Dalam poin-poin usulan revisi UU No 34/2024, TNI ingin bisa mengajukan anggaran langsung ke Kemenkeu. Hal ini diklaim untuk mempersingkat jalur birokrasi.
Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam usulan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang disampaikan kepada Panglima TNI, terkait dukungan anggaran, TNI tak lagi ingin ada di bawah Kementerian Pertahanan seperti diatur di UU No 34/2004. Usulan ini dikritik karena tidak sejalan dengan Undang-Undang Pertahanan yang menyatakan kebijakan penganggaran dan pengadaan TNI ditetapkan Menteri Pertahanan. Hal ini juga dinilai menunjukkan TNI tidak ingin berada di bawah supremasi sipil.
Dalam usulan revisi dari Badan Pembinaan Hukum (Babinkum) yang disampaikan ke Panglima TNI, diusulkan terkait kebijakan dan strategi pertahanan dan keamanan, TNI di bawah koordinasi Kemenhan. Di pasal yang sama, yaitu Pasal 3, terkait dukungan anggaran, TNI tak lagi di bawah koordinasi Kemenhan, tetapi berkoordinasi dengan Kemenhan.
Secara rinci soal TNI yang ingin mengatur sendiri anggaran ada di Pasal 66, 67, dan 68. Dalam usulan revisi yang tengah dibahas di Mabes TNI, TNI ingin bisa mengajukan sendiri anggaran langsung ke Kementerian Keuangan. Sementara di UU No 34/2004, diatur Kemenhan yang mengajukan anggaran pertahanan kepada Kemenkeu. Anggaran untuk TNI termasuk dalam anggaran pertahanan sebagaimana disampaikan Panglima TNI ke Menteri Pertahanan.
Saat dikonfirmasi Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Julius Widjojono, Rabu (10/5/2023), mengatakan, TNI tetap berkoordinasi dengan Kemenhan, tetapi anggaran dari TNI diajukan langsung ke Kemenkeu. Dengan begitu, jalur birokrasi lebih singkat. Hal ini membuat proses pengadaan lebih efektif dan efisien. Julius mengatakan, dengan jalur birokrasi yang singkat, pengadaan akan lebih mudah dikontrol.
”Saya tidak setuju kalau kemudian dengan usul ini TNI dibilang menolak supremasi sipil. Kementerian Keuangan kan juga sipil. Malah semua jajarannya murni sipil,” kata Julius.
Selain itu, usulan ini juga berdasarkan fakta TNI sebagai pengguna sebagai pihak yang mengerti spesifikasi teknis dan kebutuhan operasional persenjataan. Menurut dia, ketika jalur birokrasinya melewati banyak instansi, pengalaman selama ini banyaknya kebijakan politik membuat kebutuhan dan persenjataan yang dibeli tidak sesuai.
”Kalau kebijakan politik seperti pengurangan anggaran atau jumlah karena pandemi misalnya, itu harus diterima. Tapi jangan keluar dari spesifikasi dan kebutuhan operasi,” kata Julius.
Anggota Komisi I DPR, Tubagus Hasanuddin, melihat usul yang diajukan TNI ialah kebijakan terkait administrasi. Realitasnya ketika TNI mengajukan anggaran atau kebutuhan ke Kementerian Pertahanan, pengajuan itu ditelisik lagi. Akibatnya, usul dari TNI tidak selalu terpenuhi, termasuk persenjataan.
”Jadi yang harus diperbaiki koordinasi dan keterbukaan antara Kemenhan dan TNI,” kata Tubagus.
Dia mempertanyakan momen usul yang disampaikan Babinkum itu baru diadakan saat ini. Padahal, sejak UU TNI berlaku 2004 telah ada empat Menteri Pertahanan. Pada praktiknya, memang Kemenkeu yang membuat anggaran pertahanan. Anggaran itu yang kemudian diatur Kemenhan.
Menurut Tubagus, ketika ada usulan ingin mengubah undang-undang, padahal masalahnya ada di koordinasi dan transparansi, ada beberapa prinsip yang tercederai. Hal ini terkait dengan sistem negara seperti pembagian kewenangan. Misalnya, yang bertanggung jawab atas pertahanan adalah presiden. Presiden lalu menggunakan pembantu Menteri Pertahanan untuk mendelegasikan tugas dan tanggung jawabnya. Karena Menhan yang bertanggung jawab atas pertahanan, tentunya ia juga yang berhak menentukan anggaran pertahanan.
Peneliti pertahanan, Alman Helvas Ali, berpendapat, usulan ini menunjukkan TNI tidak ingin ada di bawah supremasi sipil. Menurut dia, hal ini bertentangan dengan semangat reformasi. Justru, menurut dia, saat ini yang jadi pekerjaan rumah adalah bagaimana menempatkan TNI di bawah Kemenhan secara utuh. Saat ini, secara operasional TNI di bawah presiden, sementara secara administrasi ada di bawah Kemenhan.
”UU TNI itu salah satu saja dari reformasi sektor keamanan. Kalau mau mengubah UU No 34/2004, ubah dulu UU No 3/2002 tentang Pertahanan,” kata Alman.
Ia mengatakan, UU TNI bukanlah undang-undang yang berdiri sendiri. Ketika reformasi 1998, berbagai regulasi dibuat untuk mengatur sektor keamanan. UU Pertahanan adalah undang-undang yang pertama dibentuk. Walaupun undang-undang ini tidak bermaksud menjadi payung, tetapi menjadi rujukan awal.
Alman mengatakan, terkait anggaran misalnya, dalam Angka 6 Pasal 16 UU Pertahanan, jelas disebutkan kalau Menhan yang menetapkan kebijakan penganggaran dan pengadaan yang diperlukan oleh TNI. Dalam sistem tata negara saat ini, TNI ada di bawah Kemenhan. TNI juga diatur oleh kebijakan pertahanan yang dibuat Kemenhan yang salah satunya isinya tentu tentang anggaran.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan juga mengkritik usulan Babinkum TNI soal anggaran. Koalisi menyoroti rencana revisi UU TNI juga meliputi perubahan anggaran TNI berasal dari APBN tidak terbatas anggaran pertahanan. Hal ini dapat dilihat pada usulan perubahan ketentuan Pasal 66 Ayat 1 UU TNI dari yang sebelumnya menyatakan TNI dibiayai dari ”anggaran pertahanan negara” yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara menjadi ”TNI dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”. Perubahan ini menunjukkan akan ada pos anggaran baru bagi TNI di luar anggaran pertahanan. Hak ini akan membuka ruang anggaran non-budgeter yang dulu pernah ada dan dihapuskan karena rawan terjadinya penyimpangan.
Salah satu juru bicara koalisi, Al Araf, mengatakan, dengan adanya perubahan di Pasal 67 tersebut, Menhan tidak hanya sekadar dilangkahi kewenangannya. Perubahan ini juga juga menempatkan proses penyusunan anggaran TNI di luar kontrol Kemenhan karena TNI dapat mengajukan sendiri dan langsung kepada Menkeu untuk dibiayai dalam APBN.