15 Tahun Bawaslu dan Tantangan Menjaga Kemandirian
Setelah 15 tahun dibentuk, Bawaslu diharapkan semakin kuat, mandiri, dan profesional. Bawaslu harus menjadi lembaga terdepan untuk menghadang upaya-upaya yang berpotensi mencederai demokrasi.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
Badan Pengawas Pemilu tepat berusia 15 tahun pada 9 April 2023. Ibarat manusia, Bawaslu baru memasuki usia remaja. Namun, di usianya yang masih belia itu, lembaga pengawas pemilu tersebut harus menghadapi berbagai tantangan. Tak hanya tuntutan agar semakin kuat secara kelembagaan, Bawaslu juga punya tantangan untuk tetap menjaga kemandirian dan independensi agar tak terseret arus politik.
Hari Ulang Tahun Ke-15 Bawaslu dirayakan dengan sederhana di kantor Bawaslu, Jakarta, Minggu (9/4/2023) petang. Selain komisioner Bawaslu, syukuran dihadiri pula oleh jajaran Komisi Pemilihan Umum, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, dan mantan komisioner Bawaslu. Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat yang juga diundang tidak hadir dalam perayaan itu. Adapun Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian diwakili oleh stafnya.
Saat memberikan sambutan, Ketua Bawaslu Rahmat Bagja mengatakan, usia ke-15 bagi manusia adalah tanda memasuki usia remaja atau pubertas. Namun, bagi sebuah lembaga seperti Bawaslu, usia itu adalah ujian menuju kedewasaan kelembagaan. Belajar dari pengalaman pengawasan sejak Pemilu 2014 hingga Pemilu 2024, Bawaslu harus bisa meningkatkan hasil pengawasan. Pengawasan harus bisa diperkuat karena sekarang Bawaslu di tingkat kabupaten dan kota pun statusnya sudah permanen, tidak lagi lembaga ad hoc.
”Pemenuhan kebutuhan fasilitas dan infrastruktur itu seharusnya bisa menjadi modal pengawasan. Dari sisi prosedur penanganan pelanggaran juga harus ditingkatkan untuk meletakkan fungsi pengawasan penyelenggaraan pemilu,” katanya.
Sementara itu, anggota DKPP, Ratna Dewi Pettalolo, mengharapkan, Bawaslu di usia 15 tahun bisa semakin kuat, mandiri, dan profesional. Sekarang, jajaran Bawaslu sudah permanen sampai kabupaten dan kota. Oleh karena itu, kekuatan Bawaslu harus terdepan dalam menghadang proses-proses yang berpotensi mencederai demokrasi.
”Tidak boleh ada kata menyerah dan takut. Keraguan terhadap Bawaslu harus dijawab dengan kerja-kerja nyata. Pengambilan keputusan menjadi kata kunci dalam penegakan hukum pemilu,” ujarnya.
Ratna Dewi juga menekankan agar Bawaslu bisa menjaga diri menghadapi tantangan pemilu yang tidak mudah. Bawaslu harus punya pendirian agar tidak mudah dibawa arus ke kiri dan ke kanan.
Tidak boleh ada kata menyerah dan takut. Keraguan terhadap Bawaslu harus dijawab dengan kerja-kerja nyata. Pengambilan keputusan menjadi kata kunci dalam penegakan hukum pemilu.
”Semua berharap Bawaslu bisa menjaga kemandirian. Pasukan sekarang sudah sampai di tingkat desa dan kelurahan. Ini harus bisa dijaga untuk mengawal proses pemilu yang tidak keluar dari koridor,” katanya.
Pekerjaan rumah
Bagja, yang merupakan komisioner Bawaslu selama dua periode itu, akan berupaya menjadikan Bawaslu sebagai badan pengawas yang paripurna. Sebab, saat ini kinerja Bawaslu selalu disorot oleh masyarakat. Salah satu contohnya adalah putusan Bawaslu yang memenangkan Partai Prima yang berujung perintah kepada KPU untuk melakukan verifikasi administrasi.
Selain itu, pekerjaan rumah Bawaslu untuk mengatur peserta pemilu melakukan sosialisasi di luar masa kampanye juga dinanti-nanti oleh masyarakat. Aturan sosialisasi penting dihadirkan karena dalam Pemilu 2024 masa kampanye relatif pendek, hanya 75 hari. Sementara pada Pemilu 2019, masa kampanye jauh lebih panjang, yakni selama tujuh bulan.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu sebenarnya tidak mengatur tahapan sosialisasi. Karena itu, Bawaslu masih menunggu KPU membuat payung hukum mengenai sosialisasi peserta pemilu.
”Sampai sekarang aturan pengawasan sosialisasi itu belum ada karena Bawaslu menunggu KPU untuk membuat peraturan KPU dulu. Kami sudah melakukan 4-5 kali pertemuan, tetapi aturan itu belum terealisasi,” ujarnya.
Bagja menjelaskan, KPU dan Bawaslu sudah empat hingga lima kali bermusyawarah, tetapi peraturan mengenai masa sosialisasi itu belum juga disepakati secara bulat. KPU dan Bawaslu baru menyepakati larangan peserta pemilu mengajak masyarakat untuk memilih di luar masa kampanye.
Komisioner KPU, Mochamad Afifuddin, menyampaikan, di usianya yang ke-15 itu, Bawaslu harus sudah bisa meletakkan fondasi yang luar biasa. Sinergi antar-kelembagaan harus dibangun untuk membangun mekanisme pengawalan tahapan pemilu yang berkesinambungan. KPU ingin bersinergi dan berkolaborasi dengan Bawaslu.
”Suasana kebatinan untuk memudahkan koordinasi dalam penyelenggaraan tahapan pemilu perlu dibangun,” katanya.