Tak Hanya Banding, Kejaksaan Diminta Fokus Pemulihan Kerugian Negara
Kejaksaan Agung memutuskan untuk banding atas vonis nihil terdakwa kasus korupsi Asabri, Benny Tjokrosaputro. Namun, selain banding, kejaksaan diminta fokus pula untuk memulihkan kerugian negara dalam kasus itu.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejaksaan Agung mengambil langkah hukum banding terhadap putusan vonis nihil terdakwa kasus korupsi dan pencucian uang di PT Asabri, Benny Tjokrosaputro. Vonis majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dinilai telah mencederai rasa keadilan. Tak semata berfokus pada upaya hukum banding, Kejaksaan Agung diharapkan fokus pula pada pemulihan kerugian negara yang jumlahnya triliunan rupiah.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) Ketut Sumedana menyampaikan, pihaknya menilai vonis atas Benny mencederai rasa keadilan karena Benny dianggap sudah melakukan pengulangan tindak pidana korupsi, yang pertama pada kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya dan kedua pada kasus korupsi PT Asabri.
”Sehingga seharusnya setelah diputus dengan hukuman seumur hidup, di mana ada penambahan hukuman dengan hukuman mati, sesuai dengan doktrin hukum pidana,” kata Ketut, Sabtu (14/1/2023).
Selain itu, majelis hakim juga dinilai keliru dalam menerapkan hukum karena Benny didakwa dengan dakwaan primair Pasal 2 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman minimal 4 tahun penjara. Akibatnya, penerapan hukuman nihil dinilai bertentangan dengan UU tersebut. Apalagi tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa.
Jaksa mendakwa Benny dengan Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Ayat (2) UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman hukuman maksimal seumur hidup. Adapun pada tuntutan, jaksa menggunakan Pasal 2 Ayat (2) dalam undang-undang yang sama dengan ancaman hukuman mati.
Dalam vonis atas Benny yang dibacakan pada Kamis (12/1), majelis hakim yang dipimpin Ignatius Eko Purwanto menjatuhkan vonis nihil dengan alasan tuntutan hukuman mati dari jaksa tidak sesuai dengan surat dakwaan. Tuntutan itu pun tak dikabulkan karena tak memenuhi sejumlah kondisi yang diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, salah satunya tindakan korupsi dilakukan berulang-ulang. Tindakan korupsi Benny di Jiwasraya, lalu di Asabri, disebut bukan berulang, tetapi penggabungan tindakan korupsi yang dilakukan pada waktu bersamaan.
Alasan lainnya, Benny tidak bisa dijatuhi hukuman mati pada kasus Asabri karena sudah dipidana pada kasus Jiwasraya. Mengutip Pasal 67 KUHP, apabila seseorang sudah dijatuhi hukuman seumur hidup atau hukuman mati pada suatu perkara, ia tidak bisa lagi dijatuhi hukuman yang sama pada perkara lain.
Di sisi lain, lanjut Ketut, Benny masih memiliki upaya hukum luar biasa dan mengajukan hak-haknya, seperti grasi, remisi, amnesti. Dengan begitu, apabila dikabulkan, hal itu dinilai membahayakan bagi penegakan hukum. Selain itu, majelis hakim dianggap telah melakukan kesalahan fatal dalam penerapan Pasal 67 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai ketentuan bahwa orang yang sudah dijatuhi pidana mati atau penjara seumur hidup, tidak boleh dijatuhi pidana lain.
”Penerapan Pasal 67 KUHP jika sebagaimana dalam putusan tersebut akan menyulitkan jaksa dalam mengeksekusi harta benda terdakwa dalam perkara PT Asabri,v ujar Ketut.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman, ketika dihubungi pada Minggu (15/1/2023), berpandangan, pertimbangan hakim yang menolak tuntutan pidana mati dari penuntut umum sudah tepat. Sebab, yang dilakukan Benny bukanlah pengulangan pidana, melainkan perbarengan perbuatan atau concursus realis.
”Yang dilakukan Benny Tjokrosaputro di kasus Asabri itu terjadi sebelum dia diputus bersalah dalam kasus korupsi Asuransi Jiwasraya. Idealnya adalah ketika menyidangkan kasus Asuransi Jiwasraya, kasus Asabri juga ikut disidangkan. Sehingga benar pertimbangan majelis hakim untuk menolak pidana mati sesuai tuntutan penuntut umum,” tutur Zaenur.
Namun, Zaenur menyatakan tidak sependapat dengan pidana nihil yang dijatuhkan majelis hakim. Sebab, dakwaan berupa Pasal 2 Ayat 1 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memuat ancaman hukuman minimal 4 tahun penjara. Dengan demikian, ketika dakwaan itu terbukti, harus ada pidana yang dijatuhkan.
Terkait dengan hal itu, meskipun majelis hakim berpegangan pada Pasal 67 KUHP, Benny tetap dapat dipidana penjara seumur hidup. Penjatuhan pidana tersebut penting untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat meskipun hal itu tidak akan mengubah atau menambah vonis penjara seumur hidup yang sebelumnya telah diterima Benny.
Sementara pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, berpandangan bahwa upaya hukum banding perlu dilakukan dengan alasan bahwa putusan hakim jauh dari tuntutan yang diajukan jaksa penuntut umum. Namun, perbedaan pasal dalam surat dakwaan dengan surat tuntutan yang diajukan jaksa penuntut umum juga dinilai keliru.
”Yang didakwakan penuntut umum itulah yang dibuktikan di persidangan dengan menghadirkan saksi-saksi dan alat bukti. Kalau bergeser pada dakwaan yang lain, menjadi tidak sesuai. Meski hakim punya kewenangan untuk memutus melebihi tuntutan jaksa, dia tetap berpegang pada dakwaan,” tutur Fickar.
Pemulihan kerugian negara
Menurut Fickar, dalam putusan terhadap Benny, tampak bahwa majelis hakim lebih menekankan pada pemulihan keuangan negara yang jumlahnya triliunan. Untuk itu, jaksa diharapkan juga fokus untuk menelusuri aset yang terkait dengan kasus tersebut agar dapat dirampas sebagai uang pengganti.
Dalam kasus Asabri, majelis hakim menjatuhkan pidana tambahan pembayaran uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 5,73 triliun kepada Benny. Sementara, dalam kasus Asuransi Jiwasraya, Benny juga dipidana membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 6,078 triliun.
”Ada kewenangan jaksa atau negara untuk menyita seluruh harta terdakwa. Kalau tidak mencukupi, itu bisa menjadi utang,” kata Fickar.
Upaya agar pemulihan kerugian negara dimaksimalkan juga dilontarkan Zaenur. Menurut Zaenur, jaksa mestinya fokus untuk memulihkan kerugian negara karena hal itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Terkait dengan hal itu, Zaenur mengingatkan agar jaksa tetap hati-hati agar upaya pemulihan kerugian negara tidak malah merugikan pihak ketiga atau pihak yang beritikad baik.
”Harus dipisahkan antara harta benda terdakwa dan harta benda pihak ketiga yang beritikad baik. Nah, terkait pihak-pihak lain itu, jaksa harus teliti dan bijak agar tidak melanggar hak-hak pihak ketiga,” kata Zaenur.