KPK menetapkan Wali Kota Bandung Yana Mulyana sebagai tersangka suap proyek pengadaan kamera pemantau (CCTV) dan jasa penyedia jaringan internet bersama dengan lima orang lainnya.
JAKARTA, KOMPAS –Penangkapan Wali Kota Bandung, Jawa Barat, Yana Mulyana, karena disangka terlibat suap menambah panjang daftar kepala daerah yang tersandung kasus rasuah menjelang Pemilu dan Pilkada 2024. Maraknya tindak pidana korupsi, yang dilakukan kepala daerah itu, ditengarai dipicu oleh politik transaksional.
Tidak hanya harus mengembalikan biaya kampanye yang telah dikeluarkan sebelumnya, para kepala daerah diduga juga dituntut membayar ongkos politik tinggi untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaannya.
Yana Mulyana terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (14/4/2023) malam di Bandung. KPK juga menangkap sembilan orang lainnya, antara lain Kepala dan Sekretaris Dinas Perhubungan Kota Bandung, ajudan, serta pihak swasta.
Mereka dibawa ke Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, untuk menjalani pemeriksaan sepanjang Sabtu (15/4) kemarin. Dari 10 orang yang diperiksa, enam di antaranya ditetapkan sebagai tersangka suap pengadaan kamera pemantau (CCTV) serta jasa penyedia jaringan internet di wilayah Kota Bandung. Diduga, uang suap akan digunakan untuk persiapan Lebaran.
”Tersangka ada enam orang. Tiga pemberi suap dari swasta dan tiga orang penerima suap, antara lain Wali Kota Bandung, Kadishub Kota Bandung, dan Sekretaris Dinas Perhubungan Kota Bandung. Dari informasi sementara, antara lain, untuk kebutuhan persiapan Lebaran,” ungkap Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri, Sabtu malam.
Ali mengungkapkan, dalam OTT itu, KPK menyita uang senilai ratusan juta rupiah. Selain itu, disita pula sejumlah uang dollar Singapura, dollar Amerika Serikat (AS), baht Thailand, ringgit Malaysia, dan yen Jepang. KPK juga menyita sepasang sepatu kets merek Louis Vuitton.
KPK akan menjerat para pemberi suap dengan Pasal 5 atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 yang telah disempurnakan menjadi UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) karena menyuap penyelenggara negara dengan ancaman hukuman paling lama 5 tahun penjara. Adapun penerima suap dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau 11 UU Tipikor karena menerima suap atau gratifikasi dengan ancaman hukuman penjara maksimal 5 tahun.
Pilkada 2024
Ali menegaskan, KPK tak akan fokus pada jumlah uang suap yang diterima. KPK akan mendalami apakah Yana menerima suap untuk keperluan pemenangan Pilkada 2024 atau tidak.
Tersangka ada enam orang. Tiga pemberi suap dari swasta dan tiga orang penerima suap, antara lain Wali Kota Bandung, Kadishub Kota Bandung, dan Sekretaris Dinas Perhubungan Kota Bandung. Dari informasi sementara, antara lain, untuk kebutuhan persiapan Lebaran
Yana baru menjabat sebagai Wali Kota Bandung pada 10 Desember 2021 menggantikan Oded M Danial yang meninggal. Politikus Partai Gerindra itu pun sudah digadang-gadang untuk dicalonkan sebagai Wali Kota Bandung pada pilkada serentak tahun 2024.
Penangkapan Yana menambah panjang daftar kepala daerah yang tersandung korupsi menjelang penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada 2024. Sebelumnya, pada akhir Maret 2023, KPK menahan Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah, Ben Brahim S Bahat, dan istrinya, Ary Egahni, yang merupakan anggota DPR dari Fraksi Partai Nasdem. Keduanya disangka memotong anggaran daerah dan meminta uang serta barang mewah kepada beberapa kepala satuan kerja di Pemerintah Kabupaten Kapuas.
Diduga, uang hasil korupsi senilai Rp 8,7 miliar itu akan digunakan untuk membiayai keduanya mengikuti pemilu dan pilkada mendatang. Selain itu, juga untuk membiayai kebutuhan hidup.
Kemudian Kamis (6/4) malam, KPK menangkap Bupati Kepulauan Meranti, Riau, M Adil, karena disangka melakukan tiga kluster korupsi berbeda. Korupsi itu antara lain permintaan setoran dari pemotongan uang persediaan dan ganti uang persediaan berkisar 5-10 persen dan penerimaan imbalan atau fee jasa travel umrah Rp 1,4 miliar dari perusahaan swasta bernama PT Tanur Muthmainnah. Adil juga disangka menyuap Ketua Tim Pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Riau M Fahmi Aressa senilai Rp 1,1 miliar agar audit keuangan Meranti mendapatkan predikat baik wajar tanpa pengecualian (WTP).
Sama dengan Ben dan Ary, Adil juga diduga melakukan korupsi untuk dana operasional safari politik pencalonannya di Pilkada Riau tahun 2024.
Politik transaksional
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Totok Dwi Diantoro mengatakan, korupsi oleh pejabat publik, termasuk kepala daerah merupakan konsekuensi dari politik transaksional. Di dalamnya ada kebutuhan untuk mengembalikan ongkos politik yang sudah dikeluarkan sebelumnya sekaligus membiayai pemenangan pada pemilu kali ini. ”Tentu saja juga diiringi dengan moral hazard memburu rente,” ujarnya.
Totok melihat, korupsi Yana untuk kebutuhan Lebaran tak lepas dari upayanya untuk memperkuat relasi dengan konstituen. Korupsi politik semacam itu dikhawatirkan mengakibatkan kebijakan yang diambil kepala daerah cenderung merugikan kepentingan publik.
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto menambahkan, ujung dari korupsi politik adalah penggalangan dana untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan. Akibatnya, pemilu hanya akan jadi pertarungan para elite politik berduit kembali berkuasa untuk menjarah uang rakyat. ”Bahaya korupsi politik yang pasti kebijakan yang dilahirkan bias kepentingan pihak yang berkuasa,” katanya.
ICW mengharapkan, KPK bisa meningkatkan operasi pemberantasan korupsi. Apalagi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sudah mengingatkan bahwa jelang tahun politik banyak dana ilegal yang beredar untuk kepentingan politik.
Sementara setelah Yana tersangkut kasus hukum, Sekretaris Daerah Kota Bandung Ema Sumarna menjadi pejabat tertinggi di lingkungan Pemerintah Kota Bandung. Ema memastikan, pelayanan masyarakat tetap berjalan.