi politik. Sebab, akan ada gugatan-gugatan baru yang masuk ke KPU. Ini akan dijadikan ruang dan kesempatan oleh aktor-aktor tertentu untuk menggaungkan kembali upaya penundaan Pemilu 2024,” ucap Hurriyah.
Untuk itu, penyelenggara pemilu, baik KPU, Bawaslu, maupun DKPP, beserta DPR dan pemerintah, harus mempunyai sensitivitas kedaruratan (sense of urgency). Dengan begitu, diharapkan pihak-pihak tersebut segera berkoordinasi dan mendorong KPU untuk bekerja cepat memulihkan hak politik perempuan lewat penetapan revisi PKPU No 10/2023.
”Konsultasi revisi PKPU semestinya dilakukan dengan mekanisme yang efektif efisien, bukan malah menunggu sampai DPR mulai masa sidang pada 17 Mei mendatang. KPU cukup menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada DPR dan pemerintah terkait adanya perubahan ketentuan PKPU No 10/2023,” kata Hurriyah.
Wakil Koordinator Maju Perempuan Indonesia Titi Anggraini membenarkan bahwa tuntutan ini bukanlah sekadar isu pemulihan hak politik perempuan, melainkan persoalan memproteksi demokrasi dan menghindari penyelenggaraan pemilu yang bertentangan dengan konstitusi. Jangan sampai situasi ini nanti justru menjadi ruang bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mengambil celah dan menggunakannya sebagai upaya menggerogoti dan melemahkan kredibilitas serta kepastian Pemilu 2024.
”Karena itu, tidak ada kata tawar-menawar. Kami menuntut segera realisasi perubahan PKPU No 10/2023. Dan yang terpenting adalah kami tidak ingin Pemilu 2024 dinilai sebagai pemilu yang melanggar hukum dan dimanfaatkan untuk mengganggu kepastian penyelenggaraan Pemilu 2024,” tegas Titi.
Akan gugat KPU
Secara terpisah, Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid justru menilai, perubahan terhadap PKPU yang ada sekarang justru akan menyulitkan parpol. Sebab, saat ini mayoritas parpol mulai memasukkan daftar caleg.
”Saya pikir apa yang sudah diputuskan, itu saja yang dijalankan. Biar tidak berubah-ubah terus,” kata Jazilul.
Menurut Jazilul, cara penghitungan keterwakilan perempuan ini hanyalah persoalan teknis. Hal yang terpenting, perempuan Indonesia mempunyai misi untuk ikut dalam berpolitik dan parpol juga memberikan jalan tersebut.
”Menurut saya, teknis jangan mengalahkan substansi. Substansinya, kan, 30 persen. Mau dihitung ke atas, ke bawah, itu sama saja. Yang penting, semangatnya juga soal pemenuhan hak politik perempuan. Di PKB itu, jumlah perempuan di DPR-nya paling banyak lho. Jadi (wacana revisi PKPU No 10/2023) itu tidak relevan,” ujar Jazilul.
Jika PKPU No 10/2023 direvisi, lanjut Jazilul, itu akan sangat berisiko. Partainya pun dipastikan akan menggugat KPU. ”Pastilah menggugat. Buat saya berisiko kalau aturan diubah-ubah,” tuturnya.
Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani juga memastikan akan menggugat KPU jika secara tiba-tiba terjadi pengubahan aturan. Lagi pula, itu tidak mungkin terjadi karena pendaftaran bakal caleg sudah dilakukan. ”Ya (gugat). Kan, tidak mungkin juga karena sekarang (pendaftaran bakal caleg) sudah dilaksanakan,” tegasnya.
Muzani menyampaikan, Gerindra memiliki komitmen yang kuat untuk menjunjung tinggi pemenuhan hak politik perempuan. Itu terbukti dari bakal caleg yang telah didaftarkan pada Sabtu (13/5/2023) sore ini, di mana dari 580 bakal caleg Gerindra, setidaknya 205 bakal caleg merupakan perempuan atau sekitar 35,3 persen.