Nasdem Komitmen Dukung Pemerintahan Jokowi hingga Akhir Masa Jabatan
Di tengah isu perombakan kabinet, Nasdem tetap berkomitmen mendukung pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin hingga akhir masa jabatan. Surya Paloh menyerahkan keputusan mengenai perombakan kabinet sepenuhnya kepada Jokowi.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam pertemuan di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Golkar, di Jakarta, Rabu (1/2/2023), pimpinan Partai Nasional Demokrat dan Partai Golkar bersepakat untuk tetap solid, khususnya dalam menjalankan roda pemerintahan sebagai dua partai pendukung Joko Widodo. Mengenai koalisi, keduanya tetap membuka diri dengan setiap kemungkinan yang ada.
Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Surya Paloh menjelaskan, kedatangannya ke Kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Golkar adalah untuk mendiskusikan berbagai persoalan agar ada soliditas di antara kedua partai dalam menjawab berbagai tantangan di tahun 2023. Pertemuan keduanya juga dinilai penting untuk memberikan hawa stabilitas politik di tengah tahun yang menantang ini.
Ia menambahkan, kunjungan ini bukanlah permintaan khusus dari Presiden Joko Widodo, setelah dirinya bertemu di Istana Negara, Bogor, Kamis (26/1/2023). Pasca-pertemuan tersebut, Surya merasa tidak ada yang berubah dari hubungan baik keduanya. Ia pun tidak heran apabila pertemuan tersebut ditafsirkan secara luas karena memang sedang dalam tahun politik.
”Saya diterima dengan baik. Apakah ada perintah Pak Jokowi untuk ketemu Golkar, secara lisan tidak ada. Saya tidak tahu situasi batin beliau, tetapi yang saya tahu kami harus memprioritaskan suasana yang sejuk dan kondusif di antara partai koalisi di pemerintahan. Ini untuk kepentingan publik,” ucapnya.
Dalam kunjungan ini, Nasdem kembali menegaskan dukungannya terhadap pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin. Di tengah terpaan isu perombakan kabinet, Surya menambahkan, ia dan partainya komitmen untuk mendukung pemerintahan dengan baik sampai akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo. Dukungan partainya terhadap pemerintahan dipastikan bukanlah dukungan yang retoris atau sesaat saja.
”Mengenai reshuffle sepenuhnya hak prerogatif presiden, prosesnya adalah sebuah proses kematangan dalam berpolitik. Meski demikian, wajib bagi kami menuntaskan dan membantu jalannya pemerintahan dengan baik sampai akhir masa jabatan,” tambahnya.
Ketika ditanya mengenai mengapa mengunjungi Golkar dan bukan partai Koalisi Perubahan setelah pertemuan dengan Presiden Joko Widodo, Surya menyebut, Golkar memang menjadi salah satu prioritas. Hubungan baik Surya Paloh dan Golkar menjadi salah satu alasan utama mengingat ia lama berkarier di partai berlambang pohon beringin ini.
Mengenai kemungkinan partainya bergabung dengan Koalisi Indonesia Bersatu ataupun sebaliknya, ia menambahkan, kemungkinan tersebut masih terbuka lebar.
Nasdem tidak mendukung Joko Widodo-Ma'ruf Amin untuk kepentingan sesaat saja. Wajib bagi kami menuntaskan dukungan hingga akhir masa jabatan dengan baik. (Surya Paloh)
”Golkar adalah prioritas bagi Nasdem karena ada romantisisme. Sejak saya 16 tahun sudah di Golkar dan di partai ini selama 43 tahun. Mengapa tidak berkunjung ke partai lain? Ya kita, kan, baru mencoba,” jawabnya.
Terkait apakah akan mengunjungi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Surya menjelaskan, keinginan itu ada, tetapi masih menunggu waktu yang tepat. ”Keinginan itu ada, kita kasih kode-kode dulu. Kapan Bu Megawati ada waktu yang baik semoga suasana kebatinan dan harapan penerimaan sama. (Keinginan bertemu PDI-P) jelas ada dong,” jelas Surya.
Sementara itu, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menjelaskan, hal utama yang menjadi pembicaraan di antara keduanya adalah tentang bagaimana menghadapi ketidakpastian situasi di tahun 2023. Selain itu, keduanya juga bersepakat untuk tetap solid dalam menjalankan pemerintahan di bawah Presiden Joko Widodo.
Kerja sama pemerintah dengan partai politik lainnya juga masih terjalin agar beberapa agenda penting, seperti pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pemilihan Umum, Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, dan undang-undang lain, bisa berjalan dengan lancar untuk memuluskan pertumbuhan ekonomi.
”Modal pokok menghadapi situasi tidak menentu ini adalah stabilitas politik. Kita harus tetap solid, apalagi pemerintah Indonesia sedang mendapatkan kepercayaan dunia pasca-G20,” ucapnya.
Keduanya juga sudah bersepakat agar pelaksanaan Pemilu 2024 dilakukan seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yaitu dengan sistem proporsional terbuka, meski partainya dan Nasdem memiliki tingkat keterkenalan di masyarakat yang cukup tinggi.
Airlangga menambahkan, perkembangan konsolidasi di Koalisi Indonesia Bersatu masih terus berjalan dengan terus berkomunikasi antarpartai di dalamnya. Golkar dan Nasdem masih terbuka dan saling menghargai langkah politik yang diambil masing-masing.
”Kita saling menghargai, tetapi yang kita utamakan adalah persoalan negara dulu supaya pemerintah stabil dan koalisi pendukung pemerintah juga stabil, jadi suasananya kondusif,” jelasnya.
Pengamat politik Badan Riset dan Inovasi Nasional, Siti Zuhro, mengatakan, kunjungan Surya Paloh ke kantor Golkar setelah bertemu dengan Presiden Joko Widodo dapat dimaknai publik sebagai adanya intervensi pemerintah mengenai koalisi yang dibentuk. Ia menambahkan, sejak memutuskan untuk mendukung Anies Baswedan pada akhir 2022, berbagai isu politik menerpa Partai Nasdem, salah satunya isu perombakan kabinet.
”Apabila kita lihat ke belakang, Surya Paloh punya insting politik yang jeli sehingga memiliki perhitungan matang dalam menentukan dukungan. Nasdem selalu terdepan mendukung seseorang dan menang. Namun, sekarang sepertinya harus menghitung ulang kembali karena sedikit was-was setelah mendukung Anies yang dipersepsikan publik sebagai oposisi pemerintah,” ucapnya.
Zuhro mengkritik gaya koalisi yang sering dilakukan oleh partai politik di Indonesia yang dinilai hanya didasarkan pada kepentingan politik saja, bukan karena mendengarkan masukan dari masyarakat. Hal ini terjadi karena partai politik tidak membangun basis massa yang kuat dan hanya mendekati masyarakat saat pemilu mendekat.
”Tidak ada yang bisa menjadi role model dalam berpolitik. Calon yang dipilih karena di-trigger kepentingan politik saja, bukan karena masyarakat,” ucapnya.