Menyoal Kembalinya Para Bekas Napi Korupsi ke Panggung Politik
Kembalinya bekas narapidana kasus korupsi ke gelanggang politik sudah berulang kali terjadi. Apakah fenomena ini menunjukkan puncak gunung es pragmatisme dunia politik kita?
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
Bekas Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, menghirup udara bebas pada Selasa (11/4/2023). Di luar Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, simpatisan Anas telah ramai berkumpul menyambut hari pembebasannya. Status Anas saat keluar dari lapas adalah cuti menjelang bebas. Dengan demikian, dia masih dikenai wajib lapor ke balai pemasyarakatan (bapas) selama tiga bulan.
Menjelang kebebasannya, Anas berulang kali disebut akan kembali ke dunia politik. Sinyalemen itu menguat saat beredar baliho-baliho yang menampilkan wajah Anas bertuliskan ”tunggu beta bale” atau berarti tunggu saya pulang. Kembalinya Anas ke panggung politik dikuatkan oleh pernyataan Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) I Gede Pasek Suardika. PKN memberikan karpet merah untuk Anas.
”Iya, pada saatnya nanti akan bergabung ke PKN,” katanya saat dihubungi setelah Anas keluar lapas.
Meski PKN baru dideklarasikan pada 28 Oktober 2021, cikal bakal PKN sudah ada sejak 2008 ketika masih bernama Partai Karya Perjuangan. Selanjutnya, ketika partai tersebut memutuskan bergabung ke Partai Demokrat pada 2011, Ketua Umum Partai Demokrat kala itu, Anas Urbaningrum, menyebut partai tersebut sebagai saudara sejak lahir. Karena itu, Anas bukan sosok asing bagi PKN. Bahkan, menurut Suardika, PKN dibangun bersama-sama Anas.
Namun, terkait dengan status Anas sebagai eks napi kasus korupsi yang dapat berdampak negatif pada citra PKN ataupun terkait jabatan yang disiapkan bagi Anas di struktur kepengurusan PKN, Suardika enggan menanggapinya. ”Kita lihat saja nanti,” kata Suardika.
Kembalinya bekas terpidana kasus korupsi ke kancah politik seolah menjadi hal yang lumrah. Jika menoleh ke belakang, terpidana kasus korupsi Wisma Atlet Hambalang yang juga bekas Menteri Pemuda dan Olahraga, Andi Malarangeng, juga kembali ke Partai Demokrat setelah menjalani masa hukuman selama 4 tahun dan bebas murni pada 19 Juli 2017.
Di Partai Demokrat, Andi menduduki jabatan sebagai Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat. Dalam beberapa kesempatan, ia tampak mendampingi Ketua Majelis Tinggi Demokrat yang juga Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono. Terkait politik, sejak 2021, Andi membuat akun Youtube bernama ”Andi Mallarangeng Channel” yang menampilkan kesehariannya serta berbagai pandangannya tentang peristiwa terkini, termasuk perpolitikan.
Contoh lain, bekas Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy atau Romy yang merupakan eks napi korupsi kasus suap untuk pengisian pejabat di Kementerian Agama. Setelah bebas, ia kembali ke PPP dan dipercaya untuk menjabat posisi strategis, yakni Ketua Majelis Pertimbangan PPP. Romy divonis 2 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang kemudian dikurangi menjadi satu tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Kembalinya bekas napi korupsi ke panggung politik juga terlihat dari Nurdin Halid. Mantan napi kasus korupsi distribusi minyak goreng Bulog ini, kini dipercaya menjabat Wakil Ketua Umum Partai Golkar. Pada 2018, ia juga sempat mencalonkan diri sebagai calon gubernur Sulawesi Selatan meski akhirnya kalah.
Sikap permisif partai
Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Khoirunnisa Nur Agustyati, partai politik (parpol) yang menggandeng bekas napi, termasuk bekas napi kasus korupsi, dinilai lebih mengedepankan popularitas dibanding semangat untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. Terlebih, fenomena itu terjadi di tengah masyarakat yang tidak sepenuhnya bisa mendapatkan informasi yang utuh dan berimbang.
”Maka, akan mudah mengemas pemberitaan mengenai eks koruptor tersebut dengan opini yang positif. Tapi, sebetulnya ini menunjukkan bahwa parpol tidak memiliki semangat antikorupsi dan lebih mengedepankan pragmatisme,” kata Khoirunnisa.
Fenomena tersebut bisa menunjukkan sikap permisif dari parpol terhadap korupsi. Hal itu sekaligus menunjukkan bahwa kasus korupsi dianggap sebagai kasus biasa, bukan kejahatan luar biasa. Sikap permisif itu semakin terlihat ketika eks napi tersebut menduduki jabatan yang cukup strategis di partai.
Di sisi lain, terdapat karakter masyarakat Indonesia yang cenderung pemaaf serta mudah lupa terhadap kejadian di masa lalu. Hal itu dinilai turut menjadi faktor yang mendorong bekas koruptor untuk kembali ke dunia politik.
Meski demikian, Khoirunnisa mengingatkan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 87/PUU-XX/2022 tentang mantan narapidana kasus korupsi yang baru bisa mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dalam pemilu setelah bebas lima tahun dari penjara. Putusan MK tersebut memberi jeda bagi bekas terpidana untuk bisa menjadi pejabat publik melalui pemilu.
”Putusan itu bisa menjadi salah satu upaya agar parpol bisa menjaring calon-calonnya dan menjadi saringan juga bagi pemilih,” terang Khoirunnisa.
Adapun peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, berpandangan, fenomena kembalinya eks napi kasus korupsi tersebut memperlihatkan parpol di Indonesia belum memiliki indikator yang berkaitan dengan integritas calon kader yang akan bergabung. Meski parpol memiliki otonomi untuk menyusun peraturan internalnya, mesti diingat bahwa keputusan yang dihasilkan oleh parpol akan menyangkut hajat hidup orang banyak.
”Misal, dalam konteks legislatif, keputusan parpol kerap kali dijadikan pertimbangan utama oleh kadernya yang duduk di parlemen. Maka, sebaiknya struktur parpol diisi orang yang tidak pernah bermasalah dengan hukum,” kata Kurnia.
Di sisi lain, kata Kurnia, tugas parpol adalah memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, termasuk dalam mengimplementasikan politik yang berintegritas. Namun, penerapan politik berintegritas akan menjadi rancu ketika parpol tersebut ternyata masih menerima bekas napi kasus korupsi. Terlebih, bekas napi kasus korupsi tersebut malah mendapatkan jabatan atau kedudukan dalam struktur internal parpol.
Hal itu semakin menegaskan sikap permisif parpol tidak hanya terhadap rekam jejak bekas napi kasus korupsi, tetapi juga terhadap perbuatan korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa. ”Ketika kader parpol tersangkut korupsi, tentu yang dirugikan salah satunya adalah parpol itu sendiri. Maka, sangat tidak masuk akal seseorang yang pernah merugikan kredibilitas parpol, tapi kemudian diterima kembali oleh parpol,” ujar Kurnia.
Memang, tidak ada aturan yang melarang bekas napi kasus korupsi untuk bergabung kembali ke dunia politik. Karena itu, kini semua tergantung kepada publik agar pandai-pandai menimbang. Bagaimana dengan Anda?