Pemilu Rawan Picu Konflik, Penanganan Keamanan di Papua Mendesak Dievaluasi
Intensitas konflik di Papua diperkirakan akan meninggi pada saat pergelaran pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan kepala daerah (pilkada). Antisipasi perlu disiapkan untuk mencegah konflik.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO, KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
KOMPAS/FABIO M LOPES COSTA
Deklarasi pemilu damai di Papua ditandatangani oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum RI kala itu Juri Ardiantoro bersama 39 pasangan kandidat di 11 kabupaten kota. Kegiatan berlangsung di daerah wisata Khalkote Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, Sabtu (29/10/2016).
JAKARTA, KOMPAS — Gelaran pemilihan umum serentak, terutama pemilihan anggota legislatif dan pemilihan kepala daerah, menjadi salah satu faktor yang ditengarai memengaruhi terjadinya konflik di Papua. Karena itu, jelang pemilihan umum serentak pada 2024 mendatang, penanganan keamanan di Papua perlu dievaluasi secara menyeluruh.
Persoalan keamanan di Papua menjadi salah satu dari tiga agenda yang dibahas dalam rapat dengar pendapat antara Komisi I DPR dan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) Andi Widjajanto, di Kompleks Senayan, Jakarta, Selasa (4/4/2023). Dua agenda lain meliputi pembahasan mengenai kajian eskalasi politik Indonesia di 2023-2024, dan kajian atas kesiapan ketahanan nasional dalam menghadapi dinamika global. Rapat digelar secara tertutup sekitar tiga jam.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Gerindra, Yan Parmenas, saat ditemui seusai rapat, mengatakan, salah satu yang difokuskan dalam rapat adalah pembahasan kajian-kajian persoalan di Papua. Hal ini penting dibahas agar ke depan ada evaluasi menyeluruh terkait penanganan konflik di Papua.
Dalam rapat, dibahas sumber-sumber persoalan di Papua yang sampai saat ini masih menimbulkan intensitas konflik yang tinggi. Misalnya, penyanderaan pilot Selandia Baru, Philips Methrtens, yang ditahan kelompok kriminal bersenjata di Papua. Kemudian, juga masalah sinergisitas semua kementerian/lembaga, termasuk TNI/Polri, dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di Papua.
DOKUMENTASI POLDA PAPUA
Sebanyak 261 warga Yahukimo "menumpang" pesawat Hercules milik TNI-AU dari Bandara Nop Goliat, Yahukimo, Kamis (16/3/2023). Polda Papua membantah warga ini terbang ke Jayapura karena mengungsi, tapi dikarenakan keperluan lain yang mendesak. Selama sepekan terakhir, penerbangan komersial di Yahukimo terhenti setelah aksi teror penembakan pesawat Trigana Air.
Semua ini penting dievaluasi agar ke depan kegiatan seluruh kementerian/lembaga, serta operasi keamanan yang dilakukan TNI/Polri bisa terlaksana secara terpadu. Ia pun mengingatkan bahwa penanganan masalah konflik di Papua tidak bisa hanya mengedepankan operasi keamanan, tetapi lebih kepada penyelesaian masalah sosial dan kesenjangan di masyarakat. Kegiatan-kegiatan ilegal yang menimbulkan konflik di masyarakat juga perlu ditertibkan.
”Yang saya minta adalah bukan saja kita evaluasi dari sisi konflik yang terjadi di tingkat masyarakat, tetapi evaluasi dari sisi penanganan pemerintah, pendekatan TNI/Polri juga perlu dievaluasi. Karena berbagai macam pendekatan pembangunan dan kebijakan sudah dilakukan pemerintah pusat tetapi toh tidak berhasil juga. Berarti, kan, ada yang belum beres. Belum beres ini bukan hanya di masyarakat tetapi di pemerintah juga,” ujar Yan.
Untuk itu, Komisi I DPR berharap semua ini perlu dievaluasi menyeluruh dengan kajian-kajian secara detail dan strategis oleh Lemhannas. Lemhannas juga diharapkan bisa memberikan masukan-masukan kepada pemerintah untuk mencari formulasi penyelesaian akar konflik di Papua dengan baik serta mengkaji potensi-potensi konflik ke depan.
Ini, kan, soal perebutan simpati dari masyarakat itu memang tidak mudah di Papua. Kita bisa melakukan pola pemilihan dengan gaya kita di Ibu Kota. Tetapi, kita harus menyesuaikan dengan budaya orang setempat, misalnya budaya mereka noken, kita harus mengantisipasi jangan sampai noken menjadi perebutan dan kemudian menimbulkan konflik.
Penyelesaian akar konflik di Papua secara menyeluruh juga menjadi penting, apalagi jelang Pemilu 2024. Keamanan pemilu ini harus perlu dikoordinasikan dengan baik antara TNI/Polri dan pemerintah daerah setempat sehingga dibutuhkan pemetaan wilayah-wilayah mana yang rawan konflik.
”Kalau wilayah itu masuk kategori A, B, dan C, maka di-mapping juga, di kategori A itu kira-kira di kecamatan mana, desa mana, kampung mana, suku mana, harus dideteksi sampai detail seperti itu, sehingga bisa dicegah untuk melakukan pendekatan-pendekaran komunikasi, pendekatan sosial budaya, agama dan lain-lain, agar mencegah terjadi konflik pasca-pelaksanaan pemilu nanti, baik pemilihan legislatif, pemilihan presiden, maupun pemilihan kepala daerah,” ucap Yan.
Yan mengingatkan, di Papua, intensitas konflik diperkirakan akan meninggi pada saat pergelaran pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan kepala daerah (pilkada). Kontestasi pilpres, menurut dia, tidak terlalu memicu banyak konflik di Papua. Namun, semua itu patut diantisipasi. Sebab, jika tidak, mereka bisa saling bertengkar bahkan membunuh antara pendukung yang satu dan pendukung yang lain.
”Karena saya pikir, ini, kan, soal perebutan simpati dari masyarakat itu memang tidak mudah di Papua. Kita bisa melakukan pola pemilihan dengan gaya kita di ibu kota. Tetapi, kita harus menyesuaikan dengan budaya orang setempat, misalnya budaya mereka noken, kita harus mengantisipasi jangan sampai noken menjadi perebutan dan kemudian menimbulkan konflik,” tutur Yan.
KORNELIS KEWA AMA
Anggota DPR Yan Parmenas
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar Bobby Adhityo Rizaldi sepakat, diperlukan evaluasi terhadap penanganan keamanan di Papua. Evaluasi kian mendesak karena konflik kekerasan di Papua tidak pernah berkurang. ”Alih-alih berkurang, penyerangan (terhadap warga sipil) makin lama justru semakin banyak,” ujarnya.
Menurut Bobby, salah satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah soal peningkatan jumlah personel keamanan, terutama di obyek vital negara. Berdasarkan catatan Lemhannas, masih ada kekurangan personel di sejumlah obyek vital, sehingga pengamanan tak optimal. Selain itu, intensitas patroli petugas ke sejumlah daerah rawan konflik juga perlu ditingkatkan, terutama jelang pemilu serentak 2024.
Mengacu kajian Lemhannas, lanjut Bobby, konflik kekerasan di Papua juga turut dipengaruhi oleh proses elektoral. Meski tidak menjelaskan secara detail, ia mengungkapkan bahwa lokasi konflik kekerasan berkorelasi dengan keberadaan petahana kepala daerah yang kembali memenangi pemilihan kepala daerah (Pilkada). ”Jadi, aspek politik elektoral itu berpengaruh terhadap kekerasan yang terjadi di Papua,” katanya.
Dasar hukum
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Tubagus Hasanuddin menambahkan, pemerintah harus memperhatikan kedudukan hukum pelibatan TNI dalam penanganan keamanan di Papua. Selama ini, prajurit terus dikirim dan dilibatkan dalam operasi di Papua, tetapi itu semua dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas.
REBIYYAH SALASAH
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Mayor Jenderal (Purn) TB Hasanuddin, saat ditemui Kamis (17/11/2022), di Kompleks Parlemen, Jakarta.
Ia melanjutkan, jika persoalan di Papua dianggap sebagai persoalan separatisme, pelibatan TNI harus mengacu pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang salah satunya membahas soal operasi militer selain perang (OMSP). Dalam pasal dimaksud, pelaksanaan OMSP dilakukan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Akan tetapi, pemerintah tidak pernah membuat kebijakan dan keputusan politik lalu meminta persetujuan dari DPR terkait hal tersebut.
Opsi lain, kata Hasanuddin, jika persoalan keamanan di Papua dianggap sebagai soal terorisme, pemerintah perlu mengacu ke Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang. Dalam UU tersebut, TNI bisa dilibatkan dalam pemberantasan terorisme dengan dasar peraturan presiden (Perpres). Namun, hingga saat ini belum ada Perpres terkait.
”Dari dua dasar hukum yang jadi landasan operasi militer di Papua, belum ada yang dibuat oleh pemerintah,” kata Hasanuddin.
Ia menambahkan, tanpa dasar hukum, pelibatan TNI dalam penanganan keamanan di Papua dapat dikatakan tidak sah. Itu juga berimplikasi pada persoalan anggaran yang harus dikeluarkan TNI. Selama ini, berdasarkan informasi yang ia himpun, TNI harus menggunakan biaya pelatihan prajurit untuk membiayai operasi di Papua.
ANTARA/IWAN ADISAPUTRA
(Ilustrasi) Prajurit TNI bersiap menaiki helikopter menuju Kabupaten Nduga, Papua, Rabu (5/12/2018). Selain mengevakuasi pekerja PT Istaka Karya (Persero) yang pada hari Minggu lalu diserang kelompok kriminal bersenjata ketika mereka sedang membangun jalur Trans-Papua di Nduga, tim gabungan TNI-Polri juga berupaya mengejar pelaku penyerangan.
”Artinya, pemerintah harus membuat keputusan atau kebijakan politik negara. Caranya, presiden datang ke DPR meminta persetujuan untuk melaksanakan operasi militer di Papua atau jika persoalan di Papua dianggap sebagai gerakan terorisme, harus ada perpres-nya,” ujar Hasanuddin.
Mitigasi konflik
Gubernur Lemhannas Andi Widjajanto enggan mengungkapkan hasil dan substansi rapat bersama Komisi I DPR. Sebab, rapat telah diputuskan oleh pimpinan Komisi I DPR untuk dilangsungkan secara tertutup.
Namun, Andi tak memungkiri bahwa salah satu yang dibahas dalam rapat tersebut ialah tingkat kerawanan serta antisipasi eskalasi konflik yang akan terjadi jelang Pemilu 2024 mendatang, salah satunya di wilayah Papua. Terkait bagaimana perkiraan eskalasi konflik dan bagaimana upaya mengantisipasinya, lagi-lagi Andi juga enggan berkomentar lebih jauh.
”Yang terpenting, salah satu metode yang kami pakai memang skenario terburuk. Tugas kami, setelah memetakan skenario terburuk adalah mencari cara untuk mencegahnya. Mitigasi-mitigasinya juga sudah disiapkan. Itu tadi disampaikan (dalam rapat). Tinggal nanti kami di pemerintah melanjutkan kajian sesuai dengan tadi ada beberapa arahan-arahan pendalaman dari teman-teman Komisi I DPR,” ujar Andi.