Utamakan Pemulihan dan Pemenuhan Hak Korban Pelanggaran HAM Berat
Dari 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di Indonesia, tiga di antaranya terjadi di Aceh. Sejumlah pihak berharap para korban dipulihkan dan dipenuhi hak-haknya.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Para pihak mengapresiasi langkah Presiden Joko Widodo mengakui terjadinya pelanggaran hak asasi manusia berat di Provinsi Aceh. Namun, pengakuan saja tidak cukup, korban membutuhkan pemulihan dan pemenuhan hak.
Direktur Koalisi NGO Hak Asasi Manusia Aceh Khairil, Kamis (12/1/2023), mengatakan, pernyataan presiden tersebut menjadi langkah baik dalam rangka penyelesaian peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang terjadi Aceh. ”Pengakuan saja tidak cukup tanpa dibarengi dengan upaya memperbaiki kualitas hidup korban,” katanya.
Presiden Joko Widodo pada Rabu (11/1/2023) di Istana Negara menyampaikan pengakuan dan penyesalan negara atas 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di Indonesia. Presiden mengatakan, pemerintah akan memulihkan hak para korban.
”Dengan pikiran jernih dan hati tulus, saya sebagai kepala negara mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa dan saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat,” kata Presiden (Kompas, 12/1/2023).
Khairil menambahkan, setelah pengakuan, negara harus bersungguh-sungguh melakukan pemulihan korban dan keluarga korban. Pembiayaan pemulihan korban harus dibebankan pada APBN. ”Pernyataan Presiden adalah komitmen negara, jangan sampai hanya menjadi janji politik kepada korban,” kata Khairil.
Dari 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di Indonesia, tiga di antaranya terjadi di Aceh, yakni kekerasan di Rumoh Geudong dan Pos Satuan Taktis dan Strategis di Pidie (1998), penembakan di Simpang KKA Aceh Utara (1999), dan kekerasan di Jambo Keupok Aceh Selatan (2003). Rangkaian kekerasan berat itu terjadi saat Aceh dalam masa pemberlakuan darurat operasi militer.
Sebenarnya Aceh telah membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk mengungkap kebenaran pelanggaran HAM masa lalu. Selain itu, Aceh juga membantu rekonsiliasi pelaku individu/lembaga dengan korban dan merekomendasikan reparasi menyeluruh bagi korban.
KKR Aceh dibentuk berdasarkan Qanun/Perda Nomor 17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh, tetapi komisioner baru dilantik pada 2016. Sepanjang 2017-2023, KKR Aceh terus mengumpulkan data dan fakta tentang pelanggaran HAM masa lalu.
Ketua KKR Aceh Masthur Yahya menuturkan, pengakuan negara atas sejumlah pelanggaran HAM berat masa lalu yang pernah terjadi di Aceh menjadi penguat bagi kerja KKR Aceh dalam mengumpulkan dan mendata pelanggaran HAM di Aceh.
Saat ini, KKR Aceh telah memiliki 5.264 data hasil pengungkapan kebenaran. Data korban yang sudah dicatat tersebut lengkap dengan rekomendasi reparasi sesuai kebutuhan korban yang disampaikan saat pengambilan pernyataan korban.
”Kami meminta Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) agar data tersebut turut menjadi tanggung jawab pemerintah pusat untuk ditindaklanjuti dalam kebijakan nasional,” kata Masthur.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh Azharul Husna menuturkan, pengakuan tersebut harus diwujudkan dengan komitmen pemulihan dan pemenuhan hak korban. Jika tidak, pengakuan tersebut hanya akan menjadi komoditas politik menjelang tahun politik 2024.
Husna menyatakan, pengakuan negara ini juga harus ditindaklanjuti dengan rangkaian tindakan pemenuhan hak-hak korban secara keseluruhan. Ini mulai dari hak atas kebenaran, keadilan, pemulihan, hingga ketidakberulangan.