Dialog dari hati ke hati antara pemerintah pusat dan masyarakat Papua perlu dikedepankan untuk menyelesaikan berbagai persoalan di Papua.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konflik masih terus terjadi di beberapa daerah di Papua kendati pemerintah telah berupaya membangun dan menyejahterakan masyarakat ”Bumi Cendrawasih”. Kondisi itu ditengarai terjadi lantaran pemerintah kurang melibatkan kalangan akar rumput saat membahas berbagai persoalan yang terjadi di Papua. Karena itu, pemerintah, terutama pemerintah pusat, diharapkan dapat mengintensifkan dialog dengan perwakilan masyarakat Papua.
Peneliti Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Ruhyanto, menyampaikan, dalam dua dekade terakhir, pemerintah memang gencar meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua. Pembangunan dilakukan guna mendorong pemerataan, terutama ekonomi dan investasi. Guna meningkatkan kesejahteraan itu pula, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat memekarkan Papua dan Papua Barat dengan membentuk empat provinsi baru.
Meski begitu, konflik masih saja terjadi di beberapa daerah di Papua. ”Pada saat yang sama, kita juga terus menyaksikan konflik semakin meluas dan intensif. Kita prihatin banyak korban dari aparat keamanan dan masyarakat sipil yang terus berjatuhan,” kata Arie dalam Forum Kebijakan Strategis Papua (Papua Strategic Policy Forum) yang diadakan secara daring, Rabu (10/5/2023).
Selain Arie, diskusi bertajuk ”Refleksi 60 Tahun Integrasi Papua: Menemukan Jalan Damai dari Akar Rumput” itu menghadirkan empat pembicara lain. Mereka adalah Sekretaris Departemen Pelayanan Kasih dan Keadilan Sinode GKI di Tanah Papua Pendeta Leonora D Balubun, Ketua Kerukunan Keluarga Kawanua Papua Barat Daya Lexie Durimalang, Rektor Universitas Muhammadiyah Sorong Rustamadji, serta antropolog Laksmi Adriani.
Arie mengungkapkan, tren konflik di Papua cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Gugus Tugas Papua UGM mencatat, tren kekerasan di Papua cenderung meningkat pada 2010-2022. Puncaknya terjadi pada 2021 dengan 83 konflik, naik 28 persen dibanding tahun sebelumnya. Konflik yang terjadi tidak hanya vertikal, tetapi juga horizontal.
Leonora mengungkapkan, gereja turut berperan aktif menjadi jembatan antara masyarakat dan pemerintah. Peran sebagai jembatan itu diambil sebagai upaya merawat perdamaian di Papua.
”Tetapi, terkadang (pihak) gereja enggak dihargai pemerintah karena kebijakan ditentukan segala sesuatu dari Jakarta (dan) dari provinsi. (Mereka) tidak melibatkan tokoh-tokoh yang tinggal di tengah masyarakat. Biasanya kalau sudah jadi konflik di tengah, baru kemudian dianggap,” tuturnya.
Ia menyayangkan minimnya dialog antara gereja, pemerintah, dan masyarakat. Kondisi itulah yang ditengarai menjadi awal timbulnya permasalahan lain, seperti ekologi, pembangunan, dan wilayah.
Oleh karena itu, diharapkan, pemerintah dapat membuka dialog dari hati ke hati. ”Pendekatan-pendekatan hati ini memang belum dilakukan para pengambil keputusan di (pemerintah) pusat,” kata Rustamadji.
Pemerintah dan pihak swasta berani mengambil keputusan pro-Papua. Misalnya, dana otonomi khusus juga dapat digelontorkan untuk pendidikan anak-anak Papua.
Pemerintah pusat dinilai cenderung berpikir jika masyarakat Papua akan sejahtera jika dikirim banyak uang dan bantuan-bantuan fisik lain. Padahal, latihan-latihan serta program pendidikanlah yang justru dapat mengubah dan membangun karakter masyarakat.
Rustamadji berharap pemerintah dan pihak swasta berani mengambil keputusan pro-Papua. Misalnya, dana otonomi khusus juga dapat digelontorkan untuk pendidikan anak-anak Papua.
Membendung konflik
Dialog juga jadi opsi yang perlu dikedepankan ketika membendung aksi kekerasan yang selama ini terjadi di Papua. Upaya persuasif pemerintah dinanti guna mencegah meluasnya konflik.
Menurut Lexie, kelompok kriminal bersenjata (KKB) Papua serta kelompok sejenisnya memang menuntut Papua merdeka. Alhasil, pendekatan persuasif serta dialog pemerintah bersama tokoh agama dan guru dapat mengantisipasi konflik.
”Kalau pemerintah mau menanggapi serius, mari membuka forum atau sejenisnya untuk dialog dengan tokoh-tokoh Papua dan tokoh-tokoh Nusantara,” ucapnya.
Sebab, selama ini konflik yang ada telah menimbulkan banyak korban jiwa. Bukan hanya aparat keamanan, seperti TNI/Polri, melainkan juga masyarakat sipil. Pemerintah perlu berperan aktif dan melibatkan masyarakat guna mengakomodasi kebutuhan dan harapan pihak masing-masing.