Efek Domino Perintah Sambo, Hendra dan Agus Dituntut 3 Tahun Penjara
Bekas anak buah Ferdy Sambo, Hendra Kurniawan dan Agus Nurpatria, dapat tuntutan terberat, 3 tahun penjara. Chuck, Arif, dan Baiquni dituntut 2 tahun, sedangkan Irfan Wiyanto 1 tahun penjara.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Eks anak buah Ferdy Sambo, Hendra Kurniawan, dituntut 3 tahun penjara dalam kasus perintangan penyidikan perkara pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat. Selain dinilai dengan sadar menjalankan perintah yang melanggar kewenangan dari atasan, Hendra Kurniawan meneruskan perintah tersebut kepada bawahannya. Bak efek domino, perintah Sambo dijalankan para bawahan dan mereka terkena imbasnya.
Tuntutan untuk Hendra dibacakan dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (27/1/2023). Surat tuntutan dibacakan secara bergantian oleh tim jaksa penuntut umum yang diketuai Donny M Sany. Jaksa menuntut majelis hakim menyatakan terdakwa Hendra melakukan tindak pidana yang melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan dengan sengaja tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan yang berakibat terganggunya sistem elektronik menjadi tidak bekerja semestinya sebagaimana mestinya.
Hal itu sebagaimana dakwaan primer, yakni melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Pasal 55 Ayat (1) Kesatu KUHP.
”Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa Hendra Kurniawan selama 3 tahun penjara dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara, dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan,” kata jaksa di hadapan majelis hakim yang diketuai Akhmad Suhel.
Sidang untuk pembacaan tuntutan Hendra dimulai pukul 14.10 di ruang sidang tiga. Sebelum sidang Hendra, digelar sidang pembacaan tuntutan untuk terdakwa perintangan penyidikan lain, yaitu Arif Rachman Arifin dan Agus Nurpatria. Di ruang sidang empat juga digelar sidang pembacaan tuntutan secara berturut-turut untuk terdakwa perintangan penyidikan, yakni Chuck Putranto, Baiquni Wibowo, dan Irfan Widyanto.
Sebelum sampai pada tuntutan, jaksa lebih dulu menjelaskan unsur-unsur dalam dakwaan primer atas Hendra Kurniawan. Dua di antaranya unsur dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dan unsur mereka yang melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan. Unsur-unsur tersebut, kata jaksa, telah terpenuhi.
Terpenuhinya unsur dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dibuktikan dengan adanya willen en weten (kehendak dan pengetahuan) dari Hendra Kurniawan. Kehendak dan pengetahuan itu berkaitan dengan perintah dari Sambo kepada Hendra untuk ”cek dan amankan” kamera pemantau di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan, yang merupakan tempat pembunuhan Nofriansyah. Jaksa menilai Hendra menghendaki pengambilan digital video recorder (DVR) yang berisi rekaman video dari kamera pemantau. Kehendak itu tampak dari tindakannya meneruskan perintah Sambo kepada Arie Cahya Nugraha alias Acay.
Hendra juga menghendaki terganggunya sistem elektronik berupa DVR dan/atau mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya. Tidak hanya menghendaki, Hendra disebut mengetahui akibat dari perbuatannya itu.
Terlebih, kata jaksa, tidak ada surat perintah penyidikan, surat berita penyitaan, berita acara penyitaan, ataupun surat tanda terima dari ketua RT Kompleks Duren Tiga mewakili warga kawasan tersebut yang merupakan pemilik kamera pemantau.
Namun, Hendra tetap meminta Acay yang dianggap berpengalaman menangani kamera pemantau, termasuk untuk kasus Km 50, untuk menindaklanjuti permintaan Sambo. Padahal, Acay berasal dari unit berbeda dengan Hendra, yaitu Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri.
Apabila dikaitkan dengan kewenangan Biro Pengamanan Internal (Paminal) untuk melakukan penyidikan berdasarkan peraturan kepala divisi propam, jaksa mengatakan, seharusnya pihak yang mengamankan adalah Datasemen C yang menangani informasi dan teknologi. Adapun petugas yang mengambil kamera pemantau adalah orang yang namanya disebut dalam surat perintah penyelidikan, khususnya Biro Paminal, bukan unit lain, apalagi dari Bareskrim.
Oleh karena itu, jaksa menilai, perbuatan Hendra merupakan perbuatan dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum karena ia sadar dan menginsafi perintah Sambo kepadanya adalah sebagai Kepala Biro Paminal, bukan penyidik.
”Tentu ada sesuatu yang diharapkan dari Hendra. Meski mengetahui perintah itu tidak sesuai kewenangan dan aturan berlaku, tidak adanya surat perintah penyidikan, surat berita penyitaan, berita acara penyitaan, dan surat tanda terima dari ketua RT Duren Tiga, Hendra tetap mengikuti permintaan Sambo,” kata jaksa.
Permintaan Sambo yang tidak sesuai kewenangan dan aturan berlaku itu pun diteruskan oleh Hendra kepada bawahannya sehingga membentuk sebuah rangkaian kerja sama yang erat. Akibatnya, unsur mereka yang melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan terpenuhi.
Jaksa mengatakan, terdapat peran bersama-sama antara Hendra dan terdakwa perintangan penyidikan lain, yaitu Ferdy Sambo, Agus Nurpatria, Arif Rachman Arifin, Baiquni Wibowo, Chuck Putranto, dan Irfan Widyanto. Peran itu secara sadar dan secara fisik telah dipikirkan akibatnya secara matang, dilakukan tanpa paksaan, dan satu kesatuan sebagai bentuk rangkaian kerja sama yang erat.
Rangkaian kerja sama itu bermula dari niat Sambo menutupi peristiwa sebenarnya dengan skenario tembak-menembak. Pada 8 Juli 2022, tepat setelah peristiwa pembunuhan Nofriansyah, Sambo memanggil Acay dan Hendra untuk mengecek kamera pemantau pada 8 Juli 2022. Rangkaian ini terus dilanjutkan Sambo dengan menelepon Hendra untuk mengingatkannya melakukan screening dan pengecekan kamera pemantau.
Rangkaian erat peranan bersama-sama atas permintaan Sambo dilanjutkan Hendra dengan memanggil Agus Nurpatria yang saat itu menjabat sebagai Kepala Detasemen A Biro Propam Polri untuk melakukan tindakan screening. Rangkaian berjalan terus dengan Agus Nurpatria meminta Irfan Widyanto secara tanpa hak dan melawan hukum untuk mengambil dan mengganti DVR.
”Rangkaian tindakan masing-masing mengakibatkan tindak pidana terlaksana atau sempurna,” kata jaksa.
Adapun hal yang memberatkan Hendra antara lain tidak mengakui secara jujur perbuatannya di persidangan dan masih berkilah mencari alibi yang tidak bisa dibuktikan di persidangan. Selain itu, Hendra merupakan perwira tinggi polisi yang sudah berpengalaman puluhan tahun sehingga jaksa menilai ia seharusnya memahami dan mengetahui bagaimana tindakan seorang polisi saat ada peristiwa tindak pidana.
(Dari kiri ke kanan) Komisaris Baiquni Wibowo, Komisaris Chuck Putranto, Ajun Komisaris Besar Arif Rachman Arifin, dan Ajun Komisaris Irfan Widyanto diperlihatkan kepada awak media di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Rabu (5/10/2022).
Hendra yang saat itu menjabat sebagai Karo Paminal juga seharusnya mengawasi perilaku anggota Polri agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan, bukan malah ikut dalam tindakan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara satu hal yang meringankan Hendra adalah prestasinya di institusi Polri. Selain dituntut 3 tahun penjara, Hendra juga didenda Rp 20 juta subsider 3 bulan kurungan.
Sama seperti Hendra, eks anak buah Sambo lainnya, Agus Nurpatria, juga dituntut 3 tahun penjara. Agus juga didenda Rp 20 juta subsider 3 bulan kurungan. Tuntutan itu diberikan kepada Agus karena perannya, antara lain, meneruskan perintah Hendra yang berasal dari Sambo untuk mengamankan kamera pemantau. Agus meminta Irfan Widyanto untuk mengamankan kamera pemantau tanpa ada surat perintah yang sah.
Adapun jaksa menuntut Arif Rachman Arifin, Baiquni Wibowo, dan Chuck Putranto pidana 2 tahun penjara. Ketiganya juga dituntut membayar denda sebesar Rp10 juta subsider 3 bulan kurungan. Tuntutan diajukan jaksa karena Arif berperan meneruskan perintah Sambo untuk menghapus dan memusnahkan file rekaman kamera pemantau kepada Baiquni. Arif juga merusak atau mematahkan laptop yang sebelumnya berisi salinan rekaman kemara pemantau.
Sementara itu, Baiquni berperan menyalin dan menghapus informasi atau dokumen elektronik di DVR serta mengakses barang bukti DVR terkait peristiwa pidana secara ilegal dan tidak sesuai prosedur forensik digital. Chuck Putranto berperan mengganti, mengambil, dan menyimpan DVR kamera pemantau dari pos sekuritiyang berlokasi di Kompleks Polri Duren Tiga berdasarkan perintah yang tidak sah menurut ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan.
Arif Rachman Arifin terakhir menjabat sebagai Wakil Kepala Detasemen B Biro Paminal Divisi Propam Polri. Sementara itu, Baiquni merupakan mantan Pemangku Sementara Kasubag Pemeriksaan Bagian Penegakan Etika Biro Pertanggungjawaban Profesi (Baggak Etika Rowabprof) Divisi Propam Polri. Adapun Chuck merupakan mantan Pemangku Sementara Kasubag Audit Baggak Etika Rowabprof Divisi Propam Polri.
Satu terdakwa lain, Irfan Widyanto, dituntut 1 tahun penjara dan denda sebesar Rp 10 juga subsider 3 bulan penjara. Eks Kasubnit I Subdit III Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri ini dinilai berperan mengambil dan mengganti DVR kamera pemantau yang berada di Kompleks Polri Duren Tiga.