Komisi III DPR: Bongkar Dugaan Pencucian Uang Rp 349 Triliun di Kemenkeu
Komisi III mendukung langkah Komite TPPU untuk menelusuri setiap kasus di balik transaksi mencurigakan Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat meminta Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang membongkar setiap kasus di balik transaksi mencurigakan ratusan triliun rupiah yang berkaitan dengan Kementerian Keuangan dan melaporkannya secara periodik. Meski agregat transaksi, sumber data, dan bentuk penanganan terhadap setiap pegawai Kementerian Keuangan yang terlibat sudah dipaparkan, tidak ada penjelasan mengenai pelanggaran atau tindak pidana asalnya. Selain diperlukan sebagai pertanggungjawaban kepada publik, penelusuran itu juga dibutuhkan untuk mengejar kekayaan yang bisa dikembalikan kepada negara.
Setelah meminta penjelasan dalam dua kali rapat pada akhir Maret, Komisi III DPR kembali mengadakan rapat dengan Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang atau Komite TPPU di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (11/4/2023). Rapat ketiga yang membahas tentang transaksi mencurigakan sebesar Rp 349 triliun berkaitan dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) itu kali ini dihadiri Menkeu Sri Mulyani, yang juga anggota Komite TPPU. Klarifikasi dari Sri Mulyani telah ditunggu karena pada rapat sebelumnya ia berhalangan hadir.
Selain Sri Mulyani, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), yang juga Ketua Komite TPPU Mahfud MD, juga hadir dalam rapat tersebut. Begitu pula Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sekaligus Sekretaris Komite TPPU Ivan Yustiavandana.
Namun, rapat yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem Ahmad Sahroni selama tiga jam itu berakhir tanpa kesimpulan karena Mahfud MD dan Sri Mulyani harus meninggalkan rapat lebih awal. Rapat akan dilanjutkan kembali pada waktu yang belum ditentukan.
Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto mengatakan mendukung langkah Komite TPPU untuk menelusuri setiap kasus di balik transaksi mencurigakan ratusan miliar tersebut. Terungkapnya transaksi mencurigakan berdasarkan Laporan Hasil Analisis dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHA/LHP) PPATK memunculkan polemik tak hanya di publik, tetapi juga di Komite TPPU karena sempat ada perbedaan data yang dipaparkan kepada publik. Akan tetapi, komite telah melakukan konsolidasi dan rekonsiliasi untuk menuntaskan persoalan tersebut, salah satunya melalui rencana pembentukann tim gabungan atau satuan tugas terkait.
”Komisi III mendukung penuh keputusan untuk membuat satgas. Dalam setiap periode rapat, kami meminta satgas dan PPATK melaporkan perkembangan (penelusuran) itu sampai 300 laporan itu selesai,” kata Bambang.
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu menambahkan, laporan secara berkala penting agar DPR dan publik bisa memantau perkembangan satgas penelusuran transaksi mencurigakan itu. Dengan demikian, diharapkan semua pihak bisa memantaunya tanpa ada yang ditutup-tutupi.
Komisi III mendukung penuh keputusan untuk membuat satgas. Dalam setiap periode rapat, kami meminta satgas dan PPATK melaporkan perkembangan (penelusuran) itu sampai 300 laporan itu selesai.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman, menambahkan, saat ini yang dibutuhkan bukan lagi paparan data, melainkan sumber transaksi mencurigakan dan modus yang digunakan. Selama ini, baik Komite TPPU maupun Kemenkeu hanya memaparkan angka dan langkah-langkah tindak lanjut yang dilakukan. ”Kami ingin mendapatkan gambaran yang lebih jelas, apa saja transaksi yang disebut mencurigakan, sumbernya, apa modusnya,” ujarnya.
Tak hanya itu, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem Taufik Basari mengatakan, Komite TPPU juga perlu memperdalam penjelasan mengenai transaksi mencurigakan di Kemenkeu. Dari agregat transaksi Rp 349 triliun, seberapa besar yang sudah diproses baik secara administrasi di internal Kemenkeu maupun secara pidana oleh penegak hukum. Dari total dana tersebut, seberapa besar pula yang masih perlu untuk dikejar agar bisa dikembalikan ke negara.
Sudah ditindaklanjuti
Sehari sebelum menghadiri rapat di Komisi III, Komite TPPU mengadakan rapat tertutup di kantor PPATK, Jakarta. Rapat tertutup itu menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan data transaksi mencurigakan yang dipaparkan Menko Polhukam dan Menkeu. Hal itu kembali disampaikan di hadapan Komisi III.
”Tidak ada perbedaan data yang disampaikan oleh Ketua Komite TPPU dalam RDPU (rapat dengar pendapat umum) Komisi III DPR tanggal 29 Maret 2023 dengan yang disampaikan oleh Menkeu dalam RDPU Komisi XI DPR tanggal 27 Maret 2023 karena berasal dari sumber data yang sama, yaitu data agregat LHA/LHP PPATK 2009—2023,” kata Mahfud.
Namun, Kemenko Polhukam mencantumkan data agregat yang terbagi dalam tiga kluster, yakni seluruh nilai transaksi mencurigakan, baik yang melibatkan pegawai Kemenkeu, transaksi yang melibatkan pegawai Kemenkeu dan pihak lain, maupun transaksi terkait kewenangan Kemenkeu. Sementara itu, Kemenkeu hanya mencantumkan LHA/LHP yang diterima dan tidak mencantumkan LHA/LHP terkait Kemenkeu yang disampaikan langsung ke aparat penegak hukum (APH).
Polemik perbedaan data itu terjadi karena dalam rapat di Komisi III pada 29 Maret lalu Mahfud menyebut, dari total agregat transaksi mencurigakan sebesar Rp 349 triliun, transaksi yang melibatkan pegawai Kemenkeu mencapai Rp 35,5 triliun. Sementara itu, saat menghadiri rapat di Komisi XI, 27 Maret, Sri Mulyani mengatakan, bagian yang benar-benar terkait dengan pegawai Kemenkeu adalah Rp 3,3 triliun.
Selain itu, pemerintah juga akan membentuk satgas untuk mensupervisi tindak lanjut atas seluruh LHA/LHP PPATK. Satgas dimaksud juga akan mendorong untuk membangun kasus dari awal (case building) dengan memprioritaskan transaksi mencurigakan dengan nilai terbesar, yakni Rp 189 triliun.
Sri Mulyani menjelaskan, dari total 300 surat terkait LHA/LHP PPATK periode 2009—2023, sebanyak 200 di antaranya dikirimkan ke Kemenkeu. Dari 200 surat tersebut, 186 surat telah ditindaklanjuti. Hasil tindak lanjut itu mengakibatkan 193 pegawai Kemenkeu diberikan hukuman disiplin dan sembilan pegawai ditindaklanjuti oleh APH. Sementara itu, 100 surat lainnya, meski terkait dengan Kemenkeu, dikirimkan langsung oleh PPATK ke APH.
”Kemenkeu akan terus menindaklanjuti dugaan terjadinya tindak pidana asal (TPA) dan TPPU sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU serta bekerja sama dengan PPATK dan APH terkait,” kata Sri Mulyani.
Terkait dengan transaksi mencurigakan dengan nilai tertinggi, yang agregatnya mencapai Rp 189 triliun, Kemenkeu telah melakukan langkah hukum atas TPA terkait dan telah menghasilkan putusan pengadilan hingga peninjauan kembali (PK). ”Selanjutnya, Kemenkeu dengan PPATK dan APH lainnya di bawah koordinasi Komite TPPU memutuskan melakukan tindak lanjut bersama untuk langkah hukum selanjutnya,” ujar Sri Mulyani.