Survei LSI: Ganjar Teratas, tapi Elektabilitas Turun
Hasil survei Lembaga Survei Indonesia menunjukkan elektabilitas Ganjar Pranowo turun dari 27,1 persen pada Februari menjadi 19,8 persen. Pernyataannya terkait Tim Sepak Bola Israel U-20 ditengarai menjadi pemicunya.
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo masih berada di urutan teratas elektabilitas dalam simulasi 19 nama tokoh potensial calon presiden yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia atau LSI. Namun, jika dibandingkan survei sebelumnya, elektabilitas fungsionaris Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu turun. Pernyataannya menolak Tim Sepak Bola Israel U-20 ditengarai menjadi penyebab turunnya dukungan kepada Ganjar.
Hasil survei LSI pada 31 Maret-4 April yang dirilis, Minggu (9/4/2023), menunjukkan elektabilitas Ganjar sebesar 19,8 persen. Turun dibandingkan survei Februari yang mencapai 27,1 persen. Meski demikian, dalam simulasi 19 nama tokoh potensial calon presiden (capres), Ganjar masih berada di urutan teratas. Disusul Menteri Pertahanan, yang juga Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto di urutan kedua dan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan di urutan ketiga.
Dalam survei yang dilakukan melalui telepon dengan responden sebanyak 1.229 orang, elektabilitas Prabowo tercatat 19,3 persen, naik dibandingkan periode survei sebelumnya yang berada di angka 17,9 persen. Elektabilitas Anies juga menguat dari 17,2 persen pada survei Februari menjadi 18,4 persen.
”Elektabilitas tiga nama teratas sama kuat sehingga pada dasarnya tidak tahu siapa yang lebih unggul,” ujar Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan. Tingkat kepercayaan pada survei kali ini sebesar 95 persen dengan margin of error lebih kurang 2,9 persen.
Adapun pada simulasi tiga nama tokoh potensial calon presiden, hasil survei LSI merekam Prabowo unggul dengan tingkat keterpilihan 30,3 persen atau naik dari sebelumnya 26,7 persen. Begitu pula dukungan untuk Anies meningkat dari 24 persen di Februari menjadi 25,3 persen. Sementara dukungan untuk Ganjar turun signifikan dari 35 persen menjadi 25,3 persen.
Djayadi menengarai penurunan elektabilitas Ganjar salah satunya dipengaruhi sikapnya yang berujung pada pembatalan gelaran Piala Dunia U-20 di Indonesia. Ganjar yang menolak kedatangan Tim Nasional Israel membuat pendukungnya kecewa. Di sisi lain, elektabilitas Prabowo terus meningkat setelah mendapatkan sokongan dari Jokowi. Prabowo juga mulai mengubah cara bersosialisasi dengan menunjukkan bahwa ia dekat dengan rakyat.
Penurunan elektabilitas yang dialami Ganjar tidak lepas dari momentum politik. Tokoh potensial capres mesti sensitif terhadap isu agar tidak ditinggalkan pemilihnya.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Islam Internasional Indonesia Philips Jusairo Vermonte mengingatkan, penurunan elektabilitas yang dialami Ganjar tidak lepas dari momentum politik. Tokoh potensial capres mesti sensitif terhadap isu agar tidak ditinggalkan pemilihnya. Terlebih, pemungutan suara masih sekitar 10 bulan lagi sehingga kemungkinan masih ada momentum-momentum lain yang bisa mengubah elektabilitas. Peluang bagi Ganjar, Prabowo, dan Anies pun masih terbuka lebar dan berubah seiring kepiawaian dalam memanfaatkan momentum politik.
Ia mencontohkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat mulai muncul sebagai capres di Pilpres 2004 hanya memiliki elektabilitas sekitar 6 persen. Namun, semakin mendekati pemilu, Yudhoyono mampu memanfaatkan berbagai momentum dengan memberikan sikap dan pernyataan yang berdampak pada elektabilitasnya. ”Walaupun yang terjadi pada Ganjar saya kira hanya temporer, tokoh-tokoh harus bisa memanfaatkan momentum untuk meningkatkan elektabilitas,” katanya.
Peneliti Utama Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, menambahkan, survei LSI menggambarkan Ganjar menjadi kambing hitam atas kegagalan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20. Publik tidak menyalahkan Presiden Joko Widodo ataupun Menteri BUMN yang juga Ketua Umum PSSI Erick Thohir karena kepuasan terhadap keduanya cenderung stagnan, bahkan meningkat.
Ganjar, menurut Burhanuddin, harus terus mencari ceruk pemilih di luar pemilih Jokowi. Sebab saat ini, sebagian pemilih Jokowi sudah mulai beralih ke Prabowo setelah ada kode dukungan Jokowi kepada Menteri Pertahanan tersebut. Bagi Anies, narasi sebagai antitesis Jokowi yang digaungkan pendukungnya sejak lama justru membuatnya sulit mendapatkan dukungan dari pendukung pemerintah yang jumlahnya cukup besar.
Terkait wacana koalisi besar, Djayadi mengatakan, koalisi besar akan terbentuk jika sudah ada nama bakal calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) yang ditetapkan. Terlebih di Pilpres 2024, penentuan capres-cawapres itu menjadi faktor penting yang membentuk soliditas koalisi.
Sebagai sebuah magnet baru, koalisi besar pasti akan menghadapi tantangan dalam menentukan capres-cawapres. Oleh karena itu, diperlukan pihak yang bisa memecah kebuntuan jika parpol-parpol yang akan bergabung dalam koalisi besar menemui kebuntuan.
”Kalau misalnya Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR) jadi, keuntungan mereka punya deal maker. Jadi partai-partai itu kalau misalnya mereka tidak punya kesepakatan untuk menentukan capres-cawapres, maka ada yang bisa membuat kesepakatan, yaitu Presiden Jokowi,” ujar Djayadi.
Infografik Momen Pertemuan Elite Parpol Terkait Pembentukan Koalisi Besar
Meskipun koalisi besar secara formal belum menunjuk pemimpin secara resmi, menurutnya, secara politik pemimpin dari koalisi tersebut adalah Jokowi. Sekalipun Jokowi tidak memiliki peran dalam pencalonan presiden-wakil presiden, parpol yang mewacanakan koalisi besar sebagian besar merupakan parpol koalisi pendukung pemerintahan. Parpol di KIB dan KIR juga memiliki semangat untuk melanjutkan pemerintahan Jokowi.
”Jadi KIB dan KIR yang mewacanakan koalisi besar sekarang punya kekuatan atau keuntungan untuk bisa tetap solid. Karena ketika mereka memiliki masalah, ada pihak yang bisa mereka ikuti bersama-sama, yaitu Presiden Jokowi,” katanya.
Philips menambahkan, sikap PDI-P bisa menjadi penentu tercapainya wacana pembentukan koalisi besar. Sebagai parpol yang bisa mengusung capres-cawapres sendiri tanpa koalisi, PDI-P hingga saat ini belum menentukan sikap untuk berkoalisi atau maju sendiri.
Menurut dia, kesepakatan yang bisa dihasilkan antara Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri bisa mempermudah pembentukan koalisi besar. Sebab kedua parpol tersebut memiliki suara terbanyak di Pemilu 2019 dan hubungan di antara kedua ketum parpol itu sudah terjalin sejak lama. Jika kesepakatan keduanya sudah tercapai, gagasan pembentukan koalisi besar dengan tambahan PDI-P bisa diwujudkan.
Philips menilai Jokowi memang memiliki peran penting dalam koalisi besar. Namun, hubungannya dengan Megawati dalam beberapa tahun terakhir tidak terlalu mulus. Bahkan, ada kecenderungan munculnya kompetisi di antara keduanya, seperti yang terlihat dalam penegasan Megawati dalam beberapa kesempatan yang mengatakan penentuan capres merupakan kewenangan ketum.
”Jadi, koalisi besar apakah jadi atau tidak, jadi kuncinya ada di PDI-P. Bahwa Presiden Jokowi bisa menjadi deal breaker, itu juga tetap bergantung pada Megawati, dan mungkin hubungan antara Megawati dan Prabowo. Kalau di antara kedua ketum partai sudah terjadi kesepakatan mungkin akan mudah mewujudkan koalisi besar,” katanya.
Di sisi lain, Philips mengingatkan ada potensi parpol lain untuk batal bergabung dengan koalisi besar. Sebab koalisi akan sangat gemuk, termasuk diisi dua parpol yang memiliki suara terbanyak di pemilu sebelumnya. Parpol lain yang memiliki suara lebih rendah kemungkinan tidak merasa mendapatkan insentif elektoral dan pembagian yang lebih sedikit. ”Koalisi kan soal siapa mendapatkan apa,” katanya.
Peneliti Utama Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi meyakini tetap akan ada tiga poros koalisi di Pilpres 2024. Pertama poros Anies Baswedan yang didukung Koalisi Perubahan, poros Prabowo yang mendapatkan dukungan dari Jokowi, serta poros Ganjar Pranowo mengingat elektabilitas Puan Maharani kurang kompetitif. Poros koalisi kemungkinan bisa berkurang menjadi dua koalisi jika tren elektabilitas Anies terus menurun.