Pasang Surut Penjaga Pilar Reformasi
Pada 17 Agustus 2023, MK memasuki usia ke-20. Dalam dua dekade keberadaannya, lembaga yang dibentuk setelah reformasi ini mengalami pasang dan surut. Mengapa hal itu terjadi dan bagaimana mengatasinya?
Pada tahun pertama masa jabatannya, sembilan hakim konstitusi yang diangkat oleh Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri harus wara-wiri antara Plaza Centris, Kuningan, Jakarta, dan Kompleks Parlemen, Senayan. Sidang pengujian konstitusionalitas undang-undang digelar pertama kali pada 4 November 2003, meminjam Ruang Nusantara IV, Gedung MPR/DPR/DPD. Mahkamah Konstitusi baru menempati kantor sendiri pada 2004 dengan meminjam gedung milik Kementerian Komunikasi dan Informatika di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta. Di usia keempat, gedung 16 lantai dengan sembilan pilar selesai dibangun dan bisa ditempati.
Ide pengujian konstitusionalitas undang-undang sebenarnya sudah muncul dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan yang disampaikan M Yamin. Namun, gagasan itu tak diadopsi di UUD 1945 karena sejumlah alasan, di antaranya UUD menganut konsep pembagian kekuasaan, bukan pemisahan kekuasaan. Selain itu, pengujian undang-undang dinilai tak sesuai dengan tugas hakim sebagai pelaksana/penerap undang-undang, serta bertentangan dengan supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat. Selain itu, Indonesia belum memiliki ahli dan pengalaman mengenai judicial review.
Adapun judicial review merupakan pengujian konstitusionalitas sebuah norma hukum yang lebih rendah terhadap norma konstitusi.
Di era reformasi, gagasan itu menyeruak kembali. Melalui Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000, MPR diberi kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD. Namun, hal itu tetap bukan judicial review, melainkan legislative review on the constitutionality of law karena MPR bukan cabang kekuasaan yudisial. Kewenangan pengujian undang-undang MPR itu tidak pernah dilaksanakan karena tidak ada mekanisme yang memungkinkan.
Pada perubahan ketiga UUD 1945, ide pembentukan MK sebagai mekanisme kontrol pelaksanaan UUD dalam bentuk undang-undang muncul kembali. MK hadir sebagai konsekuensi perwujudan negara hukum yang demokratis. Selain itu, perubahan kedua UUD 1945 juga mengubah hubungan kekuasaan. UUD 1945 hasil perubahan tidak lagi menganut sistem pembagian kekuasaan, tetapi menganut sistem pemisahan kekuasaan yang berdasarkan prinsip check and balances. Lembaga negara pun makin banyak, supremasi MPR menjadi supremasi konstitusi.
Berdasarkan riset Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas dan International Institute for Democracy and Electoral Assistance mengenai ”Evaluasi Kinerja Konstitusi Indonesia: 20 Tahun Setelah Reformasi”, salah satu tujuan MK dibentuk ialah untuk mewujudkan era konstitusionalisme baru yang mengedepankan hak asasi manusia. Keberadaan MK dimaksudkan untuk menjamin tegaknya prinsip-prinsip negara hukum dan memberikan perlindungan maksimum terhadap demokrasi dan hak-hak dasar warga negara.
Menurut Tom Ginsburg dari University of Chicago, AS, seperti dikutip dalam penelitian yang sama, judicial review atau uji materi hadir dalam kerangka membatasi besarnya kekuatan politik mayoritas yang ada di parlemen terhadap proses pembentukan UU. Mekanisme judicial review diyakini akan membantu menjaga keseimbangan dalam pelaksanaan check and balances antarcabang kekuasaan negara. Maka, dengan adanya judicial review, pembentuk undang-undang lebih hati-hati dalam membahas sebuah rancangan regulasi.
Pasang surut MK
Pengajar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, menilai, dalam dekade pertama keberadaannya (2003-2013), MK menghasilkan berbagai putusan fenomenal. Misalnya, MK membatalkan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK yang membatasi wilayah pengujian undang-undang hanya pada regulasi yang lahir setelah amendemen konstitusi. Di ujung dekade pertama, MK juga membatalkan keberlakuan UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air karena tidak sesuai konstitusi. MK mengembalikan hak penguasaan dan pengelolaan air kepada negara serta menolak privatisasi pengelolaan air.
Uji materi hadir dalam kerangka membatasi besarnya kekuatan politik mayoritas yang ada di parlemen terhadap proses pembentukan UU. Mekanisme judicial review diyakini akan membantu menjaga keseimbangan dalam pelaksanaan check and balances antarcabang kekuasaan negara.
MK, kata Yance, berjalan dengan baik sebagai pengawal demokrasi pada periode 2003 hingga 2013. Ada sejumlah putusan yang menjadi penanda atau tonggak telah berjalannya fungsi MK sebagai pengawal demokrasi. Putusan itu di antaranya, putusan tentang mantan PKI, dikabulkannya calon kepala daerah independen, putusan terkait penggunaan KTP untuk memilih, dan larangan PNS dan kepala daerah menjadi calon anggota legislatif. Bagi Yance, dalam 10 tahun pertamanya, MK telah berkontribusi dalam menciptakan sistem pemilu yang inklusif dan kompetitif.
Ketua MK pertama (2003-2008) Jimly Asshiddiqie dan Ketua MK kedua (2008-2013) Mahfud MD berhasil membawa MK hingga ke puncak kejayaannya meski dengan gayanya masing-masing. Jimly, menurut Yance, seorang institusionalis, membangun institusi secara internal dan meletakkan MK dalam relasi dengan lembaga-lembaga lain. Sementara itu, Mahfud MD memberi penekanan MK sebagai lembaga peradilan yang mampu memberikan keadilan substantif. Dengan memanfaatkan hukum progresif, banyak putusan fenomenal yang dihasilkan di era kepemimpinan Mahfud. Pemimpin MK di dua generasi pertamanya itu mampu menaikkan legitimasi MK di antara sejumlah institusi negara.
Namun, titik balik MK terjadi pada 2013 dengan tertangkapnya Ketua MK saat itu, Akil Mochtar. Upaya MK keluar dari jurang terdalam setelah penangkapan Akil Mochtar dilakukan Hamdan Zoelva yang memegang tampuk pimpinan berikutnya. Namun, kepercayaan publik belum sempat sepenuhnya pulih, MK kembali diguncang penangkapan hakim konstitusi Patrialis Akbar tahun 2017. Sementara Ketua MK saat itu, Arief Hidayat, pengganti Hamdan, dikenai sanksi etik ringan berupa teguran tertulis. Pada 20 Maret 2023, hakim konstitusi Guntur Hamzah diberi sanksi teguran tertulis oleh Majelis Kehormatan MK terkait pengubahan frasa dalam putusan MK.
Makin bertambah usia, MK dinilai semakin jauh dari fungsinya sebagai pengawal demokrasi konstitusional. Dalam pandangan Yance Arizona, MK justru menunjukkan dirinya sebagai pengawal oligarki. Hal itu tecermin dalam putusan-putusannya yang membuat demokrasi tidak kompetitif, mendukung pelemahan lembaga pengawas, serta melayani kepentingan besar.
Ini tecermin dalam putusan terkait presidential threshold 20 persen yang di dalam putusan 51-52-59/PUU-VI/2008 ditegaskan sebagai open legal policy dan pada putusan 53/PUU-XV/2017 disebutkan penting bagi efektivitas sistem presidensial dan penyederhanaan parpol. Putusan 60/PUU-XVIII/2020 terkait pengujian UU Minerba dinilai menguntungkan tujuh perusahaan batubara serta putusan inkonstitusionalitas bersyarat UU Cipta Kerja dalam perkara 91/PUU-XVIII/2020.
Ada tiga hal utama yang menyebabkan kemerosotan MK hari-hari ini. Pertama, desain kelembagaan MK yang rentan. Kedua, faktor eksternal berupa konsolidasi elite politik dan menguatnya politik oligarki. Di satu sisi, masyarakat sipil makin rapuh. Hal ketiga ialah faktor internal MK, yaitu lemahnya kepemimpinan, serta tak terbangunnya budaya patriotisme konstitusional.
MK juga dinilai berperan dalam ”penjinakan” KPK terkait tes wawasan kebangsaan melalui putusan-putusannya. Satu putusan lagi yang dinilai Yance termasuk bagian dari MK sebagai pengawal oligarki ialah putusan yang membolehkan menteri jadi calon presiden tanpa harus mengundurkan diri.
Penyebab kemerosotan
Menurut Yance, ada tiga hal utama yang menyebabkan kemerosotan MK hari-hari ini. Pertama, desain kelembagaan MK yang rentan. Kedua, faktor eksternal berupa konsolidasi elite politik dan menguatnya politik oligarki. Di satu sisi, masyarakat sipil makin rapuh. Hal ketiga ialah faktor internal MK, yaitu lemahnya kepemimpinan, serta tak terbangunnya budaya patriotisme konstitusional.
Bagi mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie, solusi penguatan MK ke depan juga tergantung dari luar MK, tepatnya kesadaran politisi untuk kembali menegakkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai kesepakatan tertinggi dalam bernegara. Sudah ada MK sebagai pengawal konstitusi yang berwenang membatalkan produk DPR dan pemerintah jika bertentangan dengan UUD 1945.
Baca juga: Terbukti Ubah Putusan MK, Guntur Hamzah Dijatuhi Sanksi Teguran Tertulis
Namun, Yance menilai, sulit mengharapkan ada perubahan situasi politik di luar MK, setidaknya hingga rezim saat ini berakhir tahun 2024. Adapun koalisi pendukung pemerintah saat ini menguasai lebih dari 80 persen kursi DPR RI. ”Parlemen tidak kompetitif, judiciary juga tidak independen. Tekanan terhadap mereka besar. Sebaliknya, apabila parlemen kompetitif, peradilan mendapat teman kalau misalkan berbeda posisi dengan mayoritas,” katanya.
Jimly juga melihat ada ketidakpahaman generasi penikmat reformasi atas ide besar dan semangat reformasi. Ini terlihat dari persepsi di lembaga pengusul hakim konstitusi, yaitu DPR, MA, dan Presiden, bahwa hakim MK merupakan perwakilan mereka. Itulah mengapa DPR mengganti Aswanto yang dinilai tak dapat mengamankan produk DPR. Sikap MA hampir mirip yang ditunjukkan dalam surat konfirmasi dari Ketua MA bahwa mereka tidak akan mengganti hakim yang sedang menjabat.
”Ketiga cabang kekuasaan ini hanya ’tukang memilih’. (Hakim konstitusi) bukan orang mereka. Bukan perwakilan DPR, Presiden, dan MA di MK. Itu persepsi salah yang kini melanda tidak hanya DPR, tetapi juga Presiden dan MA,” katanya.
Faktor lain yang tak kalah penting untuk memperbaiki MK ialah memastikan sembilan hakim MK adalah orang-orang berintegritas dan tepercaya. Untuk itu, perlu ada evaluasi sistem rekrutmen hakim konstitusi. UU MK tahun 2003 mengamanatkan seleksi dilakukan obyektif, akuntabel, transparan, dan partisipatif. Peraturan lebih detail diserahkan ke lembaga masing-masing.
”Tetapi, sampai 20 tahun setelah MK berdiri, tidak ada peraturan seperti peraturan presiden ataupun peraturan MA. Beberapa waktu lalu saya diundang MA untuk merancang Perma Prosedur Rekrutmen Hakim Konstitusi. Bayangkan, sudah 20 tahun (MK berdiri) baru dibahas,” kata Jimly.
Dua aspek kinerja MK
Juru bicara MK yang juga Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengungkapkan, melihat kinerja MK harus komprehensif yang meliputi dua aspek, yaitu yudisial dan non-yudisial, meski keduanya harus diakui saling berpengaruh. Dari sisi pelaksanaan fungsi yudisial, hal itu terlihat dari putusan MK yang makin meningkat kualitasnya. Beberapa di antara putusan itu bahkan merupakan landmark decisions dalam pandangan pihak luar. Putusan itu juga berkontribusi memperbaiki proses pembentukan undang-undang.
Enny juga menilai hukum acara MK terus diperbaiki dengan dukungan sistem yang baik agar terus menjaga kualitas putusan yang transparan dan akuntabel. Dengan demikian, ketika ada temuan frasa putusan MK yang diubah yang berakibat ada perbedaan dengan putusan yang dibacakan, MK men-take down putusan yang sudah jadi milik publik itu untuk dilakukan renvoi dengan ditandatangani sembilan hakim konstitusi.
”Artinya, terkait pelaksanaan fungsi yudisial, saya menjamin sampai saat ini MK tetap mampu menjaga independensinya. Kalau ada yang tidak setuju dengan pendapat mayoritas, dipersilakan untuk dissenting (DO) atau concurring (CO). Silakan publik menilai DO dan CO tersebut,” ujarnya.
Terkait belum adanya patriotisme konstitusional—dalam arti keberanian pegawai mengungkap pelanggaran atasan atau hakim—Enny mengungkapkan Majelis Kehormatan MK (MKMK) sudah merekomendasikan dibentuknya MKMK permanen. Nantinya, MKMK akan diisi figur yang mencerminkan kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi. Pembentukan MKMK itu memiliki arti penting untuk tegaknya prinsip-prinsip peradilan dengan hakim yang memegang teguh etik dan pedoman perilaku menurut Bangalore Principle of Judicial Conduct yang sudah dikembangkan dalam kode etik hakim konstitusi.
Terkait pelaksanaan fungsi non-yudisial, Enny mengungkapkan, saat ini sudah menjadi diskusi di antara para hakim, ke depan perlu ada perubahan struktur pimpinan MK. Ke depan, ketua MK akan didampingi dua wakil ketua, yaitu wakil ketua bidang yudisial dan wakil ketua non-yudisial. ”Dengan dua wakil dan tanggung jawab yang sudah clear tersebut, urusan kepaniteraan dan asisten ahli hakim akan semakin terarah dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya,” ujar Enny.
Dengan upaya itu, diharapkan upaya pihak eksternal yang mencoba mengintervensi MK dapat dibendung. Hal itu juga akan membuat urusan non-yudisial di bawah kesekretariatan jenderal MK lebih terarah, sejalan dengan visi misi MK.