Putusan Majelis Kehormatan MK yang menjatuhkan sanksi teguran tertulis terhadap hakim konstitusi Guntur Hamzah dinilai jauh dari harapan publik.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·5 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (13/3/32023).
JAKARTA, KOMPAS – Hakim konstitusi Guntur Hamzah dinilai terbukti melanggar prinsip integritas karena telah mengubah putusan Mahkamah Konstitusi terkait pemberhentian Aswanto sebagai hakim konstitusi. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi pun menjatukan sanksi teguran teguran tertulis, karena Guntur terbukti mencoret frasa ”Dengan demikian” dan mengubahnya menjadi ”Ke depan” sehingga mengakibatkan putusan tersebut mengalami perubahan makna. Namun, putusan itu dinilai jauh dari harapan publik.
”Hakim terduga (Guntur) terbukti melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dan PerilakuHakim Konstusi sebagaimana tertuang dalam Sapla Kasa Hutema, dalam hal ini bagian dari penerapan prinsip Integritas. Menjatuhkan sanksi teguran tertulis kepada hakim terduga (Guntur),” kata Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MK) I Gede Dewa Palguna dalam sidang pleno pengucapan putusan terkait kasus perubahan putusan MK nomor 103/PUU-XX/2022 di Gedung MK, Jakarta, Senin (20/3/2023).
Dalam pertimbangannya, Majelis Kehormatan MK menilai Guntur sebagai hakim konstitusi—meskipun baru saja dilantik—memiliki hak untuk mengusulkan dilakukannya perubahan frasa dalam putusan 103/2022. ”Artinya secara hukum, andaikata perbuatan itu disetujui oleh hakim-hakim lain sekurang-kurangnya hakim drafter putusan, maka putusan tersebut sah. Meskipun tidak ikut menjadi pemutus perkara 103/2022, ia berwenang,” kata Palguna.
Hanya saja, menurut Majelis Kehormatan, persetujuan hakim lain atas usulan perubahan dari Guntur tersebut tidak pernah terjadi. Bahkan, usulan tersebut hanya dimintakan persetujuan kepada Arief. Padahal, masih ada waktu untuk meminta izin dari hakim-hakim lain sebelum perubahan dilakukan.
AYU NURFAIZAH UNTUK KOMPAS
Sidang kedelapan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK dilakukan di ruang sidang lantai 2, Mahkamah Konstitusi, Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (1/3/2023).
Perubahan frasa ”Dengan demikian,…” menjadi ”Ke depan,…” itu memiliki dampak terhadap putusan 103/2022. Menurut Majelis Kehormatan, dengan diganti frasa ”ke depan” koherensi dalam putusan tersebut menjadi lenyap, bahkan saling bertentangan (contradiction in terminis). Hal itu juga menimbulkan kesan di masyarakat bahwa tindakan pemberhentian hakim konstitusi Aswanto sah, hanya saja ke depan tindakan tersebut tidak boleh dilakukan lagi. Padahal, yang dimaksud adalah justru pemberhentian dengan cara seperti itu, kapan pun dilakukan, adalah tidak sah.
Majelis Kehormatan MK juga tidak sependapat dengan argumentasi Guntur bahwa usulan pengubahan frasa tersebut terinspirasi dari rapat permusyawaratan hakim (RPH) 23 November 2022 atau beberapa jam sebelum putusan dibacakan.
Dari bukti rekaman audio dan notulensi RPH, Majelis Kehormatan menemukan ada ucapan “ke depan” dari hakim konstitusi Suhartoyo. Namun, ungkapan ke depan tersebut dilontarkan dalam konteks bahwa pemberhentian yang dilakukan DPR kepada Aswanto tidak sesuai dengan Pasal 23 UU MK sehingga tidak sah. Oleh karena itu ke depan, delapan hakim konstitusi perlu diproteksi dari cara-cara yang sama ke depan.
Satu-satunya yang paling masuk akal adalah motif yang terkait dengan pertanyaan apakah perubahan frasa tersebut akan berpengaruh terhadap keabsahan Keputusan Presiden yang mengangkat hakim terduga sebagai hakim konstitusi? Jika itu yang menjadi motifnya maka motif demikian adalah hal sia-sia
Meskipun perubahan frasa di putusan 103/2022 terbukti, Majelis Kehormatan tidak menemukan cukup bukti terkait adanya motif pencoretan kata “Dengan demikian,”
“Namun, kalaupun motif itu ada, quad non, menurut penalaran yang wajar, satu-satunya yang paling masuk akal adalah motif yang terkait dengan pertanyaan apakah perubahan frasa tersebut akan berpengaruh terhadap keabsahan Keputusan Presiden yang mengangkat hakim terduga sebagai hakim konstitusi? Jika itu yang menjadi motifnya maka motif demikian adalah hal sia-sia. Sebab, putusan MK berlaku ke depan atau prospektif, bukan retrospektif atau ke belakang,” ujar Palguna.
Majelis Kehormatan MK juga mengklarifikasi tuduhan adanya persengkongkolan dalam kasus tersebut seperti ditudingkan Zico Leonard Djagardo Simanjuntak. Zico merupakan pemohon uji materi 103/2022 yang pertama kali mempersoalkan perubahan putusan tersebut ke MK. Dugaan persengkongkolan tersebut antara lain ditandai dengan adanya perubahan frasa pula di dalam risalah persidangan pengucapan putusan.
Namun, hasil temuan Majelis Kehormatan dari keterangan Kepala Subbagian Pelayanan Persidangan dan Perisalah menunjukkan, risalah sidang pengucapan putusan dilakukan dengan cara mengambil bagian pertimbangan hukum langsung dari putusan yang sudah selesai diucapkan. Ini dilakukan untuk menghindari terjadinya perbedaan antara yang dituangkan dalam risalah dengan dokumen putusan yang telah dikoreksi.
SUSANA RITA KUMALASANTI
Ilustrasi. Mahkamah Konstitusi menggelar sidang perbaikan permohonan perkara pengujian UU Ibu Kota Negara yang diajukan oleh enam mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung, Rabu (13/7/2022). Sidang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat
Sebelum menjatuhkan sanksi, Majelis Kehormatan MK mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Adapun hal yang meringankan diantaranya yang bersangkutan terbuka sejak awal sehingga memudahkan proses pemeriksaan perkara, serta praktik pencoretan/pengubahan putusan telah menjadi praktik yang lazim di MK sepanjang tidak dilakukan secara diam-diam dan mendapatkan persetujuan dari hakim lain.
“Belum adanya standar operating procedure untuk praktik yang sudah lazim tersebut, sehingga hal itu suka atau tidak harus diterima sebagai faktor yang turut mengurangi bobot kesalahan dari perbuatan hakim terduga,” kata dia.
Majelis Kehormatan juga menyalahkan respon lambat dari MK dalam menangani kasus ini. Berdasarkan temuan MKMK, kasus pencoretan putusan sudah diketahui berselang beberapa hari setelah pengucapan putusan 103/2022 oleh seorang hakim dan diakui sejak awal oleh Guntur. Hal ini juga telah pula diberitahukan kepada Panitera untuk dibicarakan dalam RPH namun RPH tersebut tidak pernah dilaksanakan dengan alasan yang lebih bersifat teknis psikologi. Jika hal tersebut direspon dengan cepat dengan renvoi frasa putusan, peristiwa ini tak perlu dibiarkan berkepanjangan. Bahkan, MKMK pun sebenarnya tak perlu dibentuk.
AYU NURFAIZAH UNTUK KOMPAS
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) I Dewa Gede Palguna di Kantor Mahkamah Konstitusi (MK), Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (1/3/2023).
Adapun hal yang memberatkan adalah, pencoretan putusan itu dilakukan dalam suasana publik belum reda memperdebatkan pemberhentian Aswanto dan mengangkat Guntur sebagai penggantinya. ”Sementara itu bagian pertimbangan hukum putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022 yang frasanya diubah adalah bagian pertimbangan hukum yang terkait langsung dengan perdebatan tersebut sehingga perbuatan hakim terduga, di mata publik, tak terhindarkan kalau dipersepsikan sebagai sebagai upaya hakim terduga untuk menyelamatkan diri dari prasangka ketidakabsahan pengangkatannya sebagai hakim konstitusi,” ujar Palguna.
Rekomendasi
Ada sejumlah rekomendasi yang disampaikan Majelis Kehormatan. Salah satunya penting bagi MK untuk membuat prosedur operasi standar atau standar operating procedure (SOP) dalam hal hakim konstitusi hendak mengusulkan perubahan terhadap putusan yang sedang diucapkan. Selain itu, MK juga disarankan untuk Menyusun SOP penyusunan risalah sidang baik untuk risalah persidangan biasa maupun persidangan penbucapan putusan yang memiliki karakter berbeda.
Rekomendasi lain adalah Peraturan MK tentang Majelis Kehormatan disempurnakan, khususnya substansi dan tata cara terkait dengan temuan. Hal yang tak kalah pentingnya adalah perlunya segera MK membentuk Majelis Kehormatan MK yang bersifat permanen, dengan memperhatikan dan mempertimbangkan kredibilitas dan integritas figur yang akan diangkat demi membangun kepercayaan publik.
”Demi kepastian hukum, MK perlu segera membuat renvoi terhadap putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022 bertanggal 23 November 2022, yaitu dengan mengembalikan frasa ”Dengan demikian” ke dalam pertimbangan hukum putusan dimaksud pada Paragraf [3.13.3] halaman 51,” ungkap Palguna.
Majelis Kehormatan juga merekomendasikan dilakukannya pembinaan lebih lanjut kepada Panitera MK oleh pejabat yang berwenang.
Menanggapi putusan itu, pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Herlambang P Wiratraman mengungkapkan, putusan Majelis Kehormatan aneh dan jauh dari harapan publik. Majelis Kehormatan MK dinilai gagal menjaga Marwah MK. ”Jelas susah diterima dengan nalar sehat, karena konsekuensinya besar perubahan itu,” katanya.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Undangan memberikan ucapat selamat usai pembacaan sumpah jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2023-2028 Anwar Usman dan Wakil Ketua MK Saldi Isra di Gedung MK, Jakarta, Senin (20/3/2023).
Dengan adanya putusan ini, ia mengaku hilang harapan terhadap MK. ”Pengakuan dan sikap ksatria sebagai hal meringankan menjadi paradoks di level lembaga MK. Majelis Kehormatan MK seakan tak lagi peka rasa keadilan publik, melainkan lebih bertumpu pada pelaku,” katanya.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Allan FG Wardhana juga mengaku heran dengan putusan MKMK. ”Jelas-jelas disebutkan melanggar prinsip integritas. Padahal, integritas syarat mutlak jadi hakim MK. GH (Guntur Hamzah) tidak memenuhi syarat dong,” ungkapnya.
Ia mengutip Pasal 24 C UUD 1945 yang menyebutkan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Dengan adanya putusan MKMK yang menyebut adanya pelanggaran prinsip integritas dalam Sapta Karsa Hutama (Kode Etik Hakim MK).
Sementara itu, hakim konstitusi Guntur Hamzah saat dikonfirmasi mengaku menaruh hormat pada putusan Majelis Kehormatan MK. Ada beberapa poin dalam putusan MKMK yang ia catat dalam putusan itu, yakni bahwa hakim terduga berwenang mengajukan usulan perbaikan (dalam arti masih dalam batas-batas kewenangan, tugas dan fungsi pelaksanaan kekuasaan kehakiman), tidak memiliki motif, dan belum ada regulasi terkait tata cara mengajukan usulan perbaikan sebelum putusan selesai dibacakan.