MK Bentuk Tim Laksanakan Rekomendasi Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi sudah membentuk tim renvoi, tim pembinaan panitera, tim perumusan SOP perbaikan risalah dan perbaikan putusan, serta tim penguatan teknologi informasi.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi membentuk beberapa tim untuk menindaklanjuti sejumlah rekomendasi dari Majelis Kehormatan MK atau MKMK terkait kasus pengubahan frasa di dalam putusan 103/PUU-XX/2022 terkait uji materi UU MK. Tim-tim tersebut berjalan di bawah koordinasi Wakil Ketua MK Saldi Isra.
Juru bicara MK yang juga hakim konstitusi, Enny Nurbaningsih, mengungkapkan, pembentukan beberapa tim tersebut dilakukan agar tiap tim dapat bekerja dengan lebih fokum. Beberapa hakim bertugas sebagai pengaruh tim. Adapun tim-tim tersebut antara lain tim renvoi putusan 103/2022, tim pembinaan panitera, tim perbaikan standard operating procedure (SOP) pembuatan risalah dan SOP perbaikan putusan, serta tim penguatan teknologi informasi.
”Tim renvoi sudah bekerja dan sudah menyampaikan ke pihak-pihak (terkait) perbaikan dimaksud. Tim pembinaan panitera sedang menyiapkan teknisnya sesuai UU Kepegawaian karena panitera adalah ASN (aparatur sipil negara). Sedang digagas juga dalam pembahasan tim apakah MKMK ke depan bisa menjangkau tidak hanya hakim, tetapi juga panitera atau pegawai,” ungkap Enny saat dikonfirmasi, Minggu (2/4/2023).
Sebelumnya, pada 20 Maret 2023, MKMK yang diketuai oleh mantan hakim konstitusi, I Dewa Gede Palguna, serta anggota Enny Nurbaningsih dan Sudjito telah memutus kasus pengubahan frasa di dalam putusan 103/2022. MKMK menjatuhkan hukuman sanksi teguran tertulis kepada hakim konstitusi Guntur Hamzah yang memerintahkan pengubahan frasa tersebut.
Selain menjatuhkan sanksi, MKMK juga memberikan sejumlah rekomendasi, yaitu membuat SOP dalam hal hakim hendak mengusulkan perubahan terhadap putusan yang sedang dibacakan dalam sidang pengucapan putusan, SOP penyusunan risalah sidang, dan penyempurnaan substansi peraturan MKMK. Selain itu, segera membentuk MKMK permanen, mempertahankan penggunaan teknologi peradilan yang modern, renvoi terhadap putusan 103/2022, dan membina lebih lanjut Panitera MK.
”Untuk perekrutan MKMK permanen (akan) dilakukan setelah revisi PMK MKMK. (Saat ini) Sudah ada tim juga yang akan menyiapkan proses seleksinya,” ujar Enny.
Bebas tugaskan
Pengajar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Allan FG Wardhana, mengungkapkan, pihaknya menunggu MK melaksanakan rekomendasi dari MKMK. Dua hal yang ia tunggu, yakni pembuatan SOP dan pembinaan terhadap Panitera MK. ”Sejauh mana langkah-langkah pembinaan yang dilakukan,” kata Allan.
Menurut dia, panitera MK yang saat ini dijabat oleh Muhidin memiliki dua pilihan, yaitu mundur atau diberhentikan karena pengubahan frasa dalam putusan 103/2022 dinilai sebagai pelanggaran prinsip integritas.
”Kalau tidak mau mundur, ya sanksinya pakai sanksi kepegawaian. Perlu dipertimbangkan untuk diberhentikan status kepegawaiannya alias dibebastugaskan,” ujarnya.
Mundur atau diberhentikan bukan aib atau cela. Menurut Allan, hal itu merupakan bentuk tanggung jawab dan komitmen terhadap sumpah kepegawaian yang akan selalu taat terhadap konstitusi dan peraturan perundang-undangan.
Sebelumnya, mantan Ketua MK Jimly Ashiddiqie juga menilai, panitera MK harus turut bertanggung jawab dalam kasus pengubahan putusan 103/2022. Sebab, panitera MK-lah yang memiliki kewenangan dalam pengadministrasian perkara.
”Bagi saya, prinsip (yang harus dipegang teguh adalah) the rule of law, not of man. Itu tanggung jawab panitera, kasus yang mengubah putusan kemarin. Enggak boleh. (Dia) Lebih berat (kesalahannya) dari hakimnya. Mestinya gitu. Karena tanggung jawab administrasi perkara itu ada di panitera,” kata Jimly dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi III DPR, Kamis (30/3/2023).
Sementara itu, mengenai SOP pengubahan putusan saat sedang dibacakan, Allan memberikan sejumlah catatan. Dalam SOP tersebut, perlu diatur mengenai siapa saja yang boleh mengusulkan perubahan putusan dan harus disetujui oleh siapa saja. Selain itu, MK juga harus memberitahukan kepada pihak-pihak berperkara sehingga perubahan tidak hanya diketahui oleh internal MK semata.
”Dan prinsipnya, perubahan terhadap putusan jangan sampai justru mengubah makna atau arti putusan aslinya,” tegas Allan.
Selain itu, SOP tersebut juga harus mengatur tentang batasan-batasan dalam situasi dan keadaan apa perubahan dapat dilakukan. Perlu pula kontrol antarsesama hakim konstitusi. Pemberitahuan terhadap pihak beperkara juga penting untuk mencegah timbulnya kecurigaan atau kesan ada penyelundupan hukum.