Salah satu kelemahan negara kita setelah merdeka adalah ketidakberdayaan menghidupkan Pancasila dalam tataran praksis kenegaraan. Upaya meneguhkan dan menghidupkan Pancasila tak bisa dalam bentuk seremonial atau formal.
Oleh
TOBA SASTRAWAN MANIK
·5 menit baca
Berbicara tentang Pancasila saat ini terkadang terlalu utopis. Ini penulis sangat rasakan ketika menyebutkan keilmuan tentang Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan sebagai bidang kajian saat bertemu dengan teman-teman dalam beberapa kesempatan. ”Oh” adalah jawaban yang kerap muncul refleks begitu saja.
Tidak tahu apa latar belakang jawaban tersebut. Apakah ekspresi keresahan atau frustrasi terhadap Pancasila sehingga perlahan-lahan dianggap utopis? Atau mungkin juga ekspresi bahwa Pancasila itu tidak menarik lagi? Tidak mengesankan lagi dalam benak masyarakat?
Sangat sulit mendapatkan jawaban yang pasti. Namun, ketika Pancasila di sisi ideal begitu agung, sedangkan di sisi praktis masih kurang terasa dan seakan tidak berdaya, bukan hal mustahil nilai-nilai realistis akan menguatkan. Lebih mengkhawatirkan lagi, nilai realistis atau praktis itu dijadikan dasar untuk menafsirkan nilai ideal Pancasila. Dengan kata lain, Pancasila hanya akan dijadikan sebagai justifikasi realitas yang ada.
Catatan sederhana ini diharapkan mencoba menelusuri dan mengangkat Pancasila secara nilai ideal untuk diimplementasikan. Oleh karena itu, tulisan ini mengangkat perspektif dari sisi negara/pemerintah. Hal ini didasarkan setidaknya kepada alasan sederhana, yakni bahwa Pancasila sebagaimana dikatakan Soekarno sudah hidup dalam kebudayaan, nilai, dan praktik kehidupan masyarakat Nusantara jauh sebelum Indonesia merdeka.
Konsekuensinya, target dan proyeksi tentang Pancasila saat ini adalah bagaimana Pancasila benar-benar hidup dan menghikmati proses kenegaraan sehingga negara tidak perlu mengajari rakyat berpancasila. Lebih baik dan arif negara perlahan-lahan mengajari dirinya sendiri berpancasila. Political action negara adalah conditio sine qua non. Afirmasinya tetap, Pancasila dalam konteks kenegaraan kita masih perlu belajar.
Ideologi kenegaraan
Salah satu kelemahan negara kita setelah merdeka adalah ketidakberdayaan untuk menghidupkan Pancasila dalam tataran praksis kenegaraan. Politik kenegaraan kita terhadap Pancasila sangat lamban, bahkan cenderung berbanding terbalik. Negara belum sepenuhnya mampu menghidupkan Pancasila sebagai ideologi kenegaraan selain bagian dari monopoli semata.
Kenapa kepada negara, bukan kepada Indonesia secara holistik? Jika kita merunut penjelasan-penjelasan lahirnya Pancasila yang diterangkan dengan apik dan sistematis oleh Soekarno pada 1 Juni 1945, bisa disadari bahwa nilai dan praksis Pancasila sudah ada dan hidup di masyarakat dalam bentuk tradisi dan budaya jauh sebelum Indonesia merdeka. Tradisi dan budaya ini yang kemudian diformalisasi atau digali oleh Soekarno dan dijadikan ideologi oleh negara.
Jadi, Pancasila sudah melekat dalam kebudayaan rakyat Indonesia, berbeda untuk tataran negara. Hal ini ditegaskan Eka Darmaputra bahwa Pancasila berakar pada kebudayaan masyarakat Indonesia dan semua lapisan budaya melihat diri mereka tecermin dalam Pancasila (1987: 146).
Pancasila sudah melekat dalam kebudayaan rakyat Indonesia, berbeda untuk tataran negara.
Hal ini selaras dengan temuan penulis ketika melakukan observasi di salah satu Dusun Pancasila di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tidak ada simbol-simbol Pancasila. Kenapa tidak ada? Sebab, Pancasila hidup secara praktis dalam kehidupan sehari-hari jauh sebelum nomenklatur Dusun Pancasila itu dicetuskan.
Afirmasinya adalah Pancasila secara budaya dan sosial sudah ada di masyarakat. Ini tidak bisa diingkari. Kesenjangan dan kekecewaan justru muncul disebabkan disparitas antara Pancasila di kehidupan masyarakat dan kehidupan negara. Hal ini kenapa masih ada gerakan atau pemikiran yang ingin mengganti Pancasila sebagai ideologi, bukan sebagai nilai di masyarakat.
Yudi Latif dalam bukunya Revolusi Pancasila (2016) menegaskan bahwa diperlukan suatu ikhtiar perubahan mendasar secara akseleratif pada sistem sosial, meliputi ranah material mental politikal berlandaskan prinsip-prinsip Pancasila dalam usaha mewujudkan kehidupan kebangsaan dan kewargaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur material atau spiritual.
Diperlukan kemauan dan kesadaran penuh, khususnya negara (pemerintah), untuk melaksanakan Pancasila, baik secara intrinstik maupun ekstrinsik. Intrinsik yakni Pancasila harus konsisten, koheren, dan koresponden; ekstrinsik Pancasila harus menjadi penyalur dan penyaring kepentingan horizontal dan vertikal (Kuntowijoyo, 1990). Sekali lagi, ini lebih besar bebannya kepada negara.
Diperlukan kemauan dan kesadaran penuh, khususnya negara (pemerintah), untuk melaksanakan Pancasila, baik secara intrinstik maupun ekstrinsik.
Sehingga seyogianya upaya-upaya meneguhkan dan menghidupkan Pancasila tidak bisa dalam bentuk seremonial atau formal. Hal ini sudah terlalu monoton dan membosankan. Hal ini juga yang menyebabkan kenapa seminar-seminar Pancasila begitu membosankan dan kurang menarik. Perlu akselerasi dan kreativitas dalam bentuk kebijakan yang formal dan kuat agar Pancasila hidup dan menghikmati proses dan praktis kenegaraan. Sekali lagi, hal ini lebih menjadi beban moral pemangku pemerintahan.
Kita berharap dalam pidato-pidato pemerintah ada langkah-langkah praktis tentang implementasi Pancasila, bukan tataran teoretis apalagi mitos-mitos seputar Pancasila. Menurut Kuntowijoyo, Pancasila sejauh ini lebih dikedepankan pada tataran mitos atau mistifikasi, seperti Pancasila sakti (1990). Dalam kenyataan ini, Pancasila sebagai mitos hanya efektif ketika untuk kepentingan politis dan akan lumpuh dalam keadaan normal.
Hal ini yang kita hadapi saat ini. Ketika kehidupan semakin dinamis dan materialistis khususnya dalam gempuran globalisasi, Pancasila harusnya lebih menjelma dan mewujud dalam tataran kajian intelektual dan praksis untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Jadi, bukan semata pada tataran apakah menerima atau menolak Pancasila yang sebenarnya semakin kurang relevan. Hal ini sesuai dengan riset penulis beberapa bulan lalu terhadap mahasiswa Muslim pascasarjana di Indonesia tentang penerimaan nilai-nilai Pancasila. Nyaris tidak ada penolakan terhadap Pancasila.
Sekali lagi hal ini sangat bergantung kepada penggalian dan eksplorasi negara terhadap nilai-nilai Pancasila yang ada di masyarakat untuk diadopsi dan dikembangkan ke dalam kebijakan dan tataran praksis kenegaraan. Silakan berkunjung di desa-desa dan masyarakat, ada banyak tradisi dan kearifan rakyat. Negara sepertinya tidak perlu mengajari rakyat untuk berpancasila. Lebih baik dan arif negara perlahan-lahan untuk mengajari dirinya sendiri untuk berpancasila. Di sini dinantikan political action negara.
Toba Sastrawan Manik, Dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Politeknik Teknologi Kimia Industri Medan