Kebijakan Pemulihan Korban Pelanggaran HAM Berat Perlu Kreativitas
Pemulihan nonyudisial merupakan pendekatan yang kompleks sehingga membutuhkan kreativitas dan kemampuan menganalisis secara kritis mengenai hak korban.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia merekomendasikan kebijakan pemerintah dalam pemulihan korban untuk penyelesaian nonyudisial pelanggaran hak asasi manusia berat dapat melalui konsultasi yang memadai. Pasalnya, pemulihan nonyudisial merupakan pendekatan yang kompleks sehingga membutuhkan kreativitas dan kemampuan menganalisis secara kritis mengenai hak-hak korban.
Upaya pemulihan korban pelanggaran HAM berat melalui berbagai kebijakan, seperti bantuan, diharapkan dibedakan pemaknaannya dengan program bantuan sosial kepada fakir miskin.
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro saat ditemui di Kantor Komnas HAM, Jumat (5/5/2023) sore, mengungkapkan, mengenai rekomendasi kebijakan yang akan disampaikan minggu depan, hal itu terkait bentuk-bentuk kebijakan, pemulihan, dan prinsip-prinsip dalam pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM berat.
”Baik persoalan, akar masalah, maupun dampaknya terhadap korban. Dari segi usia, geografis, dan kondisi korban berbeda sehingga membutuhkan kebijakan yang beragam. Sembilan belas kementerian dan lembaga, harapannya, dapat merumuskan program pemulihan secara tepat bagi korban,” kata Atnike.
Pemerintah juga perlu mengidentifikasi individu ataupun kelompok yang berhak mendapatkan program kebijakan pemulihan tersebut. Pemerintah perlu memiliki definisi dan kategori, baik korban yang secara langsung merasakan dampak pelanggaran HAM berat maupun yang tidak langsung seperti keluarga.
Pemerintah harus menemukan masalah yang dihadapi korban. Program kebijakan jangan nantinya hanya kebijakan yang penting ada.
”Pemerintah harus menemukan masalah yang dihadapi korban. Program kebijakan jangan nantinya hanya kebijakan yang penting ada,” katanya. Hal itu harus konkret, seperti penyediaan layanan kesehatan BPJS. Program pemerintah lainnya diharapkan tidak hanya tersedia, tetapi juga bisa diakses secara mudah oleh para korban pelanggaran HAM berat.
Upaya pemulihan korban melalui pendampingan ekonomi diharapkan Atnike berbeda pemaknaannya dengan program bantuan sosial kepada fakir miskin. Meskipun banyak korban pelanggaran HAM berat adalah orang yang tidak mampu, mereka berhak mendapatkan pemulihan. Bukan karena mereka miskin, melainkan karena mereka pernah atau dilanggar hak asasi manusianya.
Presiden sebelumnya telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023 untuk menindaklanjuti rekomendasi Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM (PPHAM) berat masa lalu. Dalam inpres yang ditandatangani 15 Maret lalu, Presiden memerintahkan 19 menteri dan kepala lembaga untuk mengambil langkah-langkah yang terkoordinasi dan terintegrasi sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing dalam melaksanakan rekomendasi Tim PPHAM untuk memulihkan hak korban dan mencegah hal serupa terjadi.
Baca juga: Pemerintah Segera Pulihkan Nama Baik Warga Eksil Korban Pelanggaran HAM Berat
Mengenai salah satu pemulihan hak korban yang akan diterapkan mengingat mereka masih banyak berada di luar negeri atau warga eksil, Atnike menyampaikan, warga eksil yang kehilangan kewarganegaraan dapat dipulihkan dengan mengembalikan kewarganegaraannya. Namun, belum tentu itu yang mereka butuhkan. Pemerintah harus tetap bertanya apa kebutuhan korban.
”Selama di luar negeri, mereka sudah memiliki proteksi sosial, seperti dana pensiun dan asuransi kesehatan. Jika kembali menjadi WNI, mereka akan kehilangan akses yang menopang hidup mereka, seperti sudah memiliki anak dan suami. Jika pindah kewarganegaraan, hal itu akan berdampak ke keluarganya,” ujar Atnike.
Memetakan potensi keinginan
Secara terpisah, Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Dhahana Putra dalam rapat koordinasi tindak lanjut arahan Presiden Jokowi sebelumnya menyebutkan, Kemenkumham telah memetakan potensi keinginan korban eksil politik eks WNI. Selain memverifikasi korban eksil politik eks WNI yang tetap menjadi warga negara asing, juga memverifikasi korban eksil politik eks WNI yang ingin kembali menjadi warga negara Indonesia.
Mereka pun memverifikasi korban eksil politik eks WNI yang ingin memperoleh kemudahan berkunjung ke Indonesia, dan juga memverifikasi korban eksil politik eks WNI yang ingin kembali berkewarganegaraan Indonesia dengan tetap memegang status kewarganegaraan asing (kewarganegaraan ganda). Namun, untuk kewarganegaraan ganda, hal itu sulit diimplementasikan mengingat hukum normatif saat ini hanya mengatur dua kewarganegaraan terbatas.
Masih belum disepakatinya ruang lingkup sehubungan dengan korban, ahli warisnya, dan korban terdampak, hal itu menentukan jangkauan korban pelanggaran HAM berat di luar negeri.
Terhadap korban pelanggaran HAM berat di luar negeri, Kemenlu tengah melakukan pendataan. ”Masih belum disepakatinya ruang lingkup sehubungan dengan korban, ahli warisnya, dan korban terdampak, hal itu menentukan jangkauan korban pelanggaran HAM berat di luar negeri, yang akan menerima layanan prioritas terbatas pada eks mahid peristiwa 1965 atau eksil politik akibat peristiwa pelanggaran HAM berat lainnya,” ucapnya.
Dhahana mengutarakan, Inpres Nomor 2 Tahun 2023, yang diterbitkan, Kemenkumham dapat memberikan kemudahan fasilitas keimigrasian bagi eks mahid atau eksil politik yang ingin kembali ke Indonesia. Seperti izin tinggal sesuai dengan ketentuan yang berlaku melalui prosedur repatriasi eks WNI, memperoleh kewarganegaraan Indonesia dengan syarat harus melepaskan kewarganegaraan asing melalui prosedur yang berlaku, dan memfasilitasi keimigrasian bagi anak berkewarganegaraan ganda.
Selain itu, visa kunjungan beberapa kali perjalanan juga dapat diberikan dengan masa berlaku lima tahun kepada orang asing dengan persyaratan visa rumah kedua untuk WNA dan eks WNI, dan golden visa.
Tak meminta maaf
Terkait dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang mengutip Presiden Jokowi tidak akan meminta maaf atas peristiwa 1965, Atnike menyatakan, apa yang dikatakan Presiden mengenai penyesalan seharusnya sudah merefleksikan kesadaran negara akan luka bangsa.
Adapun pemimpin Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965 Bedjo Untung menyatakan kekecewaannya. Menurut dia, hal itu benar-benar jauh dari kepekaan sosial dan kemanusiaan.
Ini tindak kejahatan kemanusiaan, genosida tragedi 1965-1966 yang mengorbankan 500.000-3 juta jiwa. Kok, tidak minta maaf. Bandingkan dengan Kanselir Jerman, Presiden Korea Selatan, dan Perdana Menteri Australia. Mereka dengan rendah hati meminta maaf kepada korban.
”Ini tindak kejahatan kemanusiaan, genosida tragedi 1965-1966 yang mengorbankan 500.000-3 juta jiwa. Ada pembunuhan, penyiksaan, perampokan, kerja paksa, pemerkosaan seksual, penahanan, diskriminasi, dan ujaran kebencian. Kok, tidak minta maaf. Bandingkan dengan Kanselir Jerman, Presiden Korea Selatan, dan Perdana Menteri Australia. Mereka dengan rendah hati meminta maaf kepada korban. Saya sangat kecewa,” ujarnya.
Demikian pula Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Ia mengatakan, permintaan maaf merupakan salah satu bentuk reparasi yang wajib diberikan negara kepada korban pelanggaran HAM berat atas penderitaan yang mereka tanggung dan alami. Di negara-negara lain, permintaan maaf juga menjadi salah satu keputusan politik negara untuk menarik batas demarkasi masa lalu dan masa kini.
Baca juga: Negara Akui Terjadinya Pelanggaran HAM Berat di 12 Peristiwa Masa Lalu
Ia berpendapat, penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM berat perlu diikuti pengungkapan kebenaran dan penghukuman pelaku. Di satu sisi ia menghargai upaya yang telah dilakukan negara untuk menindaklanjuti rekomendasi Tim PPHAM. Namun, di sisi lain, ia juga mengingatkan, negara jangan sampai lupa mengenai pengungkapan kebenaran dan penghukuman pelaku serta pelurusan sejarah.
Tanpa hal tersebut, dampaknya tidak hanya keadilan korban dan keluarganya tidak terpenuhi, tetapi juga tidak mendorong akuntabilitas serta perbaikan sistem untuk mencegah pelanggaran HAM serupa di masa yang akan datang.
”Negara tetap wajib mengadili pelaku pelanggaran HAM berat. Akuntabilitas para pelaku merupakan bagian penting dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Kewajiban negara untuk mencari bukti terletak pada Jaksa Agung dan justru itu yang belum dilakukan,” ujarnya.