Wacana penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden hanya bisa direalisasikan melalui amendemen konstitusi. Hingga kini, tak ada pembicaraan soal merealisasikan wacana itu di MPR.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wacana penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden membuat kondisi politik tidak pasti, bahkan jika dibiarkan bakal merusak demokrasi. Hingga kini, sama sekali belum ada pembicaraan untuk merealisasikan wacana tersebut di MPR.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo menerangkan, meloloskan wacana tersebut menjadi kenyataan tidaklah mudah. Keputusan mengenai itu kini ada di tangan para ketua umum partai politik di parlemen.
Sebelumnya, beredar berita dari mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana yang menyebutkan ada kelompok tertentu yang menginginkan hal tersebut terwujud lewat Sidang Istimewa MPR.
”Mekanisme sidang istimewa tidak mudah, sangat tergantung dari parpol yang ada di parlemen. Apakah ketum parpol setuju menunda pemilu, tanya ketum parpolnya saja,” ucap politisi senior Golkar ini, di Jakarta, Minggu (5/2/2023).
Sementara itu, Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani menegaskan, PPP tetap berada dalam kelompok yang menginginkan penyelenggaraan Pemilu 2024 dilakukan sesuai jadwal, yaitu 14 Februari 2024. Ia mengingatkan, masih terdengarnya suara yang menginginkan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan tersebut karena memang ada kelompok yang menyuarakannya.
Arsul memaklumi jika masih ada yang mencoba menyuarakan ini karena itu bagian dari konsekuensi negara demokrasi, di mana masyarakat ataupun kelompok bebas berpendapat. Untuk itu, meminta mereka berhenti menyuarakan wacana tersebut percuma. Meski demikian, hingga kini, Wakil Ketua Umum PPP ini menegaskan tidak ada satu fraksi pun di MPR yang menginginkan itu terjadi.
”Kami menyiapkan diri untuk Pemilu 2024, tidak terpikir tentang penundaan pemilu. Pernyataan dari Pak Mardiono (Plt Ketum PPP), yang menyebut mungkin saja pemilu ditunda, itu untuk mengingatkan bahwa memang masih ada kelompok yang meninginkan itu, kita bisa rasakan semua mungkin siapa,” ucapnya.
Kepentingan rakyat
Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Hidayat Nur Wahid juga menolak wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Bahkan, menurut dia, pemerintah seharusnya tidak diam jika melihat ada kelompok ataupun politisi yang mencoba meloloskan wacana tersebut karena hal tersebut tidak taat pada konstitusi. Isu liar itu harus ditertibkan agar semua pihak bisa benar-benar fokus terhadap pelaksanaan Pemilu 2024.
”Seharusnya kalau ada jangan dibiarkan memiliki pendapat semacam itu, kita dalam bernegara harus taat pada konstitusi. Manuver seperti itu harus dihentikan,” jelasnya.
Hidayat melanjutkan, wacana yang dilontarkan juga sulit direalisasikan karena syarat satu pertiga anggota MPR, sebanyak 237 orang, harus dipenuhi terlebih dahulu agar proses amendemen UUD 1945 bisa dimulai. Mengubah masa jabatan presiden dan mengatur ulang masa pelaksanaan pemilu perlu dilakukan lewat amendemen konstitusi.
Berkaca pada hal itu, pintu yang digunakan sebagai jalan masuk amendemen pun diyakininya sudah tertutup. Bahkan, pembahasan untuk memasukkan Pokok-Pokok Haluan Negara melalui amendemen konstitusi juga tidak diterima karena rawan ditunggangi isu yang sama.
”Tidak ada pimpinan MPR yang setuju, sampai hari ini tidak ada satu anggota pun mengusulkan hal ini, padahal syarat amendemen 1/3 anggota MPR setuju mengamendemen UUD 1945. Sampai hari ini? Satu orang pun tidak ada yang mengusulkan,” ucapnya.
Pernyataan sedikit berbeda dilontarkan oleh Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid. Ia menyebut, pada dasarnya sudah tidak ada lagi alasan yang tepat untuk menunda pemilu, layaknya alasan dahulu, yaitu penundaan perlu dilakukan karena masih adanya pandemi. Jazilul menambahkan, hingga kini, semua partai di parlemen pun sudah mengekspresikan penolakannya.
Meskipun begitu, jika penundaan pemilu dilakukan dengan alasan rasional, yaitu atas kepentingan masyarakat, Partai Kebangkitan Bangsa bisa saja menyetujui.
”Sudah tidak ada lagi alasan untuk menunda pemilu. Sekarang mau ditunda atas nama apa, kalau penundaan itu hanya kepentingan orang tertentu saja, ya PKB off dulu, tetapi kalau penundaan itu untuk kepentingan rakyat, PKB ada di situ. Kalau rakyat mau ditunda, ya ditunda saja,” ucapnya.
Dihubungi terpisah, pengajar pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menjelaskan, masih bergulirnya wacana perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan pemilu mengindikasikan adanya kelompok yang mencoba memanfaatkan agenda tersebut untuk kepentingan politiknya.
Penundaan pemilu hanya akan memberikan ketidakpastian, mengingat tahapan penyelenggaraan pemilu sudah berjalan cukup panjang.
Ia sekaligus mengkritik pernyataan yang menyebut perbincangan mengenai wacana tersebut wajar terjadi di negara dengan sistem demokrasi. Hal ini kontradiktif karena topik penundaan pemilu jelas akan mencederai demokrasi. Pemberlakuan wacana tersebut juga dapat menciptakan instabilitas karena berpotensi menimbulkan gelombang protes yang besar dari masyarakat.
”Bila ada pihak menyebut bahwa wajar wacana-wacana seperti ini diperbincangkan di negara demokrasi, itu sebetulnya bertolak belakang dengan tujuan demokrasi karena hal yang sedang diperbincangkan berpotensi merusak demokratisasi di negara ini,” ucapnya.