Serangan Digital Berpotensi Meningkat di Tahun Politik
Berdasarkan data Safenet, selama tahun 2022 terjadi insiden keamanan digital 302 kali. Insiden keamanan ini meningkat 54 persen dibandingkan tahun sebelumnya, yakni 193 kejadian.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tahun politik, serangan digital diprediksi akan meningkat. Hanya saja becermin dari kasus-kasus serangan digital yang berlangsung belakangan ini, terutama kepada kelompok kritis, tindak lanjut atas pelaporan serangan tersebut dinilai tidak jelas.
Menurut Sekretaris Safenet Anton Muhadjir saat peluncuran ”Laporan Situasi Hak-hak Digital 2022” di Jakarta, Jumat (24/2/2023), selama tahun 2022 terjadi insiden keamanan digital sebanyak 302 kali. Insiden keamanan ini meningkat 54 persen dibanding tahun sebelumnya, yakni 193 kejadian. Tahun 2022, secara rata-rata terjadi lebih dari 25 insiden setiap bulan.
”Peningkatan insiden serangan digital tidak bisa dilepaskan dari situasi politik. Pada saat wacana perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo menjadi tiga periode menguat, setidaknya 12 mahasiswa yang turun ke jalan mengalami serangan digital,” kata Anton.
Safenet juga memprediksi menjelang tahun politik ini, serangan untuk tujuan politis juga akan meningkat tajam. Safenet akan terus mengawasi tren tersebut, terutama serangan-serangan yang terjadi di luar Jawa. Selama ini laporan terhadap serangan digital masih lebih banyak dilaporkan di area Jawa. Laporan yang berasal dari luar Jawa masih jarang dilaporkan.
Menurut Anton, motif serangan yang bertujuan politik ini juga bisa dilihat dari analisis berdasarkan latar belakang korban. Kelompok kritis, seperti aktivis, jurnalis, media, dan organisasi masyarakat sipil, merupakan kelompok yang paling banyak mengalami serangan digital.
Tahun 2022, sebanyak 50 jurnalis atau pekerja media terkena serangan digital. Jumlah ini merupakan yang terbesar ketiga. Dari kalangan aktivis atau organisasi masyarakat sipil, sebanyak 55 orang terkena serangan digital.
Pada September 2022, terjadi serangan secara masif terhadap akun Twitter Mata Najwa, jurnalis, staf media, dan mantan staf Narasi TV. Ada 30 pekerja media Narasi TV, termasuk pemimpin redaksi, produser, reporter, desainer, dan staf sumber daya manusia, yang diserang. Mereka mengalami peretasan di akun digitalnya, seperti Whatsapp, Telegram, Facebook, dan Instagram. Hal itu terjadi karena dampak pemberitaan Narasi TV yang dinilai menyerang instansi tertentu.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito Madrim dan aktivis Bivitri Susanti juga pernah diretas. Akun Instagram Bivitri Susanti diretas pada April 2022. Akun keduanya diretas pada saat bersuara kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
”Peretasan memang masih menjadi bentuk serangan digital yang paling banyak terjadi. Di tahun 2022, terjadi 178 kali insiden peretasan,” kata Anton.
Ironisnya, kata dia, peretasan terhadap kelompok kritis ini jarang terungkap. Anton mengakui selama ini kelompok kritis seolah bertarung pada peperangan yang tidak sama dengan para peretas. Kasus Narasi TV, misalnya, sudah dilaporkan ke kepolisian dengan kuasa hukum dari LBH Pers. Peretas dinilai melanggar Pasal 30 juncto Pasal 32 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pers. Namun, hingga Januari 2023 belum ada kejelasan tindak lanjut dari pelaporan itu.
”Memang, kasus-kasus peretasan terhadap kelompok kritis ini selama ini tidak pernah terungkap secara terang benderang,” katanya.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Usman Kansong mengatakan, laporan situasi digital yang disampaikan oleh Safenet linier dengan perkiraan pemerintah. Kemenkominfo juga telah mendeteksi adanya kerawanan serangan digital pada tahun politik. Hal itu seperti menyebarkan hoaks di ruang digital.
Oleh karena itu, Kemenkominfo akan tetap menerapkan standar yang sudah dimiliki yaitu strategi di hulu, tengah, dan di hilir. Sejak tahun 2020, pemerintah sudah menerapkan strategi di hulu dengan gerakan nasional literasi digital. Ini merupakan gerakan baru yang belum ada di pemilu sebelumnya. Literasi digital bertujuan mengedukasi masyarakat dengan empat pilar, yaitu keterampilan digital, etika digital, budaya digital, dan keamanan digital.
”Menurut kami, pada Pemilu 2024 ini pemerintah sudah lebih siap. Karena beriringan dengan transformasi digital masyarakat, pemerintah juga menerapkan strategi di hulu dengan literasi digital,” ungkapnya.
Untuk strategi di tengah, Kemenkominfo juga melakukan mekanisme pengawasan digital dengan menggunakan sistem identifikasi otomatis yang bekerja terus menerus untuk mengidentifikasi konten-konten negatif. Konten negatif termasuk disinformasi politik, ujaran kebencian, radikalisme, dan terorisme terus dipantau. Selain itu, Kominfo juga memiliki tim patroli siber yang bekerja 24 jam mengawasi ruang digital. Masyarakat pun bisa melaporkan apabila menemukan ada konten negatif di media sosial.
”Laporan masyarakat, baik itu dari partai politik maupun masyarakat, biasanya memang akan meningkat di tahun politik. Kami juga bekerja sama dengan KPU dan Bawaslu untuk identifikasi hal itu," katanya.
Adapun untuk strategi di hilir, pemerintah melakukan upaya penegakan hukum. Apabila memang ditemukan konten yang melanggar hukum, hal itu akan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. Terkait dengan belum optimalnya mekanisme penegakan hukum dalam insiden peretasan pada kelompok kritis, Usman mengatakan pemerintah akan terus memantau perkembangannya.