Terorisme, selain problem terkait penggunaan kekerasan demi pemaksaan kehendak itu sendiri, juga meninggalkan sejumlah persoalan turunan yang pelik.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Salah satu persoalan turunan itu seputar nasib anak-anak narapidana terorisme. Anak-anak tersebut kebanyakan mengalami trauma psikologis seiring insiden yang dialami anggota keluarga, terutama orangtua. Beberapa di antaranya menyaksikan orangtua mereka menjadi pelaku bom bunuh diri, atau menyaksikan orangtuanya ditangkap penegak hukum.
Kisah nyata dialami Ais, anak pelaku bom bunuh diri sekeluarga di Surabaya, Jawa Timur, Mei 2018. Ais yang kala itu berusia delapan tahun selamat dari ledakan bom. Seiring waktu, Ais dititipkan di panti rehabilitasi sosial di Surabaya, di mana ia dideteksi mengalami pergulatan psikis yang deras dan trauma yang berat (Kompas.id, 13/2/2023).
Namun, ternyata bukan hanya beban psikologis, anak-anak narapidana terorisme juga menghadapi persoalan ekonomi. Selain harus hidup tanpa orangtua, mereka kerap didera stigma yang bakal mempersulit kembali hidup di tengah masyarakat.
Di satu sisi, rehabilitasi oleh negara belum optimal. Di sisi lain, tanpa penanganan memadai, pengalaman terpapar ideologi ekstrem dan trauma psikologis dapat mendorong mereka menjadi pelaku terorisme (Kompas, 13/2/2023).
Seorang anak yang terlibat peledakan bom di Gereja Oikumene Kota Samarinda, Kalimantan Timur, 2016, tak bisa melanjutkan sekolah formal dan sulit mencari pekerjaan setelah menjalani vonis. Seorang ibu, IM (34), dan anak-anaknya yang masih di bawah 10 tahun, diusir warga di tempat tinggalnya setelah suaminya dibawa polisi lantaran terlibat jaringan terorisme di Villa Mutiara, Makassar, Sulawesi Selatan.
Bagaimanapun, anak-anak narapidana terorisme perlu diselamatkan. Masa depan mereka masih panjang.
Andai mereka sempat teracuni paham radikal, sedini mungkin sejak terlepas dari keluarga atau yang memprovokasinya, negara perlu segera hadir untuk menjalankan proses deradikalisasi.
Layak disyukuri, modal sosial berupa penerimaan publik terhadap anak narapidana terorisme masih menyembulkan harapan.
Hasil jajak pendapat Kompas menunjukkan 44,6 persen responden bersedia merangkul dan memberikan arahan baik jika ada anak narapidana terorisme di sekitar mereka.
Sementara itu, 22 persen responden lain memperlakukan mereka sama seperti anak-anak lain. Keterbukaan responden terhadap anak-anak itu juga tampak dari pilihan mereka untuk menyetujui anak narapidana terorisme bersekolah di sekolah umum. Hal ini diungkapkan 68,8 persen responden (Kompas, 13/2/2023).
Penanggulangan terorisme seharusnya tidak terkonsentrasi pada penegakan hukum semata. Sebelum menjadi aksi terorisme yang menghalalkan segala cara demi memaksakan kehendak, tentu didahului benih-benih paham radikal.
Guna mengantisipasi meluasnya radikalisme, kampanye-kampanye keberagaman dan toleransi perlu makin digalakkan. Modal fundamental negara kesatuan, yang diperkuat penerimaan publik yang cenderung positif terhadap anak narapidana terorisme, menjadi modal optimalisasi deradikalisasi.