Disita Sejumlah Aset Senilai Rp 33,82 Miliar dari Pencucian Uang Bisnis Narkoba
Sepanjang tahun 2022, Badan Narkotika Nasional menyita sebesar Rp 33,82 miliar hasil tindak pencucian uang dari kasus narkotika. Namun, DPR menilai jumlah itu masih rendah sehingga perlu penelusuran yang lebih intensif.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Sepanjang tahun 2022. Badan Narkotika Nasional menyita aset hasil tindak pidana pencucian uang dari kasus narkotika sebesar Rp 33,82 miliar. Badan pemberantasan narkoba ini juga menangkap 1.350 tersangka kasus narkoba, mengungkap 851 kasus, membongkar 49 jaringan perdagangan narkoba. Di tahun 2023, BNN memfokuskan diri pada pembongkaran jaringan narkoba dan peningkatan fasilitas di pusat-pusat rehabilitasi.
Meskipun begitu, sejumlah catatan diberikan oleh DPR seperti masih rendahnya pengungkapan aset hasil narkoba, rehabilitasi yang belum efektif, dan penyelewengan narkotika oleh aparat penegak hukum.
Dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR di Jakarta, Rabu (18/1/2023), Kepala BNN Komisaris Jenderal Petrus Reinhard Golose menjelaskan, pihaknya sudah membongkar 49 jaringan narkoba ”Golden Triangle”yang menjadi pemasok narkoba dari luar negeri ke Indonesia.
Jaringan ini beroperasi dengan rute Thailand-Aceh, Malaysia-Aceh, Malaysia-Sumatera Utara, Malaysia-Riau, Malaysia-Kepulauan Riau, Malaysia-Kalimantan Utara, dan Malaysia-Kalimantan Barat.
”Selain jaringan itu, kami juga membongkar dua jaringan laboratorium narkoba di Batam dan Pekanbaru dan menyita 2.350 butir ekstasi. Sepanjang 2022, kami juga menyita 1,94 ton metamphetamine, 1,06 ton ganja, 262.789 ekstasi, 16,5 kilogram serbuk ekstasi, dan memusnahkan 63,9 lahan ganja,” jelasnya.
Di bidang penanganan, BNN telah merehabilitasi sebanyak 31.868 pencandu narkoba. Hingga kini, sudah ada 905 lembaga rehabilitasi dengan 805 petugas rehabilitasi, tetapi hanya 197 petugas yang sudah tersertifikasi. Masih rendahnya petugas yang belum tersertifikasi, di tahun 2023, BNN menargetkan akan ada 300 petugas pemulihan yang tersertifikasi untuk meningkatkan kompetensi teknis rehabilitasi.
Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, menerangkan, jumlah aset yang disita BNN sebesar Rp 33,82 miliar melalui penelusuran tindak pidana pencucian uang yang berasal dari bisnis narkoba masih sangat rendah. Padahal, berdasarkan data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada tahun 2022, terdapat 275 laporan transaksi keuangan mencurigakan (LKTM) dengan total transaksi Rp 81,39 triliun.
Ia menyebut dari data tersebut, tindakan pidana pencucian uang paling banyak berasal dari uang korupsi dan narkoba.
”Becemin pada jumlah aset Rp 33,82 miliar yang disita BNN, dari 17 kasus, disandingkan dengan penilaian risiko dari PPATK, jumlah aset yang disita hasil dari bisnis narkotika masih rendah dan harus ditingkatkan. BNN harus mendorong penegakan hukum tindak pidana pencucian uang (TPPU) jika ada kasus narkoba,” jawabnya.
Di tahun 2023, BNN menargetkan untuk mengurus 30 berkas TPPU dari hasil narkotika dengan anggaran sebesar Rp 16 miliar. Untuk itu, setiap pengurusan berkas kasus, BNN akan menghabiskan anggaran sebesar Rp 550 juta. Arsul berharap, uang ataupun aset yang disita terkait TPPU narkoba ini bisa lebih dari uang yang dianggarkan.
”BNN dan PPATK harus bekerja sama untuk pengungkapan kasus pencucian uang ini,” ujarnya.
Waspadai penyelewengan
Anggota Komisi III DPR Fraksi Gerindra, Habiburokhman, menerangkan, salah satu permasalahan yang perlu diantisipasi BNN adalah penyelewengan dan penyalahgunaan narkoba oleh aparat hukum seperti kepolisian. Dugaan peredaran narkoba yang menjerat mantan Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat Inspektur Jenderal Teddy Minahasa harus menjadi pembelajaran dan antisipasi BNN.
Ia menjelaskan, kewenangan aparat penegak hukum dalam menyimpan dan menghancurkan barang bukti dapat menjadi sumber penyelewengan wewenang. Setiap aparat hukum harus mewaspadai godaan uang dan keuntungan besar yang bisa mereka dapatkan dari berbisnis narkotika.
”BNN harus memagari petugasnya agar tidak melakukan hal seperti ini. Ini harus menjadi bahan evaluasi kepada aparat pemberantas narkoba. Jangan menjadi duri dalam daging,” tambahnya.
Habiburokhman juga meminta BNN untuk mengevaluasi sistem dan prosedur rehabilitasi di Indonesia, mengingat rehabilitasi kini menjadi pendekatan utama dalam penanganan kasus narkoba ketimbang pemidanaan. Hal ini karena dari temuannya di lapangan, masih ada mantan pecandu yang sudah keluar dari pusat rehabilitasi tetapi tertangkap kembali karena menggunakan narkoba lagi.
Hal yang sama diungkapkan anggota Komisi III DPR Fraksi Demokrat, Hinca Panjaitan. Ia meminta agar BNN ataupun kepolisian untuk transparan soal penyimpanan barang bukti narkotika, khususnya saat hendak menghancurkan narkoba yang disita. BNN harus melibatkan banyak pihak untuk memastikan narkoba yang dihancurkan memang benar barang terlarang yang sudah disita sebelumnya.
Menjawab kritik-kritik tersebut, Kepala BNN Komisaris Jenderal Petrus Reinhard Golose menyampaikan, ia selalu mengundang banyak pihak untuk memastikan narkoba yang akan dimusnahkan adalah benar narkoba dan tidak diganti dengan barang lain. Penyisihan barang bukti narkoba sebenarnya bisa dilakukan, tetapi hanya untuk kepentingan penyelidikan dan penelitian. Jumlah yang disisihkan pun hanya 0,10 gram.
”Kami mengundang banyak pihak untuk melihat sendiri dan memastikan yang dihancurkan benar narkoba. Kami juga tidak pandang bulu menindak siapa pun. Polisi, hakim, dan tentara saja kami tangkap,” ujarnya.