Presiden Komit Mendorong, tetapi Proses Stagnan di Pemerintah
RUU Perampasan Aset tinggal menunggu surat Presiden untuk mengantarkannya ke DPR. Namun, kendati Presiden menyatakan komitmennya, tiga pembantu Presiden masih belum menandatangani persetujuan draf RUU.
—
”RUU Perampasan Aset itu memang inisiatif dari pemerintah dan terus kita dorong agar itu segera diselesaikan oleh DPR. Dan ini prosesnya sudah berjalan,” ujar Presiden Jokowi kepada wartawan seusai meninjau Pasar Rawamangun dan Pasar Johar Baru, Jakarta, Rabu (5/4/2023).
Harapan Presiden juga dengan UU Perampasan Aset itu, hal itu akan memudahkan proses-proses utamanya dalam tindak pidana korupsi dan penyelesaiannya setelah terbukti karena payung hukumnya sudah jelas. Demikian pula efek jera dari tindakan korupsi tersebut.
RUU Perampasan Aset itu memang inisiatif dari pemerintah dan terus kita dorong agar itu segera diselesaikan oleh DPR. Dan ini prosesnya sudah berjalan.
Sayangnya, Presiden tak memaparkan lebih jauh upayanya untuk mempercepat surat Presiden yang semestinya diselesaikan untuk mengantarkan naskah RUU Perampasan Aset ke DPR. Sebelumnya, wartawan menanyakan tentang draf naskah RUU Perampasan Aset yang hingga kini masih belum diberi paraf oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo. Akibatnya, Surpres RUU Perampasan Aset belum dapat dikirim ke DPR.
Adapun tiga pemimpin instansi lainnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, serta Kepala PPATK Ivan Yustiavandana, sudah memberikan persetujuan.
Namun, meskipun tidak merinci terkait surat presiden atau surpres yang seharusnya segera diselesaikan dan ditandatangani tiga pimpinan kementerian dan lembaga tersebut, Presiden Jokowi sudah memberikan pengarahan terkait maksud dan tujuan RUU Perampasan Aset tersebut. ”Presiden sudah memberikan arahan agar tim pemerintah memperkuat komunikasi dan koordinasi dengan DPR dan kelompok pemangku kepentingan lainnya untuk memperjelas tujuan dan manfaat RUU tersebut,” ujar Deputi Protokol Pers dan Media Sekretariat Presiden Bey T Machmuddin.
Presiden sudah memberikan arahan agar tim pemerintah memperkuat komunikasi dan koordinasi dengan DPR dan kelompok pemangku kepentingan lainnya untuk memperjelas tujuan dan manfaat RUU tersebut.
Sejauh ini, DPR akan memasuki masa reses pada 14 April mendatang. Karena itu, RUU Perampasan Aset belum bisa dibahas oleh DPR dan baru bisa dilakukan di masa sidang berikut. Komitmen Presiden untuk memberantas korupsi dan mempercepat pembahasan RUU Perampasan Aset sebelum ini pernah disampaikan. Salah satunya saat memberikan keterangan pers di Istana Merdeka, Jakarta, 7 Februari lalu. Saat itu, selain mendorong RUU Perampasan Aset segera diundangkan, Presiden juga meminta RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal segera mulai dibahas.
Baca juga: Pembahasan RUU Perampasan Aset Mendesak
Di tangan Presiden
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari, mengatakan, bola terkait RUU Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana sebenarnya berada di tangan Presiden Jokowi. ”Harusnya surpres tidak membutuhkan persetujuan dari 3 lembaga tersebut, Supres bahkan dapat memerintahkan mereka (tiga lembaga) untuk melaksanakan inisiatif pembentukan UU tersebut,” ujar Feri saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (5/4).
Feri menegaskan bahwa RUU Perampasan Aset merupakan kewajiban negara pihak penanda tangan UNCAC (United Nations Convention Against Corruption). ”Kita sudah meratifikasi UNCAC dengan UU Nomor 7 Tahun 2006. Di dalam UNCAC ada kewajiban melaksanakan inisiatif perampasan aset kejahatan korupsi (Stollen Asset Recovery/STAR Initiative),” ucapnya.
RUU Perampasan Aset merupakan rangkaian UU yang berkaitan dengan UU Tipikor dan TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang). Tanpa kehadiran UU Perampasan Aset, upaya memberantas kejahatan luar biasa, seperti tipikor dan TPPU, tidak akan berlangsung maksimal.
Hal ini karena tujuan UU Perampasan aset adalah memiskinkan para koruptor dan pelaku kejahatan luar biasa lainnya. ”UU ini jauh lebih menakutkan bagi koruptor dan pelaku kejahatan luar biasa lainnya. Pelaku kejahatan tidak takut dipenjara, tetapi takut miskin,” ujarnya.
Peneliti Pusat Kajian AntiKorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yuris Rezha Kurniawan, menambahkan bahwa kebijakan mengenai perampasan aset hasil tindak pidana menjadi hal yang sangat diperlukan. Dalam beberapa kasus hukum, khususnya tindak pidana korupsi yang selama ini berjalan, pemerintah masih belum maksimal dalam merampas aset hasil kejahatannya.
Masih banyak pelaku korupsi yang masih bisa menikmati kekayaan hasil kejahatannya sekalipun telah dipidana. Selain itu, RUU Perampasan Aset ini juga akan mendukung kebijakan Indonesia agar lebih sesuai dengan mandat UNCAC sebagaimana telah diratifikasi.
”Masih banyak pelaku korupsi yang masih bisa menikmati kekayaan hasil kejahatannya sekalipun telah dipidana. Selain itu, RUU Perampasan Aset ini juga akan mendukung kebijakan Indonesia agar lebih sesuai dengan mandat UNCAC sebagaimana telah diratifikasi,” ujar Yuris.
Menurut Yuris, apabila Presiden atau pemerintah memang serius ingin mendorong pengesahan RUU Perampasan Aset, dukungan publik juga perlu diperhatikan. ”Mengingat beberapa waktu terakhir kepercayaan publik terhadap proses legislasi kita sedang melemah dengan berbagai praktik penyusunan undang-undang yang tidak partisipatif,” ujarnya.
Baca juga: RUU Perampasan Aset Tak Kunjung Dibahas
Pemerintah juga perlu membuka seluas mungkin keterlibatan publik dalam proses penyusunan RUU Perampasan Aset. Draf RUU terbaru versi pemerintah harus dipublikasikan sehingga publik mengetahui apa saja instrumen hukum yang didesain.
”Jangan sampai RUU yang sudah disiapkan justru melenceng dari semangat yang dibangun, hanya sekedar mengulang instrumen hukum yang sudah ada sebelumnya atau bahkan justru memperburuk aturan yang sudah berlaku, misalnya dalam UU Tipikor atau UU TPPU,” ucap Yuris.