Bedah Putusan Lepas KSP Indosurya, Pemerintah Libatkan Pakar Hukum
Sejumlah pakar hukum dilibatkan untuk membedah putusan lepas KSP Indosurya yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang dinilai tidak tepat.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah terus berupaya agar pengungkapkan kasus Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya, baik dugaan korupsi maupun pidana penipuan, bisa dilanjutkan. Oleh karena itu, pemerintah mengundang sejumlah pakar pidana, ahli hukum kepailitan, dan korporasi untuk membedah putusan lepasKSP Indosurya.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengundang Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki untuk membedah kasus KSP Indosurya, Selasa (7/3/2023). Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Umum Kejaksaan Agug Fadil Zumhana dan Deputi Perkoperasian Kemenkop UKM Ahmad Zabadi ikut hadir.
Sementara itu, para ahli yang memberikan pandangan dalam bedah kasus itu adalah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Marcus Priyo Gunarto dan Sulistiowati, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Topo Santoso, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Amir Ilyas, ahli hukum kepailitan dan korporasi Universitas Islam Indonesia Siti Anisah, serta ahli hukum kepailitan Universitas Indonesia Parulian Paidi Aritonang. Dari masyarakat sipil juga hadir Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP).
Mahfud mengatakan, para ahli dihadirkan untuk menguji putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat terhadap dugaan penggelapan dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) KSP Indosurya. Menurut dia, putusan lepas yang dikeluarkan PN Jakbar sangat tidak tepat. Majelis hakim menggunakan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan untuk memeriksa kesalahan terdakwa. Namun, saat memutus hakim menggunakan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.
”Di UU Perbankan disetujui bahwa itu salah dan bisa diterapkan, tetapi berbelok,” ujarnya.
Pemerintah menegaskan akan berusaha agar kasus Indosurya bisa berlanjut baik kasus dugaan korupsi maupun penipuannya. Oleh karena itu, para ahli diminta membedah putusan dari kalimat per kalimat. Pemerintah juga terus mengejar dan melawan dengan upaya kasasi ke Mahkamah Agung.
”Putusan (lepas) itu salah karena jelas-jelas ada tindak pidananya. Kami sekarang sedang meneruskan dan membuka kasus di mana ada pengadu lain dengan tempat kejadian yang lain. Pokoknya, kami tidak boleh kalah dengan kejahatan dan negara harus hadir,” tegasnya.
Sementara itu, Menkop dan UMKM Teten Masduki mengungkapkan, pemerintah mendukung upaya Kejagung untuk melakukan kasasi terhadap putusan lepas Indosurya. Menurut Teten, kasus tersebut telah memenuhi unsur penggelapan, penipuan, dan TPPU dari aset yang dimiliki oleh koperasi.
Putusan (lepas) itu salah karena jelas-jelas ada tindak pidananya. Kami sekarang sedang meneruskan dan membuka kasus di mana ada pengadu lain dengan tempat kejadian yang lain. Pokoknya, kami tidak boleh kalah dengan kejahatan dan negara harus hadir.
Pemerintah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan kasus tersebut secepat mungkin. Selama ini, putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) tidak bisa dijalankan karena aset KSP Indosurya sudah tidak ada. Aset-aset koperasi sudah digelapkan oleh pengurus sehingga uang milik anggota koperasi tidak bisa dikembalikan.
Seperti diberitakan sebelumnya, terdakwa kasus dugaan penipuan dan penggelapan dana KSP Indosurya, Henry Surya, divonis lepas atas segala dakwaan di PN Jakbar. Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan, perbuatan terdakwa bukan merupakan tindak pidana, melainkan perdata.
Dalam kasus itu, jaksa menuntut Henry dengan pidana 20 tahun penjara dan denda Rp 200 miliar. JPU mendakwakan Pasal 46 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Pasal 378 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan Pasal 372 KUHP, serta dakwaan kedua, yaitu Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pasal 4 juncto Pasal 10 UU yang sama.
Namun, tidak ada sama sekali dakwaan yang terbukti. Sebaliknya, majelis menilai Henry telah memanfaatkan celah hukum dengan kedok koperasi sehingga seluruh kegiatannya seolah-olah menjadi legal. Padahal, semua korban tidak pernah merasa menjadi anggota koperasi, tetapi lebih sebagai korban penipuan investasi bodong.