Setahun Terbengkalai, Revisi UU ITE Akhirnya Dibahas Pekan Ini
Surat Presiden usulan pembahasan revisi UU ITE telah dilayangkan pemerintah kepada DPR pada Desember 2021. Namun, pembahasan oleh DPR baru akan dimulai pada Rabu pekan ini.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah lebih dari satu tahun terbengkalai, revisi Undang-Udang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik akhirnya akan segera dibahas. Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat telah menjadwalkan untuk mengumpulkan pandangan dan masukan dari masyarakat pada pekan ini. Revisi ini diharapkan mengembalikan tujuan awal pembentukan aturan ini, yaitu mengatur tentang transaksi elektronik di era digital, bukan malah menjadi alat pemidanaan untuk kasus-kasus pencemaran nama baik.
Menurut rencana, Komisi I DPR akan menggelar rapat dengar pendapat umum membahas revisi UU ITE pada Rabu (25/1/2023). ”Rabu mendatang akan dimulai rapat dengar pendapat umum dengan beberapa akademisi untuk membahas revisi UU ITE,” kata anggota Komisi I DPR, Christina Aryani, saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (22/1/2023) malam.
Rancangan Undang-Undang perubahan atas UU ITE (RUU ITE) merupakan usul inisiatif pemerintah. Presiden sudah mengirimkan surat presiden (surpres) usulan pembahasan RUU ITE pada Desember 2021. Namun, pimpinan DPR baru mengumumkan tentang adanya surpres revisi UU ITE pada rapat paripurna di bulan November 2022.
Revisi ini diharapkan menjadi upaya evaluasi terhadap UU ITE yang dinilai sudah menyimpang dari tujuan utamanya.
Menurut Christina, salinan draf RUU ITE itu bahkan belum dibagikan kepada para anggota Komisi I DPR yang ditugaskan untuk membahas bersama pemerintah. Meski begitu, politikus Partai Golkar tersebut berharap, revisi dilakukan untuk mengembalikan tujuan awal pembentukan regulasi ini, yakni mengatur informasi dan transaksi elektronik di era digital. Pasal-pasal karet atau multitafsir hendaknya dihapus untuk menghindari penyalahgunaan agar tidak memakan korban, terutama dari kalangan masyarakat umum.
Anggota Badan Legislasi DPR, Taufik Basari, menambahkan, revisi ini diharapkan menjadi upaya evaluasi terhadap UU ITE yang dinilai sudah menyimpang dari tujuan utamanya. ”UU ITE dimaksudkan untuk mengatur mengenai transaksi elektronik, mekanisme pidana untuk penegakan kejahatan transaksi digital seperti carding dan phising, tetapi kemudian malah banyak soal pasal-pasal penghinaan di ranah digital. Harus menjadi bahan evaluasi,” ujarnya.
Penyusunan kembali isi aturan ini pun diharapkan membawa semangat pembaruan. Apalagi, dalam draf RUU ITE yang disusun pemerintah, sejumlah pasal multitafsir telah diubah dan dicabut. Beberapa aturan, terutama terkait pencemaran nama baik, juga sudah diatur di KUHP baru. Hal tersebut diharapkan mengurangi potensi penyalahgunaan UU ITE di masa depan.
Taufik memaparkan, salah satu pasal karet dalam UU ITE adalah Pasal 28 Ayat (2) yang tidak rinci mendefinisikan istilah ”antar-golongan”. Saat ini, ketentuan tersebut sudah diatur dalam Pasal 242 KUHP yang mendefinisikan istilah ”antar-golongan” secara rinci. Tak hanya itu, KUHP juga mengurangi ancaman pidana maksimal bila melanggar pasal tersebut, dari 6 tahun menjadi 3 tahun.
”Penghinaan dalam ranah digital tidak perlu lagi diatur di revisi kali ini karena sudah ada di KUHP,” ujarnya.
Meski demikian, Taufik juga mengingatkan bahwa KUHP akan berlaku tiga tahun lagi. Karena itu, ia meminta aparat penegak hukum untuk memiliki semangat yang sama dengan KUHP, terutama dalam memroses kasus pencemaran nama baik di ranah digital.
Adanya irisan antara UU ITE dan KUHP pun perlu menjadi perhatian. Taufik menyarankan pembahasan aturan ini dilakukan oleh panitia khusus lintas komisi, bukan hanya panitia kerja di Komisi I.
”Dalam revisi nanti, diharapkan tidak ada lagi pasal-pasal karet yang masuk dan revisinya bisa juga berpedoman dengan KUHP. Semangatnya semangat KUHP. Agar ada harmonisasi UU ITE dan KUHP ini, pembahasan revisinya sebaiknya dilakukan pansus agar Komisi III bisa juga terlibat karena urusannya dengan KUHP, walaupun kemungkinan besar akan jadi tanggung jawab Komisi I,” katanya.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar menyebut, revisi UU IT harus dilakukan mengembalikan fungsi dan tujuan awal aturan itu. Ketentuan dalam UU ITE mesti disesuaikan pula dengan regulasi lain, seperti UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi.
Menurut Wahyudi, ada beberapa masukan yang perlu menjadi perhatian DPR saat merevisi UU ITE tersebut. Pertama, kurasi konten internet yang kewenangannya kini banyak diambil oleh pemerintah. Ia berharap kewenangan untuk membatasi konten di internet haruslah dilakukan bertingkat yang melibatkan platform media sosial pula.
”Pengawasan konten internet harus bertingkat, mulai dari masyarakat mengadu ke platform, lalu platform memberikan keputusan ke pemerintah, dan pemerintah bisa memutuskan. Selama ini, penghapusan konten internet itu aduan datang dari kewenangan pemerintah, bukan dari aduan masyarakat,” ujarnya.
Kedua, revisi UU ITE diharapkan juga memuat mengenai pertanggungjawaban platform digital, yang dinilai tidak diatur dengan baik, padahal memiliki peran besar dalam menentukan arah dan sumber informasi. Ia mencontohkan, tumbuh suburnya hate speech di sosial media, bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat, melainkan juga platform.
”Tahun lalu, Uni Eropa mengeluarkan Digital Services Act, yang mengatur tentang tranparansi dan model pertanggungjawaban platform bila terjadi sesuatu hal yang memberi dampak buruk. Kalau ada sesuatu, mereka juga diminta tanggung jawab. DPR bisa mulai mempelajari aturan itu sebagai rujukan, apalagi untuk antisipasi gelombang hoaksdi tahun politik,” ujarnya.