Kisruh Pimpinan KPK, Tim Independen Diusulkan untuk Dibentuk
Solusi agar pimpinan KPK "outbound" dianggap sebagai ketidakjelian Dewas dalam melihat persoalan. Untuk mencari tahu penyebab friksi di antara pimpinan KPK dibutuhkan tindakan investigasi secara menyeluruh.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO, SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS Presiden Joko Widodo diminta membentuk tim independen guna menginvestigasi menyeluruh problem yang muncul dalam pengambilan keputusan di antara pimpinan KPK. Kehadiran tim ini dinilai penting karena Dewan Pengawas KPK seolah menyederhanakan problem yang muncul.
Selain itu, kemunculan problem tersebut juga perlu menjadi salah satu yang diperhatikan panitia seleksi saat seleksi calon pimpinan KPK 2023-2027. Untuk diketahui, masa jabatan pimpinan KPK periode 2019-2023 akan berakhir Desember tahun ini.
Ketua Indonesia Memanggil 57+ Institute Mochamad Praswad Nugraha, saat dihubungi, Selasa (21/2/2023), mengatakan, sistem pengambilan keputusan kolektif kolegial di antara pimpinan KPK merupakan cara pengimbangan kekuasaan di KPK. Untuk bisa menerapkan dengan baik sistem tersebut dibutuhkan orang-orang yang berintegritas. Jika tidak, kolektif kolegial dinilainya hanya akan menjadi isu perebutan kekuasaan.
”Sistem kolektif kolegial hanya bisa berfungsi di antara orang-orang yang baik dan berintegritas, tidak sebaliknya,” ujar Praswad.
Adanya problem dalam proses pengambilan keputusan di antara pimpinan KPK terkuak setelah Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menyindir gaya kepemimpinan one man show atau satu orang Ketua KPK Firli Bahuri dalam menangani perkara, Kamis (2/2/2023). Sindiran itu muncul saat ia mengomentari surat Lukas yang menagih janji pada Firli soal pemberian izin berobat ke Singapura. Janji tersebut diduga disampaikan saat Firli mengunjungi Lukas di tempat tinggalnya di Papua saat Lukas belum ditahan.
Dua pekan berselang, Ketua Dewan Pengawas (Dewas) KPK Tumpak Hatorangan Panggabean menyampaikan, pihaknya menerima nota dinas pimpinan KPK perihal dinamika pelaksanaan tugas di KPK. Menanggapi nota dinas itu, Dewas telah mendengar keterangan dari seluruh pimpinan KPK dan berkesimpulan bahwa pimpinan KPK perlu meningkatkan penerapan prinsip kolektif kolegial. Kesimpulan itu pun telah disampaikan langsung kepada para pimpinan KPK. Salah satu rekomendasi dari Dewas, menurut Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, adalah pimpinan KPK diminta untuk outbound.
Menurut Praswad, solusi agar pimpinan KPK outbound menunjukkan Dewas tak melihat dengan lebih jeli bahwa ada persoalan yang jauh lebih serius dan mendesak. Untuk mengurai problem itu dibutuhkan tindakan investigasi secara menyeluruh. Dengan melihat sikap Dewas yang seolah menyederhanakan problem yang muncul, Praswad mengusulkan agar tim independen dibentuk Presiden.
”Presiden tidak boleh diam dan seakan menyetujui terus berlanjutnya kontroversi dan rebutan panggung yang terjadi. Langkah tegas harus dilakukan segera,” ujarnya.
Selain itu, mantan penyidik KPK ini juga meminta agar persoalan kolektif kolegial ini menjadi perhatian dalam proses seleksi pimpinan KPK ke depan. Jangan sampai panitia seleksi nantinya merekrut orang yang tidak berintegritas. Jika itu terjadi, sistem kolektif kolegial bisa disalahgunakan.
Pengujian UU KPK
Perihal uji materi pasal terkait batas usia calon pimpinan KPK dalam UU KPK di Mahkamah Konstitusi, pemerintah menegaskan bahwa penentuan batas usia minimum dan maksimum calon pimpinan KPK tak diskriminatif. Pengaturan syarat batas usia itu diperlukan dan disesuaikan tuntutan jabatan atau aktivitas pemerintahan yang dilakukan oleh pejabat terkait.
”Penentuan batas usia minimal dan maksimal dalam ketentuan a quo (Pasal 29 huruf e UU No 19/2019 tentang KPK) diperlukan sebagai penentuan kriteria atau syarat yang berlaku secara umum dan tidak diskriminatif,” kata Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi dalam sidang terbuka pengujian UU KPK, Selasa.
Mualimin Abdi mewakili Menteri Hukum dan HAM serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dalam memberikan keterangan atas pengujian UU KPK oleh Nurul Ghufron. Ghufron menguji Pasal 29 huruf e UU No 19/2019 yang mengatur syarat calon pimpinan KPK harus berusia minimal 50 tahun dan maksimal 65 tahun. Ada perubahan batas usia minimal menjadi calon pimpinan KPK dari yang semula 40 tahun dalam UU KPK lama, UU No 30/2002.
Aturan baru tersebut dinilai merugikan hak konstitusional Ghufron untuk mencalonkan diri kembali sebagai pimpinan KPK mengingat usianya belum genap 50 tahun.
Mualimin Abdi meminta MK menolak permohonan Ghufron. Sebab, menurut pemerintah, tak ada isu konstitusionalitas dalam pengaturan syarat usia calon pimpinan KPK. Pengaturan usia terendah dan tertinggi sangat erat kaitannya dengan pilihan kebijakan atau open legal policy dari pembentuk undang-undang.
Selain tentang batas usia, Nurul Ghufron juga mempersoalkan tentang masa jabatan pimpinan KPK yang hanya empat tahun (Pasal 34 UU KPK). Ia meminta agar masa jabatan itu disamakan dengan lembaga-lembaga lainnya, yakni menjadi lima tahun.
Terkait permohonan itu, pemerintah menganggap eksistensi Pasal 34 itu masih relevan. Pembentuk undang-undang, menurut Mualimin, memiliki alasan saat tak menyamakan masa jabatan pimpinan KPK dengan pimpinan lembaga negara lain.