Pendidikan Pancasila Dinilai Belum Mampu Menarik Pelajar dan Mahasiswa
Hingga kini, mahasiswa dan pelajar masih rawan terpapar radikalisme. Ini bukti Pancasila belum sepenuhnya menarik untuk dihayati. Lantas, apa permasalahannya?
Oleh
NINA SUSILO
·3 menit baca
TANGKAPAN LAYAR
Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila/CEO Silapedia Syaiful Arif menjelaskan pemikiran Prof Notonagoro terkait hakikat Pancasila dalam kajian pemikiran Pancasila yang diselenggarakan secara daring, Sabtu (25/3/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan Pancasila secara formal dinilai gagal karena belum bisa membuat pelajar dan mahasiswa tertarik dan tercerahkan. Jika Pancasila dipahami pelajar dan mahasiswa di Indonesia, semestinya radikalisme sulit untuk berkembang di Indonesia.
Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila/CEO SilapediaSyaiful Arif menjelaskan pengenalan Pancasila yang lepas dari tradisi pemikiran Pancasila membuat Pancasila tidak menarik dan tidak mencerahkan. Karena itu, pendidikan Pancasila secara formal semestinya tidak lepas dari filsafat pemikiran Pancasila.
”Menurut saya, pendidikan Pancasila secara formal gagal. Kenapa? Karena Pancasila tidak dikenalkan sebagai khazanah pemikiran, khazanah kebijaksanaan sehingga kita tidak tertarik dengan Pancasila dan tidak tercerahkan,” tutur Syaiful dalam Kajian Pemikiran Pancasila yang diselenggarakan secara daring oleh Lembaga Studi Agama Islam dan Filsafat, Silapedia, dan Program Studi Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina, Sabtu (25/3/2023) sore.
Pancasila tak bisa dilepaskan dari tradisi pemikirannya.
Hal itu disampaikan Syaiful menjawab pertanyaan Srie Muldrianto, salah satu peserta Kajian Pemikiran Pancasila tersebut. Dalam sesi tanya jawab, Srie menanyakan bagaimana pembelajaran Pancasila ke depan tanpa dilandasi filsafat, apakah itu kontradiktif. Dia juga menyampaikan bahwa di daerah ada banyak guru pendidikan kewarganegaraan yang semestinya mengajarkan Pancasila, tetapi malah mengajarkan radikalisme.
Akibat pengenalan Pancasila yang tidak menarik dan tidak mencerahkan tersebut, menurut Syaiful, kendati pendidikan Pancasila diberikan di sekolah dan perguruan tinggi, manfaatnya kurang terasa. Bahkan, radikalisme masih berkembang.
Oleh karena itu, menurut Syaiful, Pancasila tak bisa dilepaskan dari tradisi pemikirannya. Salah satu pemikiran mengenai Pancasila disumbangkan Prof Notonagoro, Guru Besar Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang menulis banyak buku mengenai Pancasila baik di masa Orde Lama maupun di masa Orde Baru.
Mural bertema Pancasila tergambar di sekitar permukiman warga di kawasan Pinang, Kota Tangerang, Banten, Sabtu (5/6/2021). Indonesia memiliki keragaman suku, budaya, bahasa, dan agama yang harus dijaga dan dirawat bersama.
Dalam pemaparannya, Syaiful menjelaskan epistemologi yang digunakan Notonagoro dalam memahami Pancasila. Notonagoro merumuskan hakekat Pancasila secara ilmiah yang kemudian disebut sebagai eka-Pancasila. Dalam pendapat Notonagoro ini, Indonesia bukan memiliki lima dasar negara, melainkan satu dasar negara yang terdiri atas lima prinsip yang menjadi satu.
Eka-Pancasila menjelaskan bahwa ada kesatuan dari semua sila Pancasila. Dalam satu sila, terdapat sila-sila yang lain. Misalnya, pada sila Ketuhanan yang Maha Esa terdapat makna ketuhanan yang berkemanusiaan, berkebangsaan, demokratis, dan berkeadilan sosial. Pada sila kemanusiaan, juga terdapat makna kemanusiaan yang berketuhanan, berkebangsaan, demokratis, dan berkeadilan sosial.
”Ini sebuah rumusan epistemologi yang tepat karena seperti inilah Pancasila sebagai eka-Pancasila atau dalam istilah Soekarno, pancatunggal,” tutur Syaiful.
Dengan epistemologi ini, pemahaman Pancasila lebih mudah. Sebab, sistem ini tidak bergantung pada pendekatan yang digunakan Soekarno, Hatta, Mohammad Yamin, Ruslan Abdulgani, Orde Baru, ataupun Orde Lama.
Sumbangan lainnya dari Notonagoro adalah merumuskan kaidah fundamental negara pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang di dalamnya terdapat lima sila Pancasila. Dalam buku Notonagoro, Berita Pikiran Ilmiah tentang Kemungkinan Djalan Keluar dari Kesulitan Mengenai Pantjasila sebagai Dasar Negara RI (1959), disebutkan Pembukaan UUD 1945 sebagai pokok kaidah fundamental negara (staatfundamentalnorm).
Sebab, pembukaan itu ditentukan oleh pembentuk negara, lahir sebagai kehendak pembentuk negara, dan memuat dasar-dasar negara. Selain itu, Pembukaan UUD disahkan terlebih dulu oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Karena itu, Pembukaan UUD 1945 terpisah dan lebih tinggi daripada batang tubuhnya.
Mural yang berisi salah satu petikan Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tergambar di Jalan Raya Bogor, Depok, Jawa Barat, Rabu (28/7/2021). UUD 1945 merupakan hukum dasar tertulis yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945. UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi yang melandasi seluruh produk hukum di Indonesia.
Sumbangan Notonagoro
Notonagoro menuliskan, ”Dengan Pembukaan UUD 1945 sebagai pokok kaidah negara yang fundamental, maka mungkinlah disusun suatu tertib negara (state order) dan suatu tertib hukum (legal order) bagi negara yang merupakan dasar, rangka, dan suasana hidup kenegaraan kita...”
Pemikiran Notonagoro ini pun digunakan saat Konstituante akan mengganti Undang-Undang Dasar Sementara. Pada 12 November 1957, politisi Partai Nasional Indonesia (PNI), Datoe Poetrawati, mengatakan, ”Konstituante alat perlengkapan negara atas kekuasaan UUD, bukan pembentuk negara.” Karena itu, Pembukaan UUD 1945 sebagai pokok kaidah negara tak diubah.
Hal tersebut, kata Syaiful, adalah sumbangan Notonagoro dalam filsafat hukum Pancasila. ”Notonagoro telah menetapkan keabadian Pancasila dalam ilmu hukum,” ujarnya.
Namun, kata Syaiful, Notonagoro memiliki dua kelemahan. Pertama, penjelasan ontologi Pancasila dinilai kurang sukses. Notonagoro menyebut manusia sebagai inti isi mutlak Pancasila. Sebab, yang berketuhanan, berkemanusiaan, berkebangsaan, dan berdemokrasi, serta berkeadilan sosial adalah manusia.
Notonagoro telah menetapkan keabadian Pancasila dalam ilmu hukum.
Dalam hal ini, Syaiful memiliki pendapat berbeda. Menurut dia, yang berketuhanan, berkemanusiaan, dan seterusnya adalah negara. Sebab, negaralah yang melindung hak asasi manusia dalam bertuhan, berdemokrasi, dan lainnya.
Kelemahan Notonagoro kedua yang disebutkan Syaiful adalah upaya menghapus Soekarno dari sejarah kelahiran Pancasila di masa Orde Baru. Di masa Orde Lama, seperti saat Notonagoro memimpin Senat UGM memberikan gelar doktor honoris causa kepada Soekarno pada 19 September 1951, dia menyebut Bung Karno sebagai pencipta Pancasila dalam sifat materiilnya.
Soekarno sendiri dalam pidatonya di acara pemberian gelar tersebut menampik disebut sebagai pencipta Pancasila. Soekarno hanya menyebut dirinya sebagai perumus Pancasila dan mengutarakan perasaan rakyat Indonesia.
Syaiful mengatakan, selain karena kerendahan hati, Soekarno menyadari Pancasila bukan ciptaan seseorang, melainkan cerminan kondisi obyektif bangsa yang digali dan disepakati pendiri bangsa.
Namun, sikap Notonagoro berubah di masa Orde Baru. Dalam bukunya, Pancasila secara Ilmiah Populer, yang terbit 1987, Notonagoro tidak lagi menyebut nama Soekarno kendati menyebut Pancasila sebagai ”buah hasil perenungan jiwa yang dalam, hasil penelaahan cipta yang teratur dan saksama di atas basis pengetahuan dan pengalaman hidup yang luas”.
Dalam buku yang sama, Notonagoro juga menyebutkan, ”Pancasila telah lebih dulu diusulkan sebagai dasar filsafat negara Indonesia merdeka yang akan didirikan, yaitu pada 1 Juni 1945 dalam rapat BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).” Di sini, nama Soekarno juga tak disebutkan. Syaiful pun sangat menyayangkan hal ini.