Cukup, Terorisme Hanya Akan Hadirkan Duka dan Luka
Teror hanya akan membawa luka. Butuh ragam solusi, mulai dari dialog hingga perbaikan ekonomi untuk menekan semua berujung duka.
Tidak pernah ada ujung bahagia, semua ulah teroris pasti menyisakan luka. Ruang dialog terbuka dan toleran hingga pengentasan kemiskinan menjadi secuil solusi yang harus diperjuangkan.
Yogi Aryo Yudhistiro (27), pelan menuju panggung di salah satu sudut Gedung Sate, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (24/2/2022). Dia sangat berhati-hati menata langkahnya. Semua dipicu penglihatannya yang terganggu nyaris selama lima tahun terakhir.
Di atas panggung, penyintas Bom Kampung Melayu 2017 ini sudah ditunggu. Ada Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo Suroyo hingga Gubernur Jabar Ridwan Kamil.
Panggung itu memang disediakan LPSK bagi Yogi dan 23 undangan lainnya. Mereka adalah penyintas terorisme asal Jabar yang hari itu mendapat kompensasi dari negara.
Hari itu, negara membayar kompensasi hingga Rp 4,2 miliar. Rinciannya bagi sembilan korban meninggal dunia, luka berat (5), luka sedang (6), dan luka ringan (4).
Mereka penyintas dari beragam kejadian. Mulai dari Bom Bali II, JW Marriot, Kedubes Australia, hingga Bom Kedubes Australia.
Selain itu, ada juga penyintas kontak senjata peristiwa penyerbuan pos polisi di Loki dan penembakan jaksa di Palu. Ada juga kejadian kontak senjata di Gunung Janto Aceh, hingga penyerangan polisi di Poso.
Akan tetapi, sebesar apapun yang diterima tetap saja tidak sebanding dengan dampaknya. Ada orang tua yang kehilangan anak hingga Yogi yang kesulitan melihat dunia dengan sempurna.
“Mata sebelah kanan sulit melihat hampir 100 persen, kalau kiri masih lebih jelas walaupun tidak 100 persen. Ini saja kalau berjalan semuanya buram,” ujar Yogi setelah turun panggung.
Baca juga : Menyemai Benih Toleransi dan Kepemimpinan dari Pesantren di Bandung
Selain luka fisik akibat pecahan material bom menusuk matanya, trauma itu juga masih sulit hilang. Dengan harapan bisa menjadi pelajaran baik untuk masa depan, ia menyusun ingatan momen yang tidak mudah di Kampung Melayu.
Malam di Kampung Melayu, 24 Mei 2017 itu semakin ramai. Kemeriahan pawai obor menyambut Ramadhan mulai terlihat. Sebagai anggota Sabhara Polda Metro, ia mendapat tugas menjaga keamanan acara itu.
Akan tetapi, khusyuk malam itu berubah busuk. Bom panci meledak di dekatnya dan tiga polisi lainnya. Ledakan hanya berjarak beberapa meter dari tubuh Yogi.
Saat dievakuasi, tubuhnya dihujam serpihan bom. Selain sakit di mata, pendengarannya terganggu. Sejak itu, lelaki asal Depok ini dilanda trauma, apalagi sejak tahu tiga rekannya meninggal dunia.
Saat mengisahkan lagi peristiwa yang terjadi sekitar 12 kilometer dari Istana Negara, suaranya bergetar. Ada parau ketika menceritakan kejadian yang menewaskan lima orang, dua diantaranya pelaku. Sebanyak 10 orang lain terluka.
Terorisme juga hanya menorehkan duka pada Busono Herry (66), ayah Taufan Tsunami. Taufan adalah polisi rekan Yogi yang tewas dalam insiden itu.
Air matanya jatuh saat Yogi mengucapkan terima kasih kepada pemerintah yang telah menyantuni para korban dalam acara tersebut. Kenangan pada anaknya dengan cepat melintas lagi di benaknya.
Rabu malam tidak lama setelah ledakan, hidup Herry porak poranda. Dia mendapat kabar Taufan adalah salah satu korban tewas. Anak kebanggaan keluarga itu meninggalkan Herry lebih dahulu.
“Berapapun uang tidak bisa mengembalikan dia. Tetapi, kami tetap mengapresiasi bantuan ini. Itu tandanya negara memberi perhatian kepada kami,” ujarnya setelah menerima kompensasi.
Ke depan, dia berharap tidak ada lagi korban berjatuhan akibat ulah teroris. Teror tidak akan menghasilkan apa-apa, selain merenggut nyawa orang-orang tercinta.
“Sudah cukup banyak yang sedih karena kehilangan orang karena teroris,” kata Herry sambil menyeka air mata yang kembali turun ke pipi.
Kompensasi
Hasto Atmojo Suroyo sepakat tidak perlu ada lagi air mata akibat terorisme. Berapa pun santunan tidak akan bisa menggantikan nyawa, luka, dan trauma.
Namun, ia sangat berharap, santunan bisa ikut membantu penyintas dan kerabat korban menata hidup. Selain uang, penyintas juga mendapatkan fasilitas pemulihan dari LPSK. Sebelumnya, hal ini juga diberikan pada penyintas dan kerabat korban teroris asal Cirebon hingga Bali.
“Ini menjadi tanggung jawab negara. Semua berhak mendapatkan layanan lain dari LPSK, seperti rehabilitasi medis, psikologis, dan psikososial,” ujarnya di hadapan perwakilan korban serta ahli waris.
Ridwan Kamil menyatakan, terorisme di Indonesia berakar dari radikalisme dan kebencian terhadap perbedaan. Padahal, semua harus saling berdampingan dan hidup dalam toleransi di tengah perbedaan.
“Ada kelompok yang melihat perbedaan ini sebagai sumber kebencian. Kalau benci, pasti banyak pertengkaran. Inilah sumber kerusuhan, teror dan peperangan,” papar Gubernur yang kerap disapa Emil itu.
Jerat kemiskinan
Menurut Emil, radikalisme yang menjadi benih kebencian dan berujung pada terorisme itu bisa terjadi salah satunya karena jerat kemiskinan. Dia berujar, kondisi tersebut membuat sekelompok orang menyalahkan masalah hidupnya kepada simbol-simbol orang lain.
Emil bisa jadi benar. Contoh pelaku terorisme yang terjebak dalam kemiskinan ini bisa dilihat dari kehidupan masa lalu Ichwan Nur Salam (31), pelaku bom bunuh diri di Kampung Melayu. Dia tewas bersama pelaku lainnya, Ahmad Sukri.
Sebelum tewas, Ichwan tinggal di Cibangkong, permukiman padat penduduk di pusat Kota Bandung. Dia tinggal di sana dengan pendapatan kecil dan tidak menentu.
Penghasilan Ichwan bersama istrinya tidak lebih dari Rp 1 juta-2 juta per bulan. Uangnya dari berjualan susu murni, obat herbal, dan jus buah.
“Kemiskinan mungkin bukan satu-satunya penyebab terjadinya tindak kriminal. Namun, kemiskinan berpotensi jadi pemicu utama kenekatan dan kejahatan,” ujar Kriminolog Universitas Padjadjaran Yesmil Anwar (Kompas,2/7/2017).
Untuk mengantisipasinya, lanjut Emil, sejumlah program yang mengedepankan kesejahteraan masyarakat menjadi solusi. Selain program bantuan sosial, pihaknya juga menerapkan satu pesantren satu unit bisnis sehingga menguatkan perekonomian dan pemberdayaan masyarakat.
“Dari program tersebut, telah lahir 3.000 bisnis lahir dari pesantren-pesantren di Jabar. Kami juga mengejar investasi yang menghasilkan ribuan lapangan pekerjaan,” paparnya.
Janji Emil layak ditunggu. Saat ini, kemiskinan masih membelit banyak orang di Jabar.
Jumlahnya bahkan meningkat selama pandemi Covid-19. Tanpa lantas meletakan stigma teroris bagi mereka yang hidup dalam belenggu kemiskinan, persoalan ini butuh solusi segera.
Data Badan Pusat Statistik pada Maret 2021 menyebutkan, jumlah penduduk miskin di Jabar naik kurang lebih 6,82 ribu jiwa dibandingkan September 2020. Dari sebelumnya 4,19 juta jiwa menjadi 4,2 juta jiwa.
Buka dialog
Selain kemiskinan, perbedaan yang berujung kepada kebencian juga terjadi di kalangan cendekiawan. Menurut Emil, hal ini terjadi karena dialog antar kelompok yang berseberangan belum terbangun sehingga muncul anggapan satu kelompok lebih lebih baik dibanding yang lainnya.
“Kalau kelompok ini, biasanya tidak muncul karena alasan ekonomi, tetapi karena kurang dialog. Hobinya hanya berbicara dengan kelompoknya saja, sehingga muncul kebencian dan merasa lebih baik dibanding yang lain,” ujarnya.
Karena itu, Emil menyatakan, pihaknya mencoba memfasilitasi dialog antar berbagai pihak yang berbeda. Forum komunikasi hingga kemah kebangsaan diadakan agar setiap kelompok mau berdiskusi. Diskusi ini pada akhirnya tetap berkomitmen menegakkan kebinekaan di Indonesia.
Ulama muda pun diberi kemampuan bahasa Inggris agar bisa memperkenalkan islam yang damai di luar negeri. Menurut Emil, dialog juga dilakukan tidak hanya untuk meminimalisir potensi radikalisme, tetapi juga mengenalkan Islam yang damai dan ramah.
Jika tidak ada ruang dialog dan kesejahteraan, ruang radikalisme dan terorisme ini akan tetap ada di masyarakat. Bila terjadi, hanya menimbulkan kehilangan orang tercinta dan menghujamkan trauma yang entah sampai kapan menyiksa.
Baca juga :
Kelenteng Talang Cirebon, dari Masjid hingga Simbol Toleransi