MK: Mantan Terpidana Harus Lewati Syarat Jeda Lima Tahun Sebelum Mencalonkan DPD
MK memutuskan, mantan terpidana yang ingin menjadi calon anggota DPD harus lebih dulu melewati jangka lima tahun setelah selesai menjalani pidana penjara berdasar putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi menyamakan aturan pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau DPD dengan calon anggota DPR dan DPRD serta calon kepala daerah. Mantan terpidana harus melewati terlebih dahulu jeda waktu lima tahun setelah menjalani masa pidana sebelum dapat maju dalam pemilihan anggota legislatif.
Putusan itu dibacakan mahkamah dalam sidang terbuka di gedung MK, Selasa (28/2/2023). Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Perludem meminta MK menyatakan Pasal 182 Huruf g Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai sama dengan tafsir persyaratan calon anggota DPR dan DPRD, dan calon kepala daerah.
”Menyatakan norma Pasal 182 Huruf g Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang dimaknai sebagai berikut,” ujar Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan.
Pemaknaan yang dimaksud MK adalah calon perseorangan (DPD) dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan tidak pernah sebagai narapidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana lima tahun atau lebih.
Kecuali terhadap narapidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik, atau perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang berkuasa.
Mantan terpidana juga harus melewati jangka lima tahun setelah selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana. Calon juga bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi Saldi Isra menyebut, terkait dengan jabatan publik yang dipilih melalui pemilihan (elected officials), mahkamah melalui putusan Nomor 85/PUU-XX/2022 telah menegaskan bahwa tidak ada lagi perbedaan rezim pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Mahkamah telah memberlakukan syarat yang sama antara calon anggota DPR dan DPRD secara kumulatif dan calon kepala daerah.
”Diselaraskannya antara norma persyaratan calon bagi mantan narapidana yang akan mengajukan diri sebagai kepala daerah dan calon anggota DPR dan DPRD telah memberikan kepastian hukum dan mengembalikan makna esensial pemilihan, yakni menghasilkan orang-orang yang memiliki kualitas dan integritas untuk menjadi pejabat publik,” ungkap Saldi.
Namun, mahkamah menilai belum semua pejabat publik diterapkan syarat yang sama, terutama calon anggota DPD. Tidak adanya pemaknaan pada Pasal 182 Huruf g UU Pemilu membuka kemungkinan bagi calon anggota mantan terpidana bisa langsung mencalonkan diri. Aturan itu belum sejalan dengan dua putusan MK sebelumnya, yang mengatur syarat pencalonan kepala daerah dan anggota DPR/DPRD mantan terpidana. Padahal, DPD juga merupakan jabatan publik yang dipilih melalui pemilihan.
”Dengan adanya pembedaan yang demikian berakibat adanya inkonsistensi dan disharmoni dalam pemberlakukan norma-norma terhadap subyek hukum yang sesungguhnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu sama-sama dipilih dalam pemilihan,” imbuh Saldi.
Pembedaan syarat itu juga dapat berakibat pada terlanggarnya hak konstitusional warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28D UUD 1945. Mahkamah berpendapat terhadap ketentuan Pasal 182 Huruf g perlu ditegaskan dan diselaraskan dengan memberlakukan jeda waktu lima tahun terlebih dahulu terhadap calon anggota DPD mantan narapidana.
Mahkamah hanya mengabulkan sebagian permohonan pemohon. Permohonan pemaknaan tambahan bahwa syarat calon anggota DPD tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap tidak dikabulkan.
Sebab, MK berpadangan hal itu akan menimbulkan perbedaan persyaratan antara calon kepala daerah, DPR, DPRD. Akibatnya, terjadi ketidakharmonisan dan ketidakselarasan antarsyarat pencalonan semua jabatan yang dipilih dalam pemilihan. Pemaknaan tambahan juga dinilai berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum.
Revisi PKPU
Anggota KPU, Idham Holik, mengatakan, KPU akan terlebih dahulu mempelajari putusan MK Nomor 12/PUU-XXI/2023. Bagi KPU, putusan MK itu satu tarikan napas dengan putusan MK sebelumnya, yang mengatur syarat jeda lima tahun untuk anggota DPR dan DPRD.
”KPU akan merevisi Pasal 15 Ayat 1 Huruf h Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2022 (tentang Pencalonan DPD) sebagai tindak lanjut putusan MK tersebut,” katanya.
Dalam proses revisi PKPU itu, KPU juga akan berkonsultasi dengan pembentuk UU, yaitu DPR dan pemerintah, melalui rapat dengar pendapat. Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 75 Ayat (4) Undang-undang Pemilu. Masih ada sisa waktu dua bulan bagi KPU untuk mengonsultasikan perubahan PKPU tersebut. Sebab, pendaftaran bakal calon DPD yang telah menenuhi syarat dukungan minimal pemilih baru akan dilaksanakan pada tanggal 1-14 Mei 2023 nanti.
”Sebagai komisioner, saya akan mengusulkan agar putusan MK dapat dimasukkan dalam peraturan KPU. Karena putusan MK final dan mengikat, saya yakin pihak yang menjadi tujuan konsultasi (pembentuk UU) memahami hal tersebut,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua KPU Hasyim Asy’ari menambahkan, putusan itu akan memudahkan KPU dalam merumuskan norma PKPU pencalonan anggota DPR, DPD, dan DPRD provinsi/kabupaten/kota. Sebab, berdasarkan putusan MK itu, terdapat perlakuan setara tentang syarat bagi calon kepala daerah, anggota DPR, DPRD provinsi, kabupaten, dan kota, serta calon DPD.