Hampir Setahun Berlalu, DPR Baru Proses Revisi UU ITE
Surpres revisi UU ITE baru dibacakan dalam Rapat Paripurna DPR hari ini. Padahal, surpres telah dilayangkan Presiden Joko Widodo akhir tahun lalu. Revisi UU ITE mendesak dilakukan karena banyak pasal karet di dalamnya.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hampir setahun berlalu, surat dari Presiden Joko Widodo yang meminta revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE dibahas dilayangkan ke DPR, para wakil rakyat di Senayan baru memprosesnya. Padahal, warga yang dijerat dengan pasal karet dalam UU ITE terus bertambah jumlahnya.
Mulai diprosesnya revisi UU ITE oleh DPR ditandai dengan dibacakannya surat presiden (supres) yang mengajukan pembahasan revisi UU ITE dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (17/11/2022). Ketua DPR Puan Maharani yang membacakan surat tersebut. ”Perlu kami beritahukan bahwa pimpinan DPR sudah menerima surat dari Presiden Nomor R58 tanggal 16 Desember 2021 tentang Rancangan UU Perubahan kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE,” ujar politisi PDI-P ini.
Setelah surat dibacakan, Badan Musyawarah DPR akan menentukan alat kelengkapan di DPR yang akan membahas revisi UU tersebut dengan pemerintah.
Namun, menurut Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Lodewijk F Paulus, tak tertutup kemungkinan, RUU itu akan dibahas oleh lintas komisi, yakni Komisi I DPR yang membidangi urusan komunikasi dan informatika dan Komisi III DPR yang membidangi urusan hukum. Dengan kata lain, bisa saja dibentuk panitia khusus. Komisi III DPR perlu dilibatkan karena substansi revisi UU ITE banyak yang berkaitan dengan persoalan hukum. ”Kan, ini semua masalah hukum,” tambahnya.
Seperti diketahui, kajian dan rekomendasi revisi UU ITE sebenarnya sudah dirampungkan tim di bawah Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM sejak Juni 2021. Naskah akademik dan draf RUU lantas dirampungkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika selaku kementerian pemrakarsa. Setelah itu, surpres revisi UU ITE telah dilayangkan ke DPR, akhir tahun lalu. Revisi UU ITE juga telah dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2022.
Menurut Lodewijk, surpres baru dibacakan dan revisi UU ITE baru akan dibahas oleh DPR karena sebelumnya Komisi I DPR sibuk membahas RUU Pelindungan Data Pribadi (PDP). Setelah RUU itu tuntas disahkan, barulah revisi UU ITE bisa diproses. Namun, ia tak bisa menjanjikan revisi itu akan langsung dibahas di masa persidangan kali ini karena masih ada RUU Penyiaran yang juga jadi fokus Komisi I DPR.
”Mudah-mudahan kami segera dapat membahasnya karena itu sudah masuk Prolegnas prioritas,” kata Lodewijk ditemui seusai rapat paripurna.
Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Abdul Kharis Almasyhari mengatakan, untuk mengisi kekosongan setelah RUU PDP disahkan dan diundangkan, pihaknya memutuskan membahas RUU Penyiaran terlebih dahulu lantaran supres revisi UU ITE belum dibacakan.
Setelah supres dibacakan hari ini, lanjut Kharis, Komisi I DPR menunggu penugasan dari Badan Musyawarah DPR untuk membahas revisi UU ITE. Problemnya, menurut dia, tak mungkin Komisi I DPR membahas dua RUU sekaligus. Terlebih, pembahasan RUU Penyiaran untuk menjadi RUU inisiatif DPR sudah hampir selesai.
Kendati demikian, jika nantinya memang ditunjuk untuk membahas revisi UU ITE, Komisi I DPR bisa memanfaatkan waktu ketika pemerintah mempersiapkan daftar inventarisasi masalah (DIM) untuk RUU Penyiaran.
”Kalau RUU Penyiaran drafnya sudah disetujui, lalu diusulkan DPR untuk dibahas pemerintah, pemerintah akan menyiapkan DIM sandingan. Itu butuh waktu 2-3 bulan. Nah, waktu tersebut bisa untuk membahas revisi UU ITE. Revisinya juga, kan, minor. Jadi, pasti tidak terlalu lama,” ucapnya.
Desakan untuk segera merevisi UU ITE mengemuka karena masifnya pemidanaan dengan pasal karet dalam UU ITE. Ini terutama Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tentang Pencemaran Nama Baik. Berdasarkan catatan Paguyuban Korban Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (Paku ITE), pemidanaan dengan pasal-pasal karet itu belum berhenti hingga Oktober 2022. Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Negara RI tentang Pedoman Implementasi UU ITE yang terbit Juli 2021 tak bisa menghentikan terus bertambahnya kasus-kasus pemidanaan tersebut. Setidaknya, sepanjang 2022, ada dua kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan dan ditindaklanjuti oleh kepolisian kendati tak sesuai dengan ketentuan yang ada di SKB Pedoman Implementasi UU ITE.