Pemerintah Sebut Penyelesaian Yudisial Pelanggaran HAM Berat Tergantung Data dan Bukti
Pemerintah menyatakan, pengakuan dan penyesalan negara atas pelanggaran HAM berat tak menegasikan penyelesaian yudisial. Selain itu, pemulihan akan diberikan ke semua korban 12 peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN, NINA SUSILO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengakuan dan penyesalan negara atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia berat dalam 12 peristiwa masa lalu tidak akan menegasikan penyelesaian yudisial. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly menegaskan, penyelesaian melalui jalur yudisial kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut akan tergantung pada data dan bukti-bukti yang ada.
Saat ini, penyelesaian kasus masih melalui jalur non-yudisial terlebih dulu. ”Ya, itu (penyelesaian secara yudisial), kan, nanti apa, tergantung data bukti-bukti yang ada,” ujar Yasonna ketika ditanya tentang komitmen pemerintah dalam penyelesaian kasus secara yudisial di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (12/1/2023).
Yasonna menyampaikan bahwa Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat (PPHAM) terdiri atas orang-orang yang sangat kredibel. ”Ini sekarang kita non-yudisial dulu. Ini, kan, yang membuat keputusan ini orang-orang yang sangat kredibel,” ujarnya.
Menurut Yasonna, pemerintah sangat berkeinginan untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat tersebut. ”Ada hal-hal yang tidak bisa dilanjutkan pro justicia, tapi tak berarti ini tidak menyelesaikan,” katanya.
Secara terpisah, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menegaskan bahwa akan ada langkah konkret ke depan setelah Presiden Joko Widodo mengakui adanya 12 peristiwa HAM berat masa lalu. ”Saya pikir ada pemulihan hak, kompensasi, dan seterusnya,” ujar Moeldoko ditemui di Istana Wakil Presiden seusai Rapat Komisi Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional.
Moeldoko menegaskan bahwa pemulihan hak dan kompensasi ini akan menyasar semua korban dari 12 peristiwa pelanggaran HAM masa lalu. ”Iya (untuk semua korban), dari 12 peristiwa,” tambahnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menerima laporan dari Tim PPHAM di Istana Merdeka, Jakarta, pada Rabu (11/1/2023). Dalam keterangannya, Presiden Jokowi mengakui bahwa pelanggaran HAM yang berat telah terjadi pada sejumlah peristiwa di Tanah Air.
”Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” ujar Presiden.
Dalam hal ini, Presiden menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat pada sejumlah peristiwa, yakni peristiwa 1965-1966; peristiwa penembakan misterius 1982-1985; peristiwa Talangsari, Lampung, 1989; peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh, 1989; peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998; dan peristiwa kerusuhan Mei 1998.
Selain itu, peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999; peristiwa pembunuhan dukun santet 1998-1999; peristiwa Simpang KKA, Aceh, 1999; peristiwa Wasior, Papua, 2001-2002; peristiwa Wamena, Papua, 2003; dan peristiwa Jambo Keupok, Aceh, 2003.
Simpati
Pada kesempatan tersebut, Presiden juga menyampaikan rasa simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban. Untuk itu, pemerintah akan berupaya memulihkan hak para korban secara adil dan bijaksana. ”Saya dan pemerintah berusaha untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana, tanpa menegasikan penyelesaian yudisial,” kata Presiden.
Selain itu, Presiden menambahkan, pemerintah akan berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM berat pada masa yang akan datang. Presiden pun menginstruksikan kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD untuk mengawal hal tersebut.
”Saya minta kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Menko Polhukam, untuk mengawal upaya-upaya konkret pemerintah agar dua hal tersebut bisa terlaksana dengan baik,” lanjutnya.
Lebih lanjut, Kepala Negara berharap upaya pemerintah tersebut dapat menjadi langkah berarti dalam pemulihan luka sesama anak bangsa. ”Semoga upaya ini menjadi langkah berarti bagi pemulihan luka sesama anak bangsa guna memperkuat kerukunan nasional dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,” kata Presiden.