Perintah Ferdy Sambo Tidak Sah, Hendra Kurniawan Bisa Menolaknya
Jaksa merujuk pada Peraturan Kepolisian Negara RI No 7/2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri bahwa seorang anggota kepolisian bisa menolak perintah atasan.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jaksa penuntut umum dalam kasus perintangan penyidikan terkait penembakan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat menegaskan bahwa perintah untuk cek dan mengamankan rekaman kamera pengawas di sekitar rumah dinas Ferdy Sambo, di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta, bukan merupakan perintah kedinasan. Alih-alih melaksanakan perintah tersebut, jaksa menilai bahwa perintah tersebut sudah seharusnya ditolak.
Hal itu diungkapkan tim jaksa penuntut umum yang dipimpin Donny M Sany dalam sidang lanjutan kasus perintangan penyidikan tewasnya Nofriansyah, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (6/2/2023). Dalam sidang yang dipimpin hakim Ahmad Suhel, dibacakan replik atau tanggapan jaksa penuntut umum terhadap pleidoi terdakwa atau penasihat hukum terdakwa Hendra Kurniawan.
Dalam repliknya, jaksa menyatakan tidak menanggapi nota pembelaan pribadi Hendra secara keseluruhan dan hanya menanggapi pembelaan terdakwa yang menyatakan bahwa perbuatan terdakwa ialah menjalankan kewenangan sesuai prosedur yang telah diatur institusi kepolisian. Tanggapan jaksa tersebut sekaligus menanggapi pleidoi penasihat hukum yang juga menyatakan hal yang sama.
Jaksa mengatakan, penasihat hukum dalam pleidoinya menyatakan bahwa perbuatan Hendra dalam rangka melaksanakan perintah jabatan dan masih termasuk ruang lingkup pekerjaannya selaku Kepala Biro Pengamanan Internal (Karo Paminal) Divisi Profesi dan Pengamanan Polri. Ini dengan merujuk Peraturan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Nomor 1 Tahun 2015 tentang Prosedur Operasi Standar Penyelidikan Pengamanan Internal di Lingkungan Kepolisian Negara RI. Namun, menurut jaksa, selama persidangan, penasihat hukum tidak dapat menunjukkan dasar dilakukannya penyelidikan beserta surat instruksi dari Kadiv Propam Polri kepada Karo Paminal sehingga terbit surat perintah penyelidikan.
Saat peristiwa penembakan Nofriansyah terjadi, 8 Juli 2022, Kadiv Propam Polri dijabat Ferdy Sambo. Sambo seperti diketahui menjadi terdakwa juga di kasus perintangan penyidikan penembakan Nofriansyah selain menjadi terdakwa pembunuhan berencana Nofriansyah.
Terkait dengan kewenangan penyelidikan, lanjut jaksa, kewenangan penyelidikan paminal adalah melaksanakan perekaman, bukan mengambil dan mengganti barang yang terkait audio visual.
Demikian pula sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Nomor 1 Tahun 2015, pihak yang berwenang melaksanakan penyelidikan paminal hanyalah anggota Biro Paminal. Sementara, fakta persidangan menunjukkan bahwa Hendra justru meminta saksi Ari Cahya Nugraha yang merupakan anggota Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri dan meminta Agus Nurpatria berkoordinasi dengan Irfan Widyanto yang juga anggota Bareskrim.
”Seharusnya terdakwa Hendra Kurniawan tidak boleh berhubungan langsung dengan memerintahkan Ari Cahya Nugraha dari Bareskrim Polri dan meminta Agus Nurpatria untuk berkoordinasi dengan Irfan Widyanto dari Bareskrim Polri karena ada hierarki di kepolisian yang harus dipatuhi dalam melaksanakan perintah kedinasan,” tutur jaksa.
Terkait dengan itu, jaksa merujuk pada Peraturan Kepolisian Negara RI Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri, seorang anggota kepolisian bisa menolak perintah atasan. Bahkan, jika perintah itu melanggar norma hukum, bawahan harus melaporkannya ke atasan yang lebih tinggi untuk mendapatkan perlindungan.
Dengan demikian, lanjut jaksa, perintah Ferdy Sambo sebagai atasan kepada Hendra sebagai bawahan seharusnya ditolak oleh Hendra karena perintah tersebut tidak sah dan di luar kewenangannya. Terlebih, tindakan Hendra dalam melaksanakan perintah tersebut telah diuji di Sidang Komisi Kode Etik Polri dan sudah mendapatkan putusan.
”Maka menjadi dasar bagi kami untuk meminta majelis hakim agar menolak seluruh pertimbangan dalam analisis yuridis penasihat hukum, sehingga telah memberikan kesimpulan yang tidak benar dan keliru dalam menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar tindak pidana yang kami dakwakan,” kata jaksa.
Berdasarkan hal itu, jaksa memohon majelis hakim agar dalam putusannya nanti tetap berkeyakinan dengan pertimbangan yuridis yang diajukan jaksa dalam surat tuntutan. Dalam tunturannya, Hendra dituntut pidana 3 tahun penjara karena terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah karena dengan sengaja dan tanpa hak melawan hukum melakukan tindakan apa pun yang mengakibatkan terganggunya sistem elektronik atau mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.
Masih di PN Jakarta Selatan, digelar pula sidang dengan agenda yang sama, yakni pembacaan replik jaksa penuntut umum, terhadap lima terdakwa kasus perintangan penyidikan lainnya, yakni Agus Nurpatria, Arif Rachman Arifin, Baiquni Wibowo, Irfan Widyanto, dan Chuck Putranto. Terhadap setiap terdakwa tersebut, jaksa meminta majelis hakim menolak seluruh nota pembelaan yang telah dibacakan, baik nota pembelaan pribadi maupun penasihat hukum.
Di dalam sidang sebelumnya, jaksa menuntut Agus Nurpatria pidana 3 tahun penjara. Kemudian Baiquni dan Chuck dituntut pidana 2 tahun penjara. Sementara Arif dan Irfan dituntut pidana 1 tahun penjara.
Dukungan kepada Bharada E
Kelompok akademisi yang menamakan dirinya sebagai Aliansi Akademisi Indonesia mendatangi PN Jaksel sebagai Sahabat Pengadilan (amicus curiae) untuk menyerahkan surat dukungan terhadap Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E. Kelompok tersebut diwakili Sulistyowati Irianto, Mayling Oey-Gardiner, dan Asep Iwan Iriawan.
Sulistyowati mengatakan, bagi aliansi, tuntutan jaksa penuntut umum terhadap Richard berupa pidana 12 tahun penjara tidak merefleksikan pengakuan jaksa secara terbuka di persidangan terhadap peranan Richard dalam mengungkap kasus ini. Dalam pandangan aliansi, jaksa penuntut umum melakukan penuntutan tersebut semata karena adanya faktor atasan sebagaimana juga dialami Richard yang harus menuruti perintah atasan untuk menembak Nofriansyah sehingga memperlihatkan relasi kuasa yang timpang.
”Kita mendukung Eliezer bukan karena mendukung dia pribadi, tapi kita ingin reformasi yang total terhadap lembaga penegakan hukum, khususnya kepolisian. Dan, saya kira lembaga penegakan hukum yang lain harus becermin dari kasus ini,” kata Sulistyowati.
Mayling menambahkan, integritas dan kejujuran sangat penting bagi sebuah bangsa. Sebab, tanpa kejujuran, sebuah bangsa akan hancur. Terkait hal itu, Richard dinilai menjadi sosok yang berani membuka kebobrokan struktur di kepolisian yang selama ini membuat bawahan tidak berani melawan atasan sekaligus memberikan pelajaran kepada bangsa ini bahwa kejujuran harus dijunjung tinggi.
”Kami tentu sangat kecewa dengan keputusan jaksa, mengapa dia dianggap sebagai pembunuh, tapi tidak sebagai pengungkap kasus ini? Sebab, tanpa Eliezer, kasus ini tidak akan terungkap,” kata Mayling.
Asep menambahkan, menurut dia, tidak ada dilema yuridis sebagaimana disampaikan jaksa dalam persidangan. Sebab, Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban sudah mengatur bahwa saksi pelaku yang bekerja sama dipidana paling ringan di antara pelaku lainnya.