Pelaksananaan Rekomendasi Tim PPHAM Tunggu Rapat dengan Presiden
Sebulan setelah dasar hukum diterbitkannya rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat melalui Inpres Nomor 2 Tahun 2023, langkah-langkah konkret untuk implementasinya hingga kini tidak kunjung terlihat.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebulan setelah dasar hukum diterbitkannya rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran hak asasi manusia berat melalui Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023, langkah-langkah konkret untuk implementasinya hingga kini tidak kunjung terlihat. Tim pemantau masih harus menunggu rapat terbatas lintas kementerian untuk meminta arahan langsung dari Presiden Joko Widodo terkait pelaksanaan pemulihan hak-hak korban pelanggaran HAM berat.
Dasar hukum yang dimaksud adalah Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM yang Berat dan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM yang Berat, yang diterbitkan pada medio Maret 2023. Dengan inpres dan keppres tersebut, 19 kementerian dan lembaga serta tim pemantau yang ditunjuk masih belum menyelenggarakan rapat koordinasi.
Wakil Ketua II Tim Pemantau Makarim Wibisono saat dihubungi, Jumat (28/4/2023), mengatakan, hingga saat ini tim belum pernah menggelar rapat koordinasi secara resmi. Sebelum Idul Fitri 1444 Hijriah, katanya, tim memang sedianya akan menggelar rapat koordinasi. Namun, karena jajaran yang berada di struktur organisasi tim pemantau bukanlah pengambil kebijakan strategis, rapat akhirnya ditunda. Sebagai gantinya, pimpinan 19 kementerian dan lembaga yang akan melaksanakan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat akan rapat terbatas bersama Presiden Jokowi di Istana Presiden.
”Waktu itu, anggota rapat berpandangan akan percuma jika yang hadir rapat tidak bisa memutuskan sesuatu. Akan lebih baik jika rapat di tingkat menteri bersama Presiden terlebih dahulu. Setelah itu, baru diadakan rapat tim pemantau,” katanya.
Waktu itu, anggota rapat berpandangan akan percuma jika yang hadir rapat tidak bisa memutuskan sesuatu. Akan lebih baik jika rapat di tingkat menteri bersama Presiden terlebih dahulu. Setelah itu, baru diadakan rapat tim pemantau.
Rapat lintas kementerian dan lembaga yang akan melaksanakan rekomendasi tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM) itu, lanjutnya, akan membahas detail teknis, seperti ketersediaan anggaran untuk implementasi pemulihan hak-hak korban. Jika hal-hal itu sudah mendapatkan arahan yang jelas dari Presiden, tim pemantau akan lebih mudah dalam menentukan parameter implementasi penyelesaian non-yudisial.
Di sisi lain, para korban pelanggaran HAM berat sebenarnya juga sudah menanti langkah konkret negara untuk memulihkan hak-hak mereka. Tuba (79), korban eks tahanan politik Peristiwa 1965, begitu bahagia saat mendengar pernyataan resmi Presiden Jokowi yang mengakui dan menyesalkan terjadinya 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Dia merasa hal itu adalah sebuah langkah maju. Sebab, selama ini, dia sudah menanti pengakuan resmi dari negara. Dengan pengakuan itu, dia berharap stigmatisasi yang melekat terhadap dirinya sebagai pelaku makar atau kudeta terhadap pemerintahan yang sah di era Orde Lama bisa dihapuskan.
Saya sudah tua dan penyakitnya banyak. Kalau negara bisa membantu pengobatan saya, tentu saya akan sangat senang. Apalagi jika ada pemenuhan hak-hak lain, seperti pemulihan nama baik.
Stigmatisasi itu membuat Tuba dan keluarganya hidup dalam bayangan diskriminasi. Dia kerap dirundung pada saat bekerja menjadi buruh lepas. Dia juga tidak mampu sepenuhnya mengakses bantuan dari pemerintah saat di kartu tanda penduduk (KTP)-nya masih terdapat label ET atau eks tapol.
”Saya sudah tua dan penyakitnya banyak. Kalau negara bisa membantu pengobatan saya, tentu saya akan sangat senang. Apalagi jika ada pemenuhan hak-hak lain, seperti pemulihan nama baik,” ujarnya.
Sri Asrini (40), kakak korban kerusuhan Mei 1998 di Mal Yogya, Klender, juga mengharapkan hal senada. Dia menanti pemulihan hak-hak korban yang selama ini kerap distigmatisasi oleh masyarakat. Adik laki-lakinya yang saat kejadian masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) tidak pernah pulang pada saat kejadian. Dia menduga adiknya hanya ikut-ikutan bersama teman-temannya untuk melihat kerusuhan yang terjadi di mal dekat rumahnya itu. Namun, saat ditemukan meninggal dengan luka bakar parah, adiknya juga masih harus mendapatkan stigmatisasi sebagai penjarah.
”Jujur, keinginan keluarga kami yang terdalam, nama adik saya yang menjadi korban kerusuhan Mei 1998 dibersihkan. Agar jangan dianggap sebagai penjarah. Karena, saat itu, adik saya masih kecil. Dia tidak tahu apa-apa. Apalagi sampai berniat jahat menjarah toko,” tuturnya.
Siap tindak lanjuti
Sejumlah kementerian dan lembaga sebenarnya juga sudah bersiap menindaklanjuti rekomendasi dari Tim PPHAM. Sebut saja Direktorat Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dirjen HAM Kemenkumham). Direktur Jenderal HAM Kemenkumham Dhahana Putra saat dilantik oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly pada awal April lalu mengatakan, pihaknya mendapatkan tugas untuk meningkatkan pelayanan prioritas bagi eksil terutama korban Peristiwa 1965.
Tentunya, kami akan memetakan itu. Kedua, berdasarkan informasi dari para korban ada yang ingin kembali ke Indonesia karena dulu, kan, dilarang. Ada juga yang ingin mendapatkan dwikewarganegaraan. Kami akan diskusikan dengan teman-teman dari lembaga terkait untuk merespons keinginan mereka berdasarkan aturan yang sudah ada.
Dia sudah melakukan pemetaan awal, yaitu mencari tahu keberadaan mantan warga negara Indonesia (WNI) yang tinggal di Eropa Timur. Akibat Peristiwa 1965, mereka kehilangan kewarganegaraan (stateless).
”Tentunya, kami akan memetakan itu. Kedua, berdasarkan informasi dari para korban, ada yang ingin kembali ke Indonesia karena dulu, kan, dilarang. Ada juga yang ingin mendapatkan dwikewarganegaraan. Kami akan diskusikan dengan teman-teman dari lembaga terkait untuk merespons keinginan mereka berdasarkan aturan yang sudah ada,” kata Dhahana.
Dhahana mengaku tak mudah memang mendata korban pelanggaran HAM berat yang ada di luar negeri karena belum ada instansi yang memiliki data valid dan akurat terkait korban. Meskipun demikian, korban yang berada di luar negeri itu banyak memiliki asosiasi atau forum. Pihaknya akan membuka komunikasi dengan forum dan asosiasi tersebut untuk mendapatkan data dan sebaran di mana saja lokasi eksil eks WNI berada.
Komnas HAM siap mendukung implementasi rekomendasi penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non-yudisial. Komnas HAM saat ini sedang menyusun masukan bagi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi tim PPHAM yang akan diserahkan kepada pemerintah.
Terkait dengan hal itu, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mengatakan, Komnas HAM siap mendukung implementasi rekomendasi penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non-yudisial. Komnas HAM saat ini sedang menyusun masukan bagi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Tim PPHAM yang akan diserahkan kepada pemerintah.
Masukan itu disusun melalui proses konsultasi dengan berbagai pihak, seperti kelompok korban, organisasi masyarakat sipil, serta pakar HAM di berbagai wilayah di Indonesia dan beberapa negara. Masukan akan berisi rekomendasi mengenai bentuk-bentuk kebijakan, pemulihan, dan prinsip-prinsip dalam pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM berat.
Komnas HAM juga sudah berkunjung ke Praha, Ceko, pada awal April lalu. Komnas HAM menjelaskan dua instrumen hukum yang telah diterbitkan pemerintah yang dinilai sebagai bentuk keseriusan Pemerintah Indonesia terhadap peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu. Di Praha, Atnike bertemu dengan para eksil 1965 yang saat itu mendapatkan beasiswa untuk studi di Cekoslovakia.
Pada saat peristiwa Gerakan 30 September 1965 meletus di Indonesia, para mahasiswa yang tergabung dalam Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Ceko itu dipanggil oleh perwakilan RI di sana. Paspor mereka kemudian dicabut karena alasan politis.
Pada saat peristiwa Gerakan 30 September 1965 meletus di Indonesia, para mahasiswa yang tergabung dalam Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Ceko itu dipanggil oleh perwakilan RI di sana. Paspor mereka kemudian dicabut karena alasan politis.
Harus ada peta jalan yang jelas
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid berpendapat, harus ada peta jalan yang jelas untuk mengawal implementasi rekomendasi Tim PPHAM. Harus ada orkestrasi dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD untuk mengawal implementasi tersebut. Sebab, menurut dia, saat ini seluruh perhatian pemerintah sudah terfokus pada pemilu sehingga tidak mudah untuk mengubah haluan kebijakan dari masing-masing instansi.
”Harus ada peta jalan yang jelas agar kementerian tahu betul harus menindaklanjuti apa,” katanya.
Menurut dia, tindak lanjut rekomendasi tersebut harus dijalankan secepatnya. Sebab, jika sampai tertunda, bahkan sampai berlarut-larut, akan muncul opini liar bahwa isu HAM hanya digunakan sebagai komoditas politik belaka menjelang pemilu. Setelah pemilu selesai, isu HAM kembali senyap dan tidak dibicarakan oleh pemerintah ataupun publik.