Pekerjaan Rumah Pascaputusan Guntur Hamzah
Terungkapnya pelaku pengubahan frasa pada putusan MK jadi pekerjaan rumah atau PR untuk menjaga integritas konstitusi. Hal itu termasuk menyiapkan prosedur yang standar saat hakim mengusulkan perubahan putusan.
Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau MKMK atas kasus pengubahan frasa di dalam putusan 103/PUU-XX/2022 yang dilakukan Hakim Konstitusi Guntur Hamzah tanpa persetujuan dari hakim-hakim lainnya setidaknya mengungkap ”dapur” bagaimana sebuah perkara dikelola oleh Kepaniteraan MK. Putusan tersebut juga menguak banyaknya proses penanganan perkara yang belum memiliki regulasi yang standar.
Seperti diketahui, MKMK memutuskan bahwa Guntur Hamzah melanggar prinsip integritas dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi Sapta Karsa Hutama dan dijatuhi sanksi berupa teguran tertulis. MKMK juga merekomendasikan agar Panitera MK Muhidin ”dibina” karena berkontribusi dalam kasus pengubahan frasa putusan tersebut.
Berdasarkan putusan MKMK, peristiwa pengubahan frasa tersebut terjadi pada saat sidang pembacaan putusan berlangsung pada 23 November 2022. Ketika Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams tengah membacakan putusan pada bagian kedudukan hukum pemohon, Guntur yang duduk di kursi hakim paling ujung memanggil Panitera MK Muhidin. Jarum jam ketika itu menunjuk pada pukul 15.24 WIB. Guntur menyampaikan usulan perubahan atas frasa ”dengan demikian” pada halaman 51 menjadi frasa ”ke depan” dengan cara menandai lewat coretan. Ini sesuai dengan rekaman CCTV di ruang persidangan utama MK. Ada jeda waktu dari saat Guntur menyampaikan usulan dengan saat akhirnya frasa yang diusulkan diubah itu dibacakan oleh Saldi Isra pada 15.50 WIB.
Dalam jeda waktu tersebut, Guntur—dalam pengakuannya ke MKMK—meminta Muhidin untuk menyampaikan usulannya tersebut kepada hakim konstitusi lainnya, termasuk Arief Hidayat. Namun, Muhidin hanya mendatangi Arief selaku ketua panel dalam perkara tersebut dan tidak mendatangi hakim-hakim lain termasuk drafter putusan, Saldi Isra. Menurut Muhidin, dirinya hanya diminta untuk meminta persetujuan dari Arief Hidayat tanpa menyebutkan hakim lainnya. Padahal, sepengetahuan Muhidin, Arief tidak ikut memutus perkara tersebut karena pada saat rapat permusyawaratan hakim (RPH) pengambilan putusan Arief sedang dinas luar.
Baca Juga: Terbukti Ubah Putusan MK, Guntur Hamzah Dijatuhi Sanksi Teguran Tertulis
Tak hanya keterangan Guntur dan Muhidin yang tak bersesuaian, keterangan Muhidin dan Arief Hidayat pun juga tak sinkron. Muhidin mengaku bahwa perubahan itu sudah mendapat persetujuan dari Arief melalui pernyataannya, ”Oke, silakan, tidak masalah.” Namun, menurut keterangan Arief, ia mengatakan, ”Terserah, saya, kan, tidak ikut memutus.”
Dokumen coretan dari Guntur tersebut kemudian diperlihatkan Muhidin kepada panitera pengganti Nurlidya Stephanny Hikmah untuk dilakukan perubahan naskah putusan. Selanjutnya, Muhidin menyerahkan kembali dokumen berisikan coretan usulan perubahan tersebut kembali ke Guntur tanpa memberitahukan kepada Saldi.
Oleh Nurlidya, usulan perubahan tersebut diteruskan ke Muhammad Ramlan Aminuddin, korektor yang menginput koreksi dari hakim, panitera, dan/atau panitera pengganti saat berlangsung sidang pengucapan putusan. Koreksi tersebut kemudian disimpan dalam file putusan akhir, yang kemudian digunakan oleh perisalah untuk menyusun risalah sidang dengan cara menyalin langsung dari file putusan yang sudah dikoreksi.
Terjadilah perubahan frasa di dalam putusan 103/PUU-XX/2022 yang oleh MKMK dinilai telah menyebabkan terjadinya perubahan makna secara substantif terhadap putusan terkait.
Inilah mengapa akhirnya risalah persidangan putusan berbeda dengan apa yang dibacakan di persidangan seperti dapat dilihat publik pada kanal Youtube MKRI.
Maka, terjadilah perubahan frasa di dalam putusan 103/PUU-XX/2022 yang oleh MKMK dinilai telah menyebabkan terjadinya perubahan makna secara substantif terhadap putusan terkait. Artinya, perubahan frasa itu menegasikan pertimbangan hukum yang diuraikan pada bagian sebelumnya.
Baca Juga: Substansi Putusan MK Diduga Diubah Setelah Dibacakan
Perbaikan
Dalam pertimbangannya, MKMK menyatakan bahwa praktik pengubahan putusan saat dibacakan di persidangan merupakan praktik yang lazim di MK. Perubahan itu meliputi perbaikan kesalahan teknis pengetikan (clerical error) ataupun bisa juga perubahan substansi yang harus disetujui oleh hakim lain, atau setidak-tidaknya disetujui oleh hakim drafter putusan terkait.
Yang kemudian menjadi sebuah catatan kritis oleh MKMK adalah tidak ada prosedur operasi standar (standar operating procedure/SOP) mengenai praktik lazim ini. MKMK merekomendasikan perlunya SOP pada saat hakim konstitusi hendak mengusulkan perubahan putusan yang sedang dibacakan.
Begitu pula dengan SOP pembuatan risalah persidangan pembacaan putusan yang perlu diatur dengan regulasi yang pasti. Selama ini, risalah tersebut dibuat dengan cara menyalin langsung dari file putusan. Cara menyalin langsung digunakan untuk menghindari kesalahan saat menranskrip dari rekaman audio persidangan. Cara berbeda digunakan untuk pembuatan risalah persidangan biasa (nonputusan), dengan mendasarkan pada rekaman audio.
Dua hal tersebut adalah pekerjaan rumah yang harus segera dirumuskan oleh MK, memperbaiki regulasi-regulasi di bidang kepaniteraan.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang Feri Amsari mengungkapkan, dua rekomendasi di atas seharusnya dijawab dengan memperjelas hukum acara di MK. ”Sahkan segera UU Hukum Acara MK. Kalau tidak, pedoman beracaranya suka-suka hakim,” katanya.
Baca Juga: Pemberhentian Aswanto Jadi Preseden Buruk
Ia juga mempertanyakan bagaimana mungkin putusan yang sudah melalui rapat permusyawaratan hakim (RPH) dapat diubah. Lantas, apakah hakim yang baru dapat mengubah putusan hakim yang digantikan. ”Padahal, RPH putusan telah diambil,” ucapnya.
Seperti diketahui, kasus pengubahan frasa di dalam putusan 103/PUU-XX/2022 tersebut terjadi hanya beberapa jam setelah Guntur dilantik menjadi hakim konstitusi. Sidang pembacaan putusan tersebut juga menjadi pengalaman sidang pertama Guntur. Dalam konteks itulah, Guntur mengaku belum memahami prosedur pengubahan putusan sebab masih hakim baru.
Persoalan apakah etis ataukah tidak Guntur mengusulkan perubahan frasa dalam putusan 103/PUU-XX/2022 sebenarnya juga dibahas oleh MKMK. Menurut MKMK, meskipun punya kewenangan mengusulkan perubahan karena statusnya sudah menjadi hakim konstitusi, Guntur seharusnya tidak mencoret atau mengubah putusan 103/PUU-XX/2022 sebab tidak ikut memutus perkara tersebut. Bahkan, saat perkara diputus, Guntur belum menjadi hakim konstitusi.
Persoalan apakah etis ataukah tidak Guntur mengusulkan perubahan frasa dalam putusan 103/PUU-XX/2022 sebenarnya juga dibahas oleh MKMK.
Ia juga seharusnya menanyakan dulu prosedur mengusulkan perubahan di dalam naskah putusan, mengingat statusnya sebagai hakim baru yang pertama kali mengikuti persidangan.
Secara keseluruhan, Feri menilai ada masalah dalam logika putusan MKMK. Misalnya, Guntur terbukti melanggar prinsip integritas dalam Kode Etik. Padahal, MKMK tahu bahwa integritas merupakan syarat seorang hakim konstitusi seperti diatur di dalam Pasal 15 Ayat (1) UU MK. ”Kalau kena di syarat, seharusnya putusannya diberhentikan,” kata Feri.
Berkaitan dengan praktik pengubahan putusan saat sedang dibacakan merupakan sesuatu lazim asalkan diketahui oleh seluruh hakim. ”Pertanyaannya, ini, kan, tidak diketahui oleh seluruh hakim. Ya, tidak lazim, dong. Kenapa kata-katanya harus lazim, ya?” tanya Feri.
Revisi peraturan
Tugas MKMK yang dipimpin oleh mantan hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna telah berakhir pada 20 Maret lalu. MKMK ini memang didesain sebagai lembaga ad hoc yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan kasus pengubahan frasa dalam putusan 103/PUU-XX/2022.
Terkait dengan hal tersebut, MKMK merekomendasikan kepada pimpinan MK saat ini untuk segera membentuk MKMK permanen sesuai dengan amanat Pasal 27A Ayat (2) UU No 7/2020 tentang MK. Pimpinan MK diminta untuk memperhatikan pengisian MKMK tersebut dengan memperhatikan integritas orang-orang yang akan ditunjuknya.
Selain itu, MKMK juga merekomendasikan agar Peraturan MK tentang MKMK diperbaiki. Perbaikan itu meliputi substansinya, termasuk tata cara penanganan perkara yang merupakan hasil temuan (bukan laporan).
Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie secara tegas mengusulkan perlunya revisi ulang Peraturan MK tentang MKMK. Revisi tersebut dapat menjadi momentum untuk memperbaiki aturan etika materiil dan formilnya. Etika materiil, menurut Jimly, dapat diperluas sesuai perkembangan zaman, seperti misalnya menyangkut lingkungan pergaulan hakim.
”Hakim itu kerja intelektual, bergaulnya dengan intelektual/ilmuwan, bukan dengan politisi dan bukan dengan penguasa,” kata Jimly seperti dikutip dari putusan MKMK.
Jimly juga menandai tentang pengaturan sanksi yang rentangnya terlalu lebar. Di dalam Peraturan MK tentang MKMK, hanya ada tiga jenis sanksi yang dikenal, yaitu teguran lisan, teguran tertulis, dan pemberhentian tidak dengan hormat. Bagi Jimly, perlu juga sanksi pemberhentian dengan hormat atau dengan catatan atau diberhentikan sementara dengan berbagai ketentuan. Atau, sanksi peringatan keras.
Pascaputusan MKMK dalam kasus pengubahan frasa putusan, MK punya pekerjaan rumah yang besar. Tindak lanjut atas putusan MKMK ini sudah pasti ditunggu publik. Publik yang sebagian tak puas dengan putusan MKMK tentu akan menjadi semakin kecewa jika tidak ada upaya perbaikan dari internal lembaga peradilan konstitusi tersebut.
Selain itu, ada baiknya sentilan dari MKMK diingat kembali. Bahwasannya, Sapta Karsa Hutama bukan sekadar kumpulan kata-kata tak berjiwa. ”Sebagai Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, Sapta Karsa Hutama disusun dari titik tolak kesadaran bahwa citra peradilan dan kepercayaan masyarakat terhadap kekuasaan kehakiman yang merdeka, sebagai benteng terakhir dari upaya penegakan hukum dan keadilan, sangat ditentukan integritas pribadi, kompetensi, serta perilaku hakim itu sendiri.”
Salam integritas!