MK Diminta Samakan Syarat Pencalonan DPD Terkait Mantan Narapidana
Mahkamah Konstitusi diharapkan mengabulkan permohonan uji materi UU Pemilu terkait dengan mantan narapidana yang hendak mencalonkan diri dalam pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi, Selasa (28/2/2023), dijadwalkan membacakan putusan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait syarat calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, khususnya bagi mantan narapidana yang ingin mencalonkan diri dalam Pemilu 2024. MK diharapkan menyamakan syarat calon anggota DPD dengan calon anggota DPR dan DPRD.
Kuasa hukum pemohon, Fadli Ramadhanil, dihubungi di Jakarta, Senin kemarin, mengatakan, bagi narapidana yang akan maju dalam pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, serta DPRD kabupaten/kota, ada jeda waktu lima tahun setelah menjalani masa pidana sebelum mereka bisa maju dalam pemilihan anggota legislatif. Juga ada syarat mereka bukan pelaku kejahatan berulang. Syarat serupa berlaku untuk calon kepala daerah. Pengaturan yang sama untuk semua kluster pejabat hasil pemilu (elected official) penting demi menjaga kepastian hukum.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Menurut dia, pemberlakuan syarat yang sama ini diperlukan agar syarat calon anggota DPD yang berstatus terpidana bisa sama dan konsisten dengan syarat calon terpidana untuk DPR dan DPRD. Sebab, keduanya merupakan lembaga perwakilan yang dipilih melalui proses pemilu.
Penerapannya juga mestinya bisa langsung dilakukan untuk Pemilu 2024 karena proses pendaftaran calon anggota DPD belum dimulai. Saat ini baru masuk tahapan penyerahan dukungan minimal pemilih, sedangkan pendaftaran persyaratan calon baru akan dimulai pada 1 Mei. Dengan demikian, implementasinya tidak akan mengganggu tahapan pencalonan anggota DPD yang telah disusun oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
”Kalau putusannya dibacakan saat masa pendaftaran calon anggota DPD sudah dimulai, bisa jadi masalah. Tetapi, sekarang baru tahap penyerahan dukungan minimal sehingga bisa saja bakal calon anggota DPD memenuhi syarat dukungan minimal, namun tidak memenuhi syarat pencalonan, khususnya mantan narapidana belum memenuhi jeda lima tahun,” kata Fadli.
Adapun pemohon uji materi pasal terkait pencalonan anggota DPD tersebut adalah Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Khoirunnisa Nur Agustyati selaku Ketua Pengurus Yayasan Perludem. Permohonan didaftarkan pada 13 Januari 2023 dan dalam waktu sekitar 1,5 bulan sudah dibacakan putusannya.
Perludem mempersoalkan ketentuan Pasal 182 Huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya frasa ”Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.
Sebelumnya, MK sudah menjatuhkan putusan untuk memperketat syarat pencalonan bagi kandidat dalam pemilihan kepala daerah melalui putusan 56/PUU-XVII/2019 dan anggota DPR dan DPRD melalui putusan 87/PUU-XX/2022. Pengetatan itu, antara lain, dilakukan dengan mengatur mantan terpidana yang akan mengikuti kontestasi elektoral harus melewati jeda waktu lima tahun setelah menjalani masa pidana.
Fadli mengingatkan, perbedaan persyaratan bagi calon anggota DPD dengan calon anggota DPR/DPRD akan membuat ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, MK diminta menyatakan Pasal 182 Huruf g UU No 7/2017 inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai sama dengan tafsir persyaratan calon anggota DPR dan DPRD, termasuk juga syarat calon kepala daerah.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mengatakan, setidaknya ada sembilan bakal calon anggota DPD yang merupakan mantan narapidana. Dari penelusuran Kompas, tiga orang di antaranya belum melewati masa jeda lima tahun saat masa pendaftaran, yakni Muhir, bekas anggota DPRD Mataram, yang bebas pada 14 September 2020; Zaini Arony, bekas Bupati Lombok Barat, yang bebas pada 15 Maret 2022; serta Irman Gusman, mantan Ketua DPD, yang bebas pada 26 September 2019.
”Sepintas, sembilan individu bukan merupakan angka yang besar. Namun, terdapat satu saja individu yang sebelumnya telah menyelewengkan mandatnya karena menerima suap maupun merugikan negara dan publik dapat berkontestasi di dalam perhelatan demokrasi, maka akan mencoreng integritas pemilu,” katanya.
ICW, lanjut Kurnia, mengapresiasi upaya konstitusional yang tengah diupayakan oleh Perludem. Oleh karena itu, dalam memeriksa dan nantinya memutus permohonan tersebut, MK diharapkan dapat bersikap konsisten dengan putusan-putusannya terdahulu yang juga berkaitan dengan persyaratan pejabat politik.
Ia menuturkan, apabila merujuk pada putusan nomor 56/PUU-XVII/2019, persyaratan-persyaratan yang ditegaskan bersifat ketat dan menyoroti pengaturan khusus untuk mantan terpidana, terkhusus terkait tindak pidana korupsi. Setidaknya ada empat syarat penting yang diwajibkan dipatuhi.
Pertama, berlaku untuk jabatan-jabatan publik yang dipilih (elected official). Kemudian, berlaku terbatas untuk jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Ketiga, kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana. Terakhir, bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang atau residivis.
Menurut Kurnia, DPD harus dipastikan diisi oleh orang-orang yang memiliki rekam jejak bersih. Sebab, konstituen pemilihan anggota DPD jauh lebih besar ketimbang anggota DPR. Selain itu, kewenangan DPD cukup besar sehingga penting untuk menghadirkan calon-calon anggota DPD yang memiliki rekam jejak bersih atau setidaknya tidak pernah tersangkut permasalahan hukum.
”Mengutip jajak pendapat Kompas, terungkap bahwa 90,9 persen responden sebenarnya tidak setuju apabila mantan terpidana korupsi menjadi calon anggota legislatif di pemilu. Data ini perlu menjadi pertimbangan MK sebelum memutuskan pengujian UU Pemilu terkait dengan calon anggota DPD,” tuturnya.