Rekomendasi Terkait Pelanggaran HAM Berat Mulai Dijalankan Dua Bulan Lagi
Presiden Joko Widodo akan menemui korban pelanggaran HAM berat masa lalu yang ada di dalam dan luar negeri. Hal ini menjadi langkah awal pemulihan korban.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menargetkan dalam dua bulan ke depan, instruksi presiden untuk penyelesaian 11 rekomendasi tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu atau PPHAM bisa dirampungkan. Setelah itu, Presiden Joko Widodo akan mengunjungi korban pelanggaran HAM berat, baik di dalam maupun luar negeri. Selain langkah awal untuk pemulihan korban, hal ini juga diharapkan jadi langkah awal untuk menggali kebenaran menuju rekonsiliasi.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (20/1/2023), mengatakan, semua langkah untuk merealisasikan rekomendasi Tim PPHAM akan dituangkan dulu dalam instruksi presiden (inpres) kepada 17 kementerian dan lembaga. Inpres akan dilengkapi dengan keputusan presiden tentang tim pemantau agar materi dan tenggat setiap program dapat terkendali.
”Direncanakan dalam dua bulan ke depan kami sudah akan kick off. Ada usul agar kick off implementasi itu dimulai dengan kenduri dan zikir nasional sesuai dengan spesifikasi kasus dan daerahnya. Namun, ini baru salah satu usul,” katanya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi sebagai kepala negara mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat di 12 peristiwa masa lalu setelah menerima rekomendasi Tim PPHAM di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (11/1/2023). Selain memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk menyampaikan pengakuan dan penyesalan atas terjadinya pelanggaran HAM berat masa lalu, tim juga merekomendasikan pemulihan hak korban dalam dua kategori, yakni hak konstitusional sebagai korban dan hak sebagai warga negara.
Tim juga merekomendasikan penyusunan ulang sejarah dan rumusan peristiwa sebagai narasi sejarah versi negara yang berimbang seraya mempertimbangkan hak asasi pihak-pihak yang telah menjadi korban peristiwa. Rekomendasi lain, membuat kebijakan negara untuk menjamin ketidakberulangan pelanggaran HAM berat (Kompas, 12/1/2023).
Penuhi janji
Mahfud memastikan Presiden akan memenuhi janjinya untuk mengunjungi para korban, baik di dalam maupun luar negeri. Hal itu akan dilakukan setelah ada payung hukum inpres dan keputusan presiden (keppres).
Untuk sementara, langkah awal pemulihan yang dilakukan kepada korban adalah Presiden akan mengunjungi korban pelanggaran HAM berat masa lalu di Talangsari (Lampung), Aceh, hingga di luar negeri. Korban pelanggaran HAM berat masa lalu, terutama di Eropa Timur, akan diberikan jaminan bahwa mereka warga negara Indonesia yang memiliki hak-hak yang sama.
Kemungkinan besar, lanjut Mahfud, korban pelanggaran HAM berat masa lalu di luar negeri akan dikumpulkan di Geneva (Swiss), Amsterdam (Belanda), Rusia, dan lokasi lainnya. Mereka bisa memilih apakah akan kembali ke Tanah Air atau tidak.
Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi manusia (Komnas HAM) Abdul Haris Semendawai saat berkunjung ke Kompas Gramedia, Jumat, mengatakan, Komnas HAM ingin janji Presiden tak hanya menjadi janji politik semata yang muncul menjelang berakhirnya masa jabatan Presiden. Komnas HAM akan mengawal realisasi dan aksi yang jelas agar korban benar-benar mendapatkan haknya.
”Kami juga sudah bertemu dengan Presiden Jokowi. Kami sampaikan bahwa ada 16 kasus yang sudah diselidiki Komnas HAM dan ditetapkan menjadi pelanggaran HAM berat. Kami sampaikan mengapa yang disesali dan diakui hanya 12 pelanggaran HAM berat. Bagaimana dengan korban yang lain?” ungkapnya.
Meskipun empat pelanggaran HAM berat, yaitu Peristiwa Tanjung Priok 1984, Peristiwa Timor-Timur 1999, Peristiwa Abepura 2000, dan Peristiwa Paniai 2014, sudah disidangkan dan terdakwa yang diadili divonis bebas, menurut dia, korban tetap berhak mendapat hak-hak pemulihan. Dari hasil pertemuan dengan Presiden di Istana Negara, Menko Polhukam mengatakan, kebijakan itu sangat terbuka untuk dikoreksi. Komnas HAM akan mengawal komitmen pemerintah itu.
Pengungkapan kebenaran
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar berpandangan, tugas yang perlu dilakukan setelah rekomendasi dari Tim PPHAM adalah bagaimana mendorong proses pengungkapan kebenaran secara lebih utuh. Sebab, dalam Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 yang menjadi payung hukum lahirnya Tim PPHAM, belum ada diksi tentang pengungkapan kebenaran pada masa lalu. Oleh karena Presiden telah mengakui dan menyesalkan 12 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, dia berharap ada pengungkapan kebenaran yang prosedurnya lebih partisipatif, baik kepada korban maupun masyarakat umum.
”Momen pertemuan antara Presiden dan korban seharusnya didorong sebagai langkah awal untuk pengungkapan kebenaran. Ini penting untuk membangun narasi baru tentang sejarah Indonesia yang selama ini dibuat sedemikian rupa untuk kepentingan pemenang,” tutur Wahyudi.
Pengungkapan kebenaran itu, ujar Wahyudi, juga merupakan bagian dari memenuhi hak korban, yaitu hak untuk tahu dan hak atas kebenaran. Dia juga berpandangan bahwa pertemuan dengan korban seharusnya dimanfaatkan untuk mengetahui apa yang sebenarnya dikehendaki oleh korban sebagai langkah pemulihan itu. Dengan luasnya dimensi dari 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu, setiap korban memiliki situasi dan kebutuhan berbeda-beda.
Korban peristiwa 1965/1966, misalnya, membutuhkan pemulihan reputasi karena selama ini mengalami diskriminasi sosial dan politik. Adapun korban penghilangan orang paksa butuh penegasan status keluarga mereka. Apakah keluarga mereka yang selama ini hilang masih dalam keadaan hidup atau sudah meninggal? ”Jangan dibayangkan pemulihan korban itu sama rata setiap korban. Harus diperhatikan kondisi dan kebutuhan dari setiap korban dan itu harus didetailkan melalui inpres/keppres yang akan dibuat presiden,” katanya.
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro juga sepakat bahwa kebutuhan pemulihan korban tidak sama. Dalam peristiwa kerusuhan 1998, misalnya, ada kasus-kasus kejahatan berbasis jender. Korban pemerkosaan membutuhkan bentuk pemulihan secara spesifik.
”Para korban yang memang menghendaki penyelesaian non-yudisial itu perlu didengarkan aspirasinya. Bisa jadi keinginan mereka pemulihan nama baik, bukan kompensasi yang sifatnya materiil. Ada juga yang membutuhkan bantuan usaha. Semua itu perlu proses konsultasi dengan korban secara komprehensif,” katanya.