Warga Negara AS Didakwa Rugikan Indonesia Rp 453 Miliar
Thomas van der Heyden beserta kuasa hukumnya tidak mengajukan keberatan atas dakwaan jaksa dan memilih melanjutkan persidangan dengan agenda pembuktian.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Thomas Anthony van der Heyden, warga negara Amerika Serikat, yang menjabat Senior Advisor PT Dini Nusa Kusuma atau DNK didakwa menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 453,09 miliar. Dia didakwa dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan Satelit Orbit 123 Derajat Bujur Timur di Kementerian Pertahanan Republik Indonesia pada 2015.
Van der Heyden hadir didampingi kuasa hukum, Waluyo Rahayu, dan penerjemah bahasa, Gunawan Ilyas, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (9/3/2023). Sidang dengan agenda pembacaan dakwaan terhadap Van der Heyden semula direncanakan digelar pekan lalu, tetapi diundur karena Van der Heyden belum didampingi kuasa hukum.
Dakwaan disampaikan jaksa koneksitas yang terdiri dari unsur Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat dan Oditur dari pihak militer. Ini lantaran terdakwa perkara ini ada yang berasal dari pihak militer.
Dalam dakwaan, jaksa koneksitas, Dhikma Heradika, menyebut, kerugian terhadap perekonomian negara dilakukan Van der Heyden bersama dengan Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan Kementerian Pertahanan periode Desember 2013-Agustus 2016 Laksamana Muda (Purn) Agus Purwoto, Komisaris Utama PT DNK Arifin Wiguna, dan Direktur Utama PT DNK Surya Cipta Witoelar.
Agus diminta oleh Van der Heyden, Arifin, dan Surya untuk menandatangani kontrak sewa Satelit Floater, yakni Satelit Artemis. Kontrak sewa itu antara Kementerian Pertahanan dan Avanti Communication Limited. Menurut Dhikma, penyewaan satelit itu tidak diperlukan.
Atas tindakannya, Van der Heyden dinilai telah melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Agus, lanjut Dhikma, tidak berkedudukan selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam proyek pengadaan satelit tersebut. Maka, ia tidak memiliki kewenangan menandatangani kontrak.
”Tidak ada kewenangan karena tidak pernah ditunjuk sebagai PPK dari pengguna anggaran (PA) dalam penandatanganan kontrak sewa satelit,” ujar Dhikma.
Ada beberapa unsur yang tidak terpenuhi dalam kontrak tersebut. Di antaranya, belum tersedia anggaran dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kemenhan, tidak ada rencana umum pengadaan barang/jasa, dan tanpa kerangka acuan kerja (KAK) atau term of reference (TOR). Selain itu, belum ada harga perkiraan sendiri (HPS), tidak ada proses pemilihan penyedia barang atau jasa, dan wilayah cakupan layanan Satelit Artemis tidak sesuai dengan filing satelit di Slot Orbit 123 Derajat Bujur Timur.
”Satelit Artemis memiliki spesifikasi yang berbeda dengan Satelit Garuda-1,” kata Dhikma menambahkan.
Atas tindakannya, Van der Heyden didakwa melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan dalam Pasal 3, tindakan merugikan perekonomian negara dapat dipidana penjara seumur hidup atau paling singkat satu tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda sedikitnya Rp 50 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Seusai pembacaan dakwaan, majelis hakim mengajukan pertanyaan kepada jaksa koneksitas mengenai versi bahasa Inggris surat dakwaan. ”Apakah surat dakwaan berbahasa Inggris sudah diberikan pada terdakwa?” kata majelis hakim.
”Sudah Yang Mulia,” jawab Dhikma. Setelah itu, majelis hakim bertanya kepada Van der Heyden dan kuasa hukumnya apakah mengajukan keberatan atas dakwaan yang dibacakan.
Van der Heyden beserta kuasa hukumnya tidak mengajukan keberatan dan memilih melanjutkan persidangan dengan agenda pembuktian. Sebagai informasi, total ada sembilan saksi yang diajukan oleh jaksa koneksitas.