Silaturahmi yang Meretas Kebencian
Silaturahmi menghubungkan orang-orang yang tampak nyaris mustahil dipersatukan: mantan narapidana terorisme, korban/penyintas bom, dan polisi. Kebencian mencair, dendam meluruh. Nilai-nilai kemanusiaan kembali disemai.
Silaturahmi menghubungkan orang-orang yang tampak nyaris mustahil dipersatukan: mantan narapidana terorisme, penyintas aksi teror, dan polisi. Garis segregasi yang sebelumnya terbentang, perlahan melebur. Kebencian mencair. Dendam meluruh. Mereka bergandengan menyemai kembali nilai-nilai kemanusiaan.
“Sudah seperti teman, sudah seperti keluarga,” kata Iwan Setiawan (52) tentang orang-orang yang sempat mengajaknya berbincang, termasuk pria paruh baya bernama Sofyan Tsauri.
Pada sore pertengahan Ramadhan itu, Iwan sedang duduk di kursi yang disusun berderet ketika Sofyan Tsauri (470 menghampiri dan menyapanya. Iwan bangkit, menjabat tangan, dan menempelkan pipinya ke pipi Sofyan. Usai mengucap syukur atas kondisinya yang baik, Iwan bertanya balik kabar Sofyan. Keduanya lantas bertukar cerita soal kesibukan, pekerjaan, anak, dan masa depan.
Hal serupa dilakukan Iwan ketika Roki Aprisdianto dan enam orang lain bergantian menghampirinya dalam waktu dua jam. Senyum kerap merekah di wajah Iwan dan lawan bicaranya yang sama-sama memakai koko dan menutupi kepala dengan peci itu.
Namun, menurut Iwan, interaksi itu sebenarnya bukan hal yang biasa bagi kebanyakan orang. Hal itu karena masa lalu mereka sangat bertolak belakang.
Iwan adalah penyintas ledakan bom di depan kantor Kedutaan Besar Australia, Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, 9 September 2004, yang menewaskan 9 orang dan membuat 160 orang lainnya luka-luka. Saat bom meletus, Iwan tengah melintas bersama istrinya, Halila Seroja Daulay, menggunakan sepeda motor. Mereka hendak memeriksakan kandungan Halila yang sudah memasuki usia delapan bulan ke bidan di Manggarai, Jakarta Selatan.
Ledakan membuat Iwan dan Halila terpental, keduanya terluka. Mata kanan Iwan terlepas setelah tertancap serpihan bom, membuatnya kini harus memakai protesa mata (mata palsu). Kepala Halila cedera, membuatnya kerap hilang kesadaran dan akhirnya meninggal dua tahun setelah ledakan.
Baca juga: Cukup, Terorisme Hanya Akan Hadirkan Duka dan Luka
Sementara itu, Sofyan Tsauri merupakan bekas narapidana terorisme (napiter). Pada 2011, Sofyan divonis 10 tahun penjara karena terbukti membantu jaringan Dulmatin melakukan tindak pidana terorisme dengan menjual 24 pucuk senjata api, 19.999 peluru, dan 93 magasin. Tak sampai sepuluh tahun, ia mendapatkan pembebasan pada 2015.
Roki Aprisdianto juga merupakan bekas napiter yang terlibat peledakan bom pada pos-pos polisi lalu lintas serta gereja di wilayah Surakarta antara tahun 2010 dan 2011. Ia juga meletakkan bom di Polsek Pasar Kliwon, Surakarta, pada 20 November 2012. Ia dijatuhi hukuman 9 tahun penjara.
Sore itu, Iwan, Sofyan, dan Roki bertemu dalam acara silaturahmi yang diinisiasi satuan khusus kepolisian untuk penanggulangan terorisme di Indonesia, Datasemen Khusus 88 Antiteror (Densus 88). Acara yang digelar di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, tersebut menghadirkan 48 eks napiter, 7 mantan jaringan atau kombatan, 4 penyintas bom, dan puluhan anggota Densus 88. Hadir pula sekitar 30 anak-anak napiter dari daerah konflik.
Jauh sebelumnya, Iwan telah bertemu Sofyan dan Roki dalam banyak kesempatan. Sebagian besar pada acara serupa yang digelar Densus 88. Di luar itu, Iwan berkali-kali bertemu napiter di penjara. Sebagai bagian dari upaya menetralkan paham radikal atau deradikalisasi napiter, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) kerap mengajak Iwan dan penyintas bom lain untuk berkunjung dari satu penjara ke penjara lain.
Salah satu pertemuan yang tidak pernah Iwan lupa adalah pertemuan dengan otak terpidana mati kasus pengeboman Kedutaan Besar Australia, Iwan Darmawan Munto alias Rois dan Ahmad Hassan. Bagi Iwan, pertemuan itu bermakna dalam. Ia awalnya, menyimpan kebencian kepada dua dalang di balik peristiwa yang membuat hidupnya berubah drastis itu.
Baca juga: Korban Terorisme: Kami Sudah Tidak Marah Lagi
Iwan ingin membalas perbuatan Rois dan Hassan. Ia ingin mereka merasakan penderitaan sepertinya, kesakitan, dirawat berbulan-bulan, kehilangan mata, dan kehilangan istri. Namun, pertemuan itu justru jadi titik balik penyadaran Iwan.
“Saat itu, Hassan minta maaf. Ia menangis, menunjukkan penyesalan, meminta kisas dengan mengganti mata saya dengan matanya. Dari situ, saya berpikir tak hanya saya yang korban. Ia juga korban dari pemahaman atau ideologi yang salah,” ujar Iwan.
Keinginannya bertemu napiter bukan lagi untuk mencari penjelasan tentang alasan di balik tindakan mereka. Ia ingin melepas kebencian dan dendam yang jadi beban berat untuknya. Ia ingin berbesar hati, berlapang dada, memurnikan niatnya sebagai ibadah, menjalin silaturahmi dengan sesama manusia. Ia ingin menguatkan dirinya dengan cara menguatkan para napiter untuk tidak lagi berpaham ekstrem.
Baginya, pendekatan dari hati ke hati lebih efektif melunturkan paham radikal yang dianut napiter. “Kami, kan, sama-sama manusia yang mengerti rasanya sakit, penderitaan, kehilangan. Jadi ketika penyintas berbicara lewat hati, diterima juga dengan hati. Pesannya lebih mudah sampai, ” tutur Iwan.
Pendekatan kemanusiaan
Pendekatan kemanusiaan memang dikedepankan dalam deradikalisasi napiter beberapa tahun belakangan. Kepala Densus 88 Inspektur Jenderal Marthinus Hukom menjabarkan, setelah dinetralkan dari paham-paham kekerasan yang mereka anut sebelumnya, para mantan napiter lantas diajak kembali menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan di dalam dirinya. Pada momen ini, penyintas bom seperti Iwan dilibatkan. Sama seperti Iwan, Marthinus percaya bahwa pendekatan itu ampuh melunakkan hati para napiter.
“Inti deradikalisasi, kan, menghadirkan kembali sisi kemanusiaan yang hilang. Kami pertemukan agar mereka bisa melihat bahwa sebenarnya ada kesamaan, yakni sama-sama manusia yang punya cinta dan kasih sayang untuk sesama. Itu yang terus kami gali, supaya rasa cinta itu mengisi ruang hati para napiter,” ujar Marthinus.
Pendekatan kemanusiaan turut diterapkan ketika penangkapan teroris. Lantaran penangkapan merupakan proses negara kembali hadir ke tengah-tengah mereka, maka kekerasan sekecil apapun dilarang. Saat negara hadir, kata Marthinus, wajah yang ditampilkan harus wajah humanis, bukan wajah kekerasan.
Atas dasar kemanusiaan pula, Densus 88 rutin menggelar pertemuan dengan penyintas dan eks napiter, termasuk pada pertemuan sore itu. Selain bagian dari upaya deradikalisasi juga diadakan agar silaturahmi tiga unsur itu terus terjalin. Dengan silaturahmi, diharapkan sekat-sekat yang sebelumnya menjulang perlahan runtuh, baik sekat komunikasi, latar belakang, maupun asal-usul.
Baca juga: Pendekatan Kemanusiaan agar Tak Ada Lagi ”Family Tree” Terorisme
Pada akhirnya, semua langkah itu bermuara pada reintegrasi dengan masyarakat. Ketika napiter terpapar paham radikal, mereka terputus dari kelompok masyarakat. Maka, setelah mereka mengikuti deradikalisasi dan nilai-nilai kemanusiaan telah mereka temukan lagi, para eks napiter akan dikembalikan ke masyarakat.
“Masyarakat ini merupakan wadah, kami siapkan juga agar bisa menerima eks napiter, agar tidak memberi stigma. Sebab, eks napiter ini sudah melalui proses penahanan, yang artinya sudah menang melawan diri mereka sendiri, sudah berhasil menggali sisi kemanusiaan yang selama ini tertumpuk doktrin kekerasan,” ucap Marthinus.
Penerimaan
Upaya meruntuhkan stigma ini tidak selalu mudah. Hal itu dirasakan salah satu bekas napiter, Iwan Wahyudianto (44). Tahun 2017, ia tergabung dalam Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang terafiliasi dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Ia kemudian ditangkap Densus 88 pada 2018 dan menjalani serangkaian proses hukum dan hukuman hingga bebas dari penjara pada 2020.
Setelah keluar dari penjara, telinganya sudah akrab dengan cemoohan “mantan teroris” yang dilontarkan orang-orang. Tidak hanya kata-kata, keluarganya juga mendapat diskriminasi dan pengucilan dari lingkungan sekitar rumahnya di wilayah Depok, Jawa Barat. Istri dan kelima anaknya tidak betah kemudian mereka pindah ke daerah Jakarta Pusat.
Menurut dia, setiap mantan napiter memiliki tantangan dan kesulitannya masing-masing untuk kembali beradaptasi dengan masyarakat. Di komunitas lain yang lebih heterogen, seperti di dunia kerja, kehadirannya lebih sulit diterima sekalipun ia sedang dalam proses deradikalisasi.
Iwan, yang dulunya karyawan swasta, masih kesulitan untuk kembali masuk ke lapangan pekerjaan formal. Ini karena tidak semua rekan kerja dan konsumennya menerima label yang melekat padanya sebagai bekas napiter. Alhasil, saat ini ia bekerja lepas dengan teman walaupun masih di bidang keahliannya sebagai teknisi.
“Label akan selalu ada dan tidak dapat dimungkiri kita akan selalu mendapat prasangka. Namun yang kemudian harus dibangun adalah cara menempatkan diri dalam berbagai kondisi,” tutur Iwan.
Baca juga: Meniti Jalan Panjang Deradikalisasi
Dukungan dari keluarga serta lingkungan yang memaafkan berperan membangun kembali harapan dan semangat hidup Iwan. Langkahnya membuka lembaran hidup baru juga dimantapkan dengan bergabung di Yayasan Forum Komunikasi Aktivis Akhlakulkarimah Indonesia (FKAAI) pada 2021.
FKAAI merupakan wadah yang menaungi para penyintas aksi dan napiter, mantan kombatan NIIS, hingga penyintas terorisme. Organisasi yang didukung oleh BNPT dan Densus 88 ini merupakan ikhtiar reintegrasi mantan napiter dengan masyarakat.
Berada di antara orang yang senasib membuatnya belajar mengenai penerimaan dan berdamai dengan keadaan. “Penyesalan itu pasti ada, tetapi sekarang pilihannya apakah kita mau berkubang dengan masa lalu atau melanjutkan masa depan,” tutur Iwan.
Lalu, pertanyaan selanjutnya, seberapa lebar pintu silaturahmi ini akan senantiasa terbuka di masyarakat luas?